Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy berdialog dengan seorang ibu yang menggendong bayinya. (Foto: Istimewa) |
Saat ini, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Desa (DPMD) Provinsi Banten, saat itu di wilayah Provinsi Banten terdapat
10.643 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang tersebar 8 Kabupaten dan Kota. Operasional Posyandu itu
didukung oleh 53.214 kader.
Kepala DPMD Provinsi Banten Enong Suhaeti mengatakan
pembinaan dan pelatihan penanganan stunting dilakukan kepada kader Posyandu dan
kader PKK. Selain itu, pihaknya memfasilitasi sarana dan prasarana dalam
pelayanan Posyandu.
“Untuk insentif kader Posyandu, bisa dialokasikan dari dana
desa. Sehingga tergantung hasil musyawarah desa,” jelas Enong.
Dikatakan, pihaknya akan terus menjalin dan melakukan
koordinasi, sinergitas, dan harmonisasi dengan Forum Kader Posyandu baik di
tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, mengakomodir bantuan hibah Forum Kader
Posyandu, serta pembinaan kepada kader Posyandu dan kader PKK untuk menekan
stunting.
Terpisah, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan
Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Siti Ma’ani
Nina mengungkapkan penekanan angka stunting menjadi program prioritas, mengarah
kepada intervensi berbasis keluarga berisiko stunting.
Dengan menekankan pada penyiapan kehidupan berkeluarga, kata
Siti, pemenuhan asupan gizi, perbaikan pola asuh, peningkatan akses dan mutu
pelayanan kesehatan dan peningkatan akses air minum dan sanitasi.
Guna percepatan berbasis keluarga, kata Siti, dibentuk Tim
Pendamping keluarga (TPK) terdiri atas unsur bidan, kader pmk dan kader IMP.
Penurunan stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu
faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan
bergizi (makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian makanan
bayi dan anak (pengasuhan).
“Akses terhadap pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan (kesehatan), serta kesehatan
lingkungan yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan sanitasi
(lingkungan). Keempat faktor tersebut mempengaruhi asupan gizi dan status
kesehatan ibu dan anak. Hal ini akan mencegah masalah kekurangan gizi,” tutur
Siti.
Menurut Siti, kunci percepatan penurunan angka stunting
yakni intervensi penurunan stunting terintegrasi dengan pembagian peran dan
tanggung jawab antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten, dan Pemerintah Kota sampai dengan Pemerintahan Desa.
Dijelaskan, terdapatnya perbedaan data antara SSGI dan e-PPGBM. SSGI adalah Studi Status Gizi Indonesia yang
merupakan survei berskala Nasional untuk mengetahui perkembangan status gizi
balita (stunting, wasting, dan underweight) tingkat nasional, provinsi,
kabupaten, dan kota. Sedangkan e-PPGBM merupakan Aplikasi elektronik-Pencatatan
dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat.
Berdasarkan SSGI Tahun 2021 prevalensi stunting Provinsi
Banten pada 2021 sebesar 24,5. Sementara berdasarkan e-PPGBM prevalensi stunting
Provinsi Banten pada 2019 sebesar 15,43, tahun 2020 sebesar 10,38, dan pada
tahun 2021 sebesar 7,4.
“Berdasarkan hasil penginputan e-PPGBM Persentase Stunting
pada 2019 sampai dengan 2021 sudah ada penurunan tetapi tetap harus dilihat
cakupan yang diukur berdasarkan sasaran yang ada. Dan sudah di bawah target
2021, 21.1 persen,” pungkasnya. (*/pur)
0 Comments