Logo Dewan Pers. (Foto: Istimewa) |
Ini persoalan prinsip bagi pelaksanaan kemerdekaan pers!
SAMPAI sekarang masih banyak salah kaprah dan sesat dalam
urusan pendaftaran badan usaha atau badan hukum pers ke Dewan Pers. Masih
banyak pernyataaan, “Oh, ini belum dapat disebut sebagai produk pers, karena
badan hukum perusahaannya belum didaftarkan di Dewan Pers!”
Pernyataan itu bermakna, seakan-akan pendaftaran badan hukum
pers ke Dewan Pers menjadi salah satu syarat agar badan usaha pers dapat dikatagorikan
sebagai lembaga pers, sehingga produknya juga menjadi produk pers.
Konsukuensinya dari pandangan semacam itu, jika sebuah
lembaga pers yang badan hukumnya belum terdaftar atau belum didaftarkan di
Dewan Pers, maka badan usaha itu bukan lembaga pers dan produknya juga otomatis
bukan produk pers.
Beberapa kali pihak penegak hukum manakala memeriksa kasus
yang terkait dengan kasus pers berkeyakinan pula, selama sebuah badan hukum
pers belum terdaftar di Dewan Pers, maka lembaga tersebut bukanlah lembaga
pers. Otomatis produknya juga bukan produk pers. Ujung-ujungnya polisi menegaskan dapat mengenakan pidana
kepada badan hukum tersebut, antara lain dapat dijerat pasal-pasal Kitab
Undang-undang Pidana (KUHP) atau Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).
Di Balik Suatu Pendaftaran
Pastilah Ada Sesuatu
Ketika UU Pers dibahas di DPR, terjadi perdebatan alot
antara pihak pemerintah dan anggota DPR serta beberapa orang tokoh pers yang
mengikuti proses pembahasan UU Pers. Waktu itu pemerintah bersikeras supaya
pers wajib mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Dalam draf awal Rencana Undang
Undang (RUU) tentang Pers, memang pemerintah memasukan pasal kewajiban pers mendaftarkan diri ke Dewan Pers.
Alasan pemerintah macam-macam. Antara antara lain disebut,
dengan adanya pendaftaran badan hukum pers ke Dewan Pers dapat diketahui jumlah
dan data pers nasional. Jadi pemerintah
dapat punya data yang lengkap. Kemudian diyakinkan, soal pedaftaran juga
cumalah bersifat administratif dan tidak bersangkut paut dengan pemberitaaan
redaksional.
Semua argumentasi pemerintah dibantah keras dan dimentahkan
baik oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) maupun
para tokoh pers. Dalam _memorie van toelichting _ proses pembentukan UU Pers, diketahui,
anggota DPR waktu itu jelas menerangkan, di balik setiap pendaftaran pastilah
ada terselubung niat lain yang kelak menjadi masalah dalam pelaksanaan
kemerdekaan pers. Dikhawatirkan kelak kewajiban pendaftaran ini justeru menjadi
batu sandungan buat warga negara untuk mendirikan dan menjalankan perusahaan
pers.
Demikian pula pendaftaran perusahaaan pers yang semula
diniatkan cuma sebagai urusan administrasi, dalam praktek bukan tidak mungkin
berubah menjadi salah satu syarat utama disahkannya sebuah badan usaha pers
agar dapat dikatagorikan sebagai produk pers. Waktu pembahasan UU Pers saat
itu, dicontohkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang terkenal
tersebut, yang semula dan memang seharusnya sebatas bersifat administrasi dalam
prakteknya menjadi alat yang ampuh untuk mengekang pers. SIUPP menjadi komoditi
yang mahal, sekaligus alat pengontrol dan pembunuh pers pada rezim Orde Baru.
Selain itu, adanya kewajiban pendaftaran dikhawatir membuat
Dewan Pers menjadi “monster baru” buat kemerdekaan pers. Kenapa? Jika ada kewajiban pendaftaran badan usaha pers ke Dewan Pers, dapat menjadikan Dewan Pers
seperti “Departemen Penerangan baru” dan
cuma berganti nama menjadi Dewan Pers, tapi otoritas dan fungsinya tidak lebih
dari Departemen Penerangan yang dapat membatalkan SIUPP.
Kalaulah ada kewajiban pers harus mendaftarkan ke Dewan
Pers, dalam diskusi RUU Pers, dikhawatikan Dewan Pers memungkinkan punya
peluang menyatakan badan hukum pers bukanlah produk pers. Lebih lanjut karena
ada trauma sebelum reformasi ketika Departemen Penerangan dapat mencabut atau
membatalkan SIUPP, kalau ada kewajiban pendaftaran ke Dewn Pers, maka Dewan
Pers pun ditakutkan dapat membuat peraturan yang dapat menolak atau membatalkan
pendaftaran yang telah dilakukan oleh pers.
Kewajiban pendaftaran oleh Dewan Pers kala UU Pers sedang
digodok, dikhawatir Dewan Pers mungkin
suatu saat akan mempersulit badan usaha pers untuk menjadi badan hukum pers.
Bukan Syarat Produk
Pers
Oleh karena itu, dalam proses pembuatan RUU Pers, sudah
terang benderang disepakati tidak boleh ada kewajiban dari badan usaha pers
mendaftar ke Dewan Pers.
Secara keseluruhan kewjiban pendaftatan ke Dewan Pers
bertentangan pasal 4 ayat (1) UU Pers menyatakan “Kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak-hak asasi warga negara.”
Pendaftaran badan usaha pers ke Dewan Pers juga menabrak pasal 9 ayat
(1) yang berbunyi,” Setiap warga negara
Indonesia berhak mendirikan perusahaan
pers.”
Selain itu, kewajiban
pendaftaran dipandang bagian
dari pelaksanaan penyensoran yaitu kewajiban memperoleh izin dalam
melaksanakan kegiatan jurnalistik. Jadi,
pendaftaran tidak diperbolehkan alias dilarang. Kalau Dewan Pers meminta pers
melakukan pendaftaran itu artinya Dewan Pers telah melakukan tindakan yang
bertentangan dengan UU Pers sendiri.
Dengan demikian jelas, kewajiban pendaftaran bukanlah
merupakan syarat sebuah badan hukum untuk dinyatakan sebagai lembaga pers atau
bukan. Bahkan kewajiban pendaftar bagi pers dilarang lantaran dianggap
bertentangan dengan UU Pers dan
kemerdekaan pers. Memang tidak ada satu
pun pasal dalam UU Pers yang mewajibkan pendaftaran badan usah pers kepada
Dewan Pers, atau kepada pihak manapun.
Bagaimana mungkin UU Pers mewajibkan adanya pendaftaran ke
Dewan Pers, kalau filosofinya dan konstruksi berpikir para perancang UU Pers,
pendaftatan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan kemerdekaan
pers. Tegasnya pendaftaran badan usaha pers ke Dewan Pers bukanlah menjadi
syarat agar pemberitaan dinilai sebagai produk pers, bahkan pendaftaran pers ke
Dewan Pers haruslah dipandang sebagai pelanggaran terhadap UU Pers. Jika Dewan
Pers melakukan kewajiban pendaftaran, sekali lagi, Dewan Pers sendiri yang
melanggar UU Pers dan harus segera dikoreksi oleh para konstituennya.
Pendataan
Kendati pendaftaran badan usaha pers dilarang, tetapi ini
tidak berarti Dewan Pers tidak dapat mengetahui dan mempunyai data mengenai pers
Indonesia. Pasal 15 ayat (2) huruf “g”
mememberikan fungsi kepada Dewan Pers
untuk “mendata perusahaan pers.” Namun perlu ditekankan pendataan
perusahaan pers ini bukanlah syarat sebuah badan usaha menjadi pers atau bukan.
Fungsi ini untuk menolong Dewan Pers sendiri buat mengetahui data mengenai
perusahaan pers. Misal berapa jumlah perusahaan online di Indonesia? Sekitar
sepuluh tahun silam, jumlahnya disebut ada 20 ribu, tapi sekarang sudah
melonjak menjadi 40 ribu? Dari mana data ini? Rupanya cuma prediksi saja.
Begitu juga tinggal berapa sebenarnya koran atau majalah cetak yang masih hidup?
Dibanding sepuluh tahun silam sudah tinggal berapa persen yang masih terbit.
Dewan Pers tak punya datanya. Nah, dalam kontek fungsi “mendata perusahaan
pers” seharusnya Dewan Pers aktif melakukan fungsi mendata perusahaan pers.
Pendataan perusahaan pers tak harus dilakukan langsung oleh
anggota Dewan Pers. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh sekretariat Dewan Pers
saja. Anggota Dewan Pers cukup memberi petujuk
dan amanah ke sekretariat Dewan Pers untuk “mendata perusahaan pers.”
Sekretariat Dewan Pers dapat melakukan proses pendataan sepanjang tahun.
Hasilnya, setiap tahun dilaporkan ke anggota Dewan Pers. Dengan demikian
sedikit demi sedikit Dewan Pers lebih punya data perusahaan yang akurat.
Berdasarkan data itu Dewan Pers dapat mengambil Kebijakan yang sesuai dengan
fungsi Dewan Pars. Tidak seperti sekarang Dewan Pers tidak punya data lengkap
tentang perusahaan pers padahal itu menjadi fungsi dari Dewan Pers yang
diamanahkan ke Dewan Pers.
Hanya 2 Jenis
Perusahaan Pers
Itulah sebabnya pelaksanaan Peraturan Dewan Pers No.
03/Peraturan- Dp/X /2019 tentang Standar Perusahaan Pers yang merupakan hasil
perubahan dari Peraturan serupa sebelumnya menjadi banyak yang salah kaprah.
Misalnya, Peraturan ini memasukan soal pendataan pada Pasal 22 dan Pasal 23 di
Peraturan Dewan Pers ini menegaskan Dewan Pers melakukan pendataan perusahaan
pers melalui verifikasi administrasi dan
faktual. Apa hubungan antara pendataan dengan standar perusahaan pers, termasuk
dengan verifikasi administrasi dan faktual? Tidak ada.
Lebih kacau ini dalam Pasal 23 ditegaskan Dewan Pers
berwenang mencabut verifikasi perusahaan pers yang enam bukan beturut-turut
tidak melakukan kegiatan pers? Lho kan pendataan untuk kepentingan Dewan Pers
sendiri, tetapi kok perusahaan yang sudah diverifikasi malah statusnya dicabut.
Ini terjadi lantaran Dewan Pers mencampuradukkan antara
fungsi Dewan Pers melakukan pendataan dengan otoritas Dewan Pers membuat dan
melaksanakan Peraturan tentang Standar Perusahaan Pers sebagaimana diatur dalam
Peraturan Dewan Pers.
Verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers harusnya
menyangkut elemen-elemen yang diatur oleh Peraturan Dewan Pers tentang Standar
Perusahaan Pers saja. Misalnya, apakah sudah berbadan hukum atau belum. Sudah
ada penanggung jawab belum? Sudah jelas ada alamatnya belum? Dan sebagainya.
Kalau soal pendataan, tidak ada kaitannya dengan Standar Perusahaan Pers. Hal
itu dua hal yang berbeda.
Dengan begitu, cuma ada dua jenis perusahaan pers. Pertama
perusahaan pers yang belum atau Tidak Memenuhi
Syarat (TMS) Standar Perusahaan Pers. Kedua perushaan pers yang sudah
Memenuhi Syarat (MS). Hanya perusahaan pers yang sudah memenuhi syarat Standar
Perushaan Pers yang dikatagorikan perusahaan pers dan hasil karyanya merupakan
karya jurnalistik.
Dalam kontek inilah draf perjanjian dengan perusahaan
publisher platform digital yang diajukan Dewan Pers ke Pemerintah sangat
keliru. Di situ disebut hanya perusahaan pers yang telah diverifikasi saja yang
boleh menikmati hasil dari perjanjian dengan
perusahaaan publisher platform
digital. Apa maksud "perusahaan pers yang telah diverifikasi?”
Apakah yang dimaksud perusahaan pers yang sudah memenuhi syarat untuk mendaftar
ke Dewan Pers? Kalau ini yang dimaksud, bukankah sudah jelas Dewan Pers
dilarang meminta pendaftaran? Maka mensyaratkan unsur yang dilarang tentulah
tidak sah.
Sebaliknya kalau “verifikasi” dalam kaitannya dengan
pendataan, tentu itu bukanlah menjadi tugas perusahaan pers, itu lebih menjadi
fungsi Dewan Pers sendiri. Jadi tidak layak dimasukan sebagai syarat penerima
hasil perjanjian dengan para perusahan platform digital.
Jika rumusan “perusahaan pers yang telah memenuhi Standar
Perusahaan Pers” lebih masuk akal dan mungkin lebih dapat diterima.
Di luar soal pendataan dan pendaftaran, Dewan Pers jelas
tetap sangat perlu mengatur dan melaksanakan Standar Perusahaan Pers melalui
mekanisme verifikasi. Kenapa demikian? Itu sudah menjadi topik tersendiri yang
karenanya akan ditulis pada tulisan lain tersendiri pula. (***)
Penulis adalah pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik
0 Comments