Jembatan Aria Wangsakara. (Foto: Istimewa) |
Mufti menganggap kemasyhuran dan perjuangan Aria Wangsakara
yang membuatnya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sangat cocok dijadikan
sebagai nama jembatan yang megah dengan berbagai ornamen yang kental akan etnik
kebantenannya.
"Saya setuju dan mengapresiasi penamaan jembatan itu
dengan nama Aria Wangsakara," ujar Mufti Ali kepada wartawan di Kota
Serang, Rabu (30/3/2022).
Mufti menyebutkan Aria Wangsakara alias Wangsaraja adalah
tokoh yang berkontribusi besar dalam transformasi Kesultanan Banten dari sebuah
kerajaan monarki absolut ke monarki konstitusional.
Menurut Mufti, bila Raja Banten sebelumnya bergelar Maulana,
pasca diutusnya Wangsakara oleh Abdul Mafakhir ke Mekkah, Raja Banten dapat
legitimasi gelar politik dan spiritual Sultan.
"Sebagai duta besar, penyalin kitab, pengajar agama
Islam yang alim ditambah dengan kompetensi seni kaligrafinya yang berkelas
dunia, sehingga ketika Pangeran Surya ditetapkan menjadi Sultan Banten dengan
gelar Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1651 Masehi, Aria Wangsakara diangkat
menjadi Imam Besar Kesultanan," ungkapnya.
Selain itu, kata Mufti, heroisme dan sikap patriotnya
terlihat saat perang besar melawan VOC pada tahun 1658-1659 Masehi, yakni
beliau menjadi panglima perang dan pemimpin doa. Di tengah kondisinya yang
sedang sakit, beliau tetap memimpin perang dan diusung menggunakan tandu oleh
pasukannya.
"Sepanjang perjalanan dari Keraton Banten menuju garis
demarkasi beliau berada di atas tandu. Dan selama berbulan-bulan juga beliau
melakukan peperangan melawan pasukan VOC di garis demarkasi itu,"
ungkapnya.
Bukan sampai di situ, imbuh Mufti, pilihan masa remaja
Pangeran Aria Wangsakara, berbeda dengan sebagian remaja-remaja kerabatnya di
Sumedang, seperti Rangga Gempol III dan Singa Perbangsa di Karawang yang
condong ke VOC.
"Wangsakara memilih loyal ke Banten yang anti
voc," tuturnya. (*/pur)
0 Comments