Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berbagi Kavling Di Rumah Allah

Wina Armada Sukardi. 
(Foto: Ist/koleksi pribadi Wina AS) 



Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (1)

Oleh: Wina Armada Sukardi

Pengantar

Pada bulan puasa tahun silam,  setiap hari saya menulis seri human insterest. Kali ini saya menulis seri Sekitar  Serba-Serbi Sholat Subuh (S5). Isi tulisan tidak membahas tata cara sholat subuh, apalagi menganalisis makna surat-surat yang sering dibaca pada sholat subuh,  atau mendedah diskusi ikhwal  subtansi atau filosofis  dari sholat subuh dari tinjauan teologis. Itu kompetensi para ulama, ahli agama, atau  tokoh masyarakat. Bukan kompetensi hamba ini. Saya hanya  menulis “sketsa” serba-serbi  yang terjadi di seputar sholat subuh. Semacam reportase alit. Itupun terbatas yang saya alami dan atau tahu saja. Semoga bermanfaat.

RUMAH kediaman penulis terletak cuma “selangkahan” dari mesjid (Al Husnah). Sebagai umat muslim, hampir setiap hari penulis sholat subuh di mesjid tersebut. Tentu ini, penulis lakukan lantaran semata-mata dan yang utama karena perintah Allah. Namun hal ini juga karena yang memungkinkan penulis lakukan di mesjid pada subuh hari. Pertama, pada subuh penulis belum punya kegiatan apapun. Kalau pun ada kegiatan, seperti lari pagi atau ada pertemuan di pagi hari, dapat dilakukan setelah sholat subuh.

Berbeda dengan sholat lain. Terus terang saja untuk sholat lainnya, penulis jarang sholat di mesjid  tersebut. Bukannya tak mau. Maklumlah pada waktu sholat selain subuh, penulis mungkin lebih banyak berada di luar rumah, dan pulang sudah larut malam. Dengan begitu, hampir tak ada ada waktu sholat lain di mesjid dekat rumah. Maka, penulis jarang sekali sholat di sana selain sholat  subuh. Paling sekali-kali sholat Jumat,  dan tentu sholat Idul Fitri, sholat Idhul  Adha dan jika ada acara khusus.

Hampir setiap hari sholat subuh di mesjid yang sama, tanpa kita sadari membuat kita memiliki beberapa perilaku yang bagaikan terpola ketika melakukan sholat subuh. Salah  satunya dalam memilih “lokasi” tempat kita menunggu sholat, dan pas waktu sholat.  Tentu “lokasi” itu yang menurut perasaan kita nyaman. Lantaran bertahun-tahun, bahkan belasan tahun, kita menempati posisi yang sama, sering kali, tanpa kita sadari,  lantas kita  merasa tempat sholat subuh tersebut menjadi semacam “kavling” milik kita.  Begitu kita masuk mesjid, langkah kita otomatis mencari “kavling” tersebut.

Penulis pribadi biasanya   jika datang ke mesjid, untuk menunggu sholat subuh dan melakukan sholat dua rakaat, mengambil posisi di shaf ketiga  agak ke kanan dari arah masuk mesjid, di belakang imam dan depan mimbar.

Lantas ketika sholat segera  bakal  mulai, penulis pindah ke shaf pertama, dua sisi kanan di belakang imam.  Waktu imam selesai melafalkan, “Walad dholin….” Penulis pun menyambut dengan mengeraskan  suara menyebut “ammiiiiinnnm…”

Berbelas tahun terus menerus begitu, siapapun imam dan muhazinnya, membuat penulis merasa nyaman menempati “kavling” tersebut secara permanen.

Lebih dari itu, secara merambat penulis juga merasa itulah “kavling” milik penulis di mesjid ini. Di rumah Allah ini. Mungkin banyak, atau beberapa, jemaah subuh lainnya merasa seperti penulis.

Maka ketika ada jemaah lain, menempati “kavling” kita, baik yang sebelum sholat subuh maupun menjelang sholat subuh, secara tidak sadar dalam hati   mulai terganggu. Mulai ada perasaan gak enak.  Lho tempat gue kok loe duduki?  Kira-kira begitulah. Muncul semacam perasan tidak suka. Kita tak mau “kavling” kita diduduki orang lain!

“Kavling” itu harus dalam penguasaan kita. Jemaah lain silahkan cari tempat yang berbeda. Toh, masih banyak tempat lainnya. Kita menjadi tak rela tempat kita “take over” orang lain.

Di sinilah mulai bersemayam bahaya dalam diri kita.  Menempati posisi yang sama saat sholat subuh di mesjid selama belasan tahun seakan memberikan hak kepada diri pribadi  untuk mengklaim tempat di mesjid itu menjadi “kavling” milik kita pribadi. Seakan tempat itu privillage kita. Perasaan seperi itu pula yang sempat tanpa penulis sadari  juga hadir dalam diri penulis.

Beruntung itu tak berlangsung lama, dan penulis dapat tersadar atas kekhilafan itu. Mesjid milik Allah. Rumah Allah. Bukan mesjid pribadi kita. Kalau pun ada mesjid yang kita bangun secara pribadi, maka ketika telah dibuka untuk umum, mesjid  telah berubah menjadi mesji publik. Mesjid jami. Menjadi rumah Allah. Semua orang berhak datang ke mesjid. Semua orang, memiliki hak untuk sholat di mesjid itu. Semua orang punya hak sama untuk memilih dan menentukan mereka mau duduk atau sholat di bagian manapun sepanjang datang lebih dahulundan tempat itu masih kosong.

Sebaliknya, kita tidak punya hak untuk mengklaim ada bagian-bagian tertentu dari tempat sholat di mesjid hanya diperuntukan buat kita,  dan orang lain sepatutnya menghormati hak kita. Tak patut  kita menuntut jemaah lain agar tidak melanggar “hak  kavling” kita. Semua orang di hadapan Allah sama. Semua diperbolehkan memilih menempatkan  diri, dan sholat di bagian manapun dia mau dan memungkinkan. Kita sama sekali tidak punya hak untuk mengaturnya. Tentu ada pengecuakian, jika  ada acara-acara tertentu, bolehlah ditata susunan tempat duduk, tapi bukan yang permanen.

 Penulis teringat kepada sebuah mesjid yang berada masih di seputaran tempat tinggal kami. Beberapa orang bercerita, mereka sempat sholat di mesjid itu. Namun apa yang terjadi? Para jemaah tetap di mesjid tersebut memperlihatkan  wajah-wajah tidak bersahabat ketika ada orang lain atau “orang baru “ sholat di situ. Wajah-wajah yang jelas menunjukan mereka tak berkenan ada orang lain sholat “di mesjid mereka,” selain kalangan mereka sendiri.

Bukan hanya itu, setelah “orang baru” atau “tamu” selesai sholat di sana, tempat yang dipakai sholat tersebut langsung dibersihkan dan dipel sebanyak tujuh kali. Tamu yang sholat di situ pun masih melihat tempat bekasnya sholat harus  dipel sampai tujuh kali.

Seakan-akan yang barusan sholat  di situ najis dan haram, sehingga tidak boleh sholat di sana. Kalau pun sudah sholat, tempatnya harus dibersihkan sebersih-sebersihnya, antara lain harus dipel sampai tujuh kali.

Rupanya pengurus dan jemaah mesjid itu memang punya faham, mesjid itu khusus untuk kaum pengikutnya saja. Setiap sisi tempat sholat di sana memang  sudah “dikavling” buat anggota  jemaah sendiri. Dari tempat itulah mereka beranggapan jalan   menuju  surga. Makanya, orang lain tak boleh sholat di mesjid itu. Selain jemaah mereka sendiri, tak boleh ada yang menduduki “kavling” yang sudah terbentuk untuk para jemaahnya.

Akhamdullilah, penulis cepat sadar. Perasaan bahwa tempat yang biasa kita  duduki di mesjid, bukanlah ekslusif milik kita pribadii. Bukan kavling private. Tempat itu milik Allah. Tempatn itu bebas dipakai oleh siapa saja.

Kini, penulis masih sering tetap sholat di bagian yang menjadi favorit penulis. Bedanya, jika ada orang lain yang kemudian lebih dahulu menempati lokasi di bagian itu, siapapun dia orangnya, penulis rela. Penulis Iklas seiklas-iklasnya.  Semua “kavling” di mesjid kepunyaan Allah. Bukan punya kita, siapapun kita. Di rumah Allah kita harus tulus  berbagi  “kavling” dengan sesama jemaah lain, setiap  saat. Siapa datang lebih dahulu, jemaah itu punya hak memilih lebih dahuku di mana pun dia mau duduk dan sholat, selama masih kosong, termasuk di tempat favorit kita…

Tabik!*

(Bersambung…)

 

Penulis adalah  wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase pribadi yang tidak mewakili organisasi.


Post a Comment

0 Comments