Wina Armada Sukardi. (Foto: Ist/koleksi pribadi Wina AS) |
Oleh: Wina Armada Sukardi
Pengantar
RUMAH kediaman penulis terletak cuma “selangkahan” dari mesjid (Al Husnah). Sebagai umat muslim, hampir setiap hari penulis sholat subuh di mesjid tersebut. Tentu ini, penulis lakukan lantaran semata-mata dan yang utama karena perintah Allah. Namun hal ini juga karena yang memungkinkan penulis lakukan di mesjid pada subuh hari. Pertama, pada subuh penulis belum punya kegiatan apapun. Kalau pun ada kegiatan, seperti lari pagi atau ada pertemuan di pagi hari, dapat dilakukan setelah sholat subuh.
Berbeda dengan sholat lain. Terus terang saja untuk sholat
lainnya, penulis jarang sholat di mesjid
tersebut. Bukannya tak mau. Maklumlah pada waktu sholat selain subuh,
penulis mungkin lebih banyak berada di luar rumah, dan pulang sudah larut
malam. Dengan begitu, hampir tak ada ada waktu sholat lain di mesjid dekat
rumah. Maka, penulis jarang sekali sholat di sana selain sholat subuh. Paling sekali-kali sholat Jumat, dan tentu sholat Idul Fitri, sholat
Idhul Adha dan jika ada acara khusus.
Hampir setiap hari sholat subuh di mesjid yang sama, tanpa
kita sadari membuat kita memiliki beberapa perilaku yang bagaikan terpola
ketika melakukan sholat subuh. Salah
satunya dalam memilih “lokasi” tempat kita menunggu sholat, dan pas
waktu sholat. Tentu “lokasi” itu yang
menurut perasaan kita nyaman. Lantaran bertahun-tahun, bahkan belasan tahun,
kita menempati posisi yang sama, sering kali, tanpa kita sadari, lantas kita
merasa tempat sholat subuh tersebut menjadi semacam “kavling” milik
kita. Begitu kita masuk mesjid, langkah
kita otomatis mencari “kavling” tersebut.
Penulis pribadi biasanya
jika datang ke mesjid, untuk menunggu sholat subuh dan melakukan sholat
dua rakaat, mengambil posisi di shaf ketiga
agak ke kanan dari arah masuk mesjid, di belakang imam dan depan mimbar.
Lantas ketika sholat segera
bakal mulai, penulis pindah ke
shaf pertama, dua sisi kanan di belakang imam.
Waktu imam selesai melafalkan, “Walad dholin….” Penulis pun menyambut
dengan mengeraskan suara menyebut
“ammiiiiinnnm…”
Berbelas tahun terus menerus begitu, siapapun imam dan
muhazinnya, membuat penulis merasa nyaman menempati “kavling” tersebut secara
permanen.
Lebih dari itu, secara merambat penulis juga merasa itulah
“kavling” milik penulis di mesjid ini. Di rumah Allah ini. Mungkin banyak, atau
beberapa, jemaah subuh lainnya merasa seperti penulis.
Maka ketika ada jemaah lain, menempati “kavling” kita, baik
yang sebelum sholat subuh maupun menjelang sholat subuh, secara tidak sadar
dalam hati mulai terganggu. Mulai ada
perasaan gak enak. Lho
tempat gue kok loe duduki? Kira-kira
begitulah. Muncul semacam perasan tidak suka. Kita tak mau “kavling” kita
diduduki orang lain!
“Kavling” itu harus dalam penguasaan kita. Jemaah lain
silahkan cari tempat yang berbeda. Toh, masih banyak tempat lainnya. Kita menjadi
tak rela tempat kita “take over” orang lain.
Di sinilah mulai bersemayam bahaya dalam diri kita. Menempati posisi yang sama saat sholat subuh
di mesjid selama belasan tahun seakan memberikan hak kepada diri pribadi untuk mengklaim tempat di mesjid itu menjadi
“kavling” milik kita pribadi. Seakan tempat itu privillage kita. Perasaan
seperi itu pula yang sempat tanpa penulis sadari juga hadir dalam diri penulis.
Beruntung itu tak berlangsung lama, dan penulis dapat
tersadar atas kekhilafan itu. Mesjid milik Allah. Rumah Allah. Bukan mesjid
pribadi kita. Kalau pun ada mesjid yang kita bangun secara pribadi, maka ketika
telah dibuka untuk umum, mesjid telah
berubah menjadi mesji publik. Mesjid jami. Menjadi rumah Allah. Semua orang
berhak datang ke mesjid. Semua orang, memiliki hak untuk sholat di mesjid itu.
Semua orang punya hak sama untuk memilih dan menentukan mereka mau duduk atau
sholat di bagian manapun sepanjang datang lebih dahulundan tempat itu masih
kosong.
Sebaliknya, kita tidak punya hak untuk mengklaim ada
bagian-bagian tertentu dari tempat sholat di mesjid hanya diperuntukan buat
kita, dan orang lain sepatutnya
menghormati hak kita. Tak patut kita
menuntut jemaah lain agar tidak melanggar “hak
kavling” kita. Semua orang di hadapan Allah sama. Semua diperbolehkan
memilih menempatkan diri, dan sholat di
bagian manapun dia mau dan memungkinkan. Kita sama sekali tidak punya hak untuk
mengaturnya. Tentu ada pengecuakian, jika
ada acara-acara tertentu, bolehlah ditata susunan tempat duduk, tapi
bukan yang permanen.
Penulis teringat
kepada sebuah mesjid yang berada masih di seputaran tempat tinggal kami.
Beberapa orang bercerita, mereka sempat sholat di mesjid itu. Namun apa yang
terjadi? Para jemaah tetap di mesjid tersebut memperlihatkan wajah-wajah tidak bersahabat ketika ada orang
lain atau “orang baru “ sholat di situ. Wajah-wajah yang jelas menunjukan
mereka tak berkenan ada orang lain sholat “di mesjid mereka,” selain kalangan
mereka sendiri.
Bukan hanya itu, setelah “orang baru” atau “tamu” selesai
sholat di sana, tempat yang dipakai sholat tersebut langsung dibersihkan dan
dipel sebanyak tujuh kali. Tamu yang sholat di situ pun masih melihat tempat
bekasnya sholat harus dipel sampai tujuh
kali.
Seakan-akan yang barusan sholat di situ najis dan haram, sehingga tidak boleh
sholat di sana. Kalau pun sudah sholat, tempatnya harus dibersihkan
sebersih-sebersihnya, antara lain harus dipel sampai tujuh kali.
Rupanya pengurus dan jemaah mesjid itu memang punya faham,
mesjid itu khusus untuk kaum pengikutnya saja. Setiap sisi tempat sholat di sana
memang sudah “dikavling” buat
anggota jemaah sendiri. Dari tempat
itulah mereka beranggapan jalan menuju surga. Makanya, orang lain tak boleh sholat
di mesjid itu. Selain jemaah mereka sendiri, tak boleh ada yang menduduki
“kavling” yang sudah terbentuk untuk para jemaahnya.
Akhamdullilah, penulis cepat sadar. Perasaan bahwa tempat
yang biasa kita duduki di mesjid,
bukanlah ekslusif milik kita pribadii. Bukan kavling private. Tempat itu milik
Allah. Tempatn itu bebas dipakai oleh siapa saja.
Kini, penulis masih sering tetap sholat di bagian yang
menjadi favorit penulis. Bedanya, jika ada orang lain yang kemudian lebih
dahulu menempati lokasi di bagian itu, siapapun dia orangnya, penulis rela. Penulis
Iklas seiklas-iklasnya. Semua “kavling”
di mesjid kepunyaan Allah. Bukan punya kita, siapapun kita. Di rumah Allah kita
harus tulus berbagi “kavling” dengan sesama jemaah lain,
setiap saat. Siapa datang lebih dahulu,
jemaah itu punya hak memilih lebih dahuku di mana pun dia mau duduk dan sholat,
selama masih kosong, termasuk di tempat favorit kita…
Tabik!*
(Bersambung…)
Penulis adalah wartawan dan advokat senior, juga anggota
Dewan Pakar Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase pribadi
yang tidak mewakili organisasi.
0 Comments