Ilustrasi dua orang pekerja pabrik sepatu. (Foto: Ist/ccindonesia) |
“Pertama, saya kira penetapan UMK Kabupaten/Kota se-Provinsi
Banten sudah diputuskan dengan mempertimbangkan kehati-hatian. Sebab, banyak
hal yang perlu dipertimbangkan, sehingga pada akhirnya disepakati perwakilan
(Dewan Pengupahan),” ujar Adib kepada wartawan di Kota Serang, Selasa
(7/12/2021).
Adib yang juga dosen itu mengatakan penetapan UMK dipastikan
mempertimbangkan setidaknya dua kepentingan, yaitu kepentingan pekerja dan
pengusaha dengan difasilitasi sejumlah stakeholder terkait. Dalam menetapkan
UMK, Gubernur WH juga sudah mengacu pada kesepakatan yang difasilitasi Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten.
Selanjutnya, penetapan UMK dipastikan mempertimbangkan
kondisi perekonomian Provinsi Banten dan Nasional pada umumnya, yakni pandemi
Covid-19 sangat berdampak terhadap pertumbuhan perekonomian. Kendati demikian,
pertimbangan tersebut jangan sampai serta merta mengabaikan apa yang menjadi
hak buruh.
“Covid-19 memang menjadi alasan mengapa kenaikan UMK tidak
sebesar beberapa tahun lalu, tetapi tidak serta merta tidak menaati apa yang
harus menjadi hak buruh. Dalam tataran global, alasan atau pertimbangan
penetapan UMK tak jauh dari masalah dampak Covid-19,” tutur Adib.
Lepas dari itu, Adib menilai kenaikan UMK di Provinsi Banten
cukup bagus. “Kalau kita ambil data, besaran kenaikan UMK di Provinsi Banten
nomor dua terbesar setelah Jawa Barat. Lagi pula, pembahasan UMK sudah ada
perwakilan buruh. Sudah melalui musyawarah. Kenaikan yang sudah disepakati,
merupakan keputusan yang harus ditaati,” ucapnya.
Adib mengatakan bahwa Pemerintah perlu mempertimbangkan
iklim investasi. Jangan sampai investor memindahkan usahanya ke daerah
lain. “Itu juga penting menjadi pertimbangan, di Jawa Tengah tidak
bergejolak. Jika akhirnya investasi berpindah maka bisa menimbulkan PR (pekerjaan
rumah-red) bersama lagi, yaitu masalah pengangguran,” ujarnya.
Menanggapi tidak besarnya kenaikan UMK dibandingkan beberapa
tahun sebelumnya, Adib memahami bahwa perekonomian Provinsi Banten dan
Indonesia pada umumnya mengalami kelesuan, sebagai dampak pandemi Covid-19 yang
sudah berlangsung hampir dua tahun tersebut.
"Lesunya perekonomian yang menyebabkan kenaikan UMP
tidak besar. Kondisi itu harus dipahami bersama,” ucapnya.
Terpisah, Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten dari Fraksi
Demokrat M Nawa Said Dimyati mengungkapkan Gubernur itu secara hirarki
pemerintahan adalah Wakil Pemerintah Pusat di daerah. Yakni semua kebijakannya
harus mengacu pada kebijakan Pemerintah Pusat, yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia (UU RI) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan seluruh
aturan turunannya.
"Pemerintah Pusat menganggap bahwa penetapan upah
minimum adalah bagian dari proyek strategis nasional. Diharapkan, dengan
penentuan upah minimum itu akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional," ungkapnya.
"Kenaikan UMP 0,56 persen yang ditetapkan oleh Gubernur
Banten itu selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat," tutur anggota dewan
yang akrab dipanggil Cak Nawa itu.
Dikatakan, sebagai anggota Fraksi Partai Demokrat
berharap Pemerintah segera merevisi UU Nomor 11 Tahun 2020 sebagaimana
perintah dari MK (Mahkamah Konstitusi). Revisi tersebut harus memuat aspirasi
buruh, baik itu dalam kesejahteraan, perlindungan kesehatan dan perlindungan
masa depan. (*/rls)
0 Comments