Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso. (Foto: Istimewa) |
“Oleh karenanya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus
menurunkan tim untuk memeriksa aparat dan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda
NTT,” ujar Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, Senin
(30/5/2022).
Hal itu disampaikan Sugeng Teguh Santoso melalui Siaran Pers
IPW yang diterima Redaksi TangerangNet.Com, Senin (30/5/2022).
Bahkan, kata Sugeng, IPW mendesak terhadap anggota yang
melakukan penyalahgunaan wewenang dan terbukti melanggar HAM harus diproses
melalui sidang etik dan hukum pidana. Sehingga marwah institusi Polri sebagai
pemelihara Kamtibmas, pelindung, dan pengayom masyarakat tetap terjaga sebagai
abdi utama bagi nusa bangsa (Rastra Sewakotama).
Sugeng menjelaskan pembangunan waduk Wadas di Purworejo dan
Waduk Lambo Mbay di Nagekeo sama-sama merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN)
dan dalam pelaksanaannya terjadi pro dan kontra. Bedanya, kalau di Wadas
kepemilikan tanahnya merupakan orang perorang. Sedangkan di Waduk Lambo Mbay
ini tanah yang akan dibangun merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat Suku
Rendu.
“Pihak kepolisian yang seharusnya menjembatani agar tidak
terjadi konflik sosial seharusnya menjadi garda terdepan memberikan solusi bagi
masyarakat yang mendukung dan menolak pembangunan. Namun yang terjadi, aparat
memaksakan kehendaknya sehingga yang timbul adalah konflik horisontal di
masyarakat,” ujar Sugeng didampingi Sekjen Indonesia Police Watch (IPW) Data
Wardhana.
Pada Waduk Lambo Mbay, kata Sugeng, Kapolres memaksakan
diadakan ritual adat di titik nol tapi dilakukan oleh Suku Kawa yang merupakan
suku di luar rendu yang tidak mempunyai sangkut paut dengan tanah proyek Waduk
yang akan dibangun. Waktunya, telah ditentukan tanggal 24 Maret 2022 kendati
ditolak oleh Suku Rendu karena yang melaksanakan ritual bukan Suku Rendu.
“Oleh karenanya, saat berlangsungnya acara, masyarakat adat
rendu menghadang Suku Kawa dan terjadi perang mulut, saling dorong dan nyaris
berkelahi di hadapan Kapolres Nagekeo. Namun, situasi tegang itu bisa
diantisipasi aparat keamanan,” ucap Sugeng.
Penghadangan kedua, kata Sugeng, terjadi pada 4 April 2022
saat Kapolres Nagekeo bersikukuh untuk memulai pembangunan waduk yang diawali
dengan apel siaga dan juga acara ritual adat. Penghadangan oleh Suku Rendu
dilakukan di pintu masuk proyek Waduk.
Menurut Sugeng, saat dilakukan penghadangan, Matheus Bui
yang memimpin ritual dengan parang pusaka adat (topo) yang diacungkan,
tiba-tiba apatat polisi menyerbu dan menangkap para penghadang. Sebanyak 23
orang ditangkap dan dibawa ke Polres Nagekeo untuk menjalani pemeriksaan.
Ketika ditangkap, imbuh Sugeng, mereka mengalami kekerasan
fisik berupa pemukulan dan ditendang. Bahkan, penangkapan terhadap masyarakat
yang menolak pembangunan Waduk Lambo Mbay dilakukan aparat di rumah warga, saat
mereka sedang makan dan tidur.
Sugeng mengatakan penyiksaan kepada 23 warga itu berlanjut
setelah mereka berada di kantor Polres Nagekeo. Pada hari itu, mereka dijemur
diterik matahari tiga kali. Pertama selama satu jam, kemudian yang kedua satu
setengah jam dan yang ketiga ketika Kapolres datang menemui mereka.
“Selain itu, Kepolisian membiarkan oknum wartawan melakukan
kekerasan dengan memukul kepala salah satu tokoh masyarakat adat,” ungkap
Sugeng.
Sugeng mengatakan IPW menilai perlakuan aparat dan Kapolres
Nagekeo tersebut tidak mencerminkan adanya Reformasi Polri yang telah
dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang
menjunjung hak asasi manusia (HAM) dan turunannya Peraturan Kapolri Nomor 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri.
“Untuk itu, menjadi tugas Kapolri Jenderal Listyo Sigit
Prabowo untuk menegakkan aturan terhadap anggota Polri yang melakukan
pelanggaran hukum. Tentunya, dengan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda Nusa
Tenggara Timur,” ujar Sugeng berharap. (*/rls)
0 Comments