Ilustrasi para penjajah dengan latar belakang rakya yang terjajah. (Foto: Istimewa) |
TUJUAN bernegara pasca kita menyatakan kemerdekaan antara
lain "memajukan kesejahteraan umum". Siapa pun yang diberi amanat
untuk berada dalam pemerintahan berkewajiban untuk mengupayakan kesejahteraan
untuk rakyatnya, bukan memberatkan dan menyengsarakan.
Kita merdeka karena tidak enak dan pahit dijajah itu.
Kehidupan sulit dan segala tertekan serta dipaksa-paksa oleh pemerintah
penjajah. Upeti ditarik dari berbagai sektor, urusan kebutuhan pokok dipajaki.
Penjajah hidup senang sementara rakyat jajahan menderita. Segala diawasi dari
ngomong hingga batuk-batuk. Sedikit membicarakan keburukan "tuan
meneer" dicap ektremis bahkan pemberontak.
Negara kita adalah negara merdeka, tetapi tontonan perilaku
penguasa belum menampilkan sosok pemerintahan negara merdeka. Kedaulatan rakyat
sebagai ciri khas kemerdekaan terambil habis. Justru kedaulatan negara yang
menjadi ciri primitivitas benegara tengah ditegakkan. Memperkaya diri dan
kroni. Membungkam aspirasi dan menginjak-injak hak asasi.
Upeti dengan bahasa santun pajak tengah digalakkan. Tema
agak akademis "PPN" merambah kemana-mana. Rakyat bukan penikmat
tetapi menjadi obyek. Di tengah pemborosan dan kegilaan korupsi justru rakyat
semakin diperas. PPN akan dikenakan antara lain pada sembako, pendidikan, jasa
kesehatan, dan jasa surat berperangko. Beban berat kembali berada di pundak
rakyat kebanyakan.
Dua kemungkinan atas kondisi ini yaitu para penyelenggara
negara yang telah dihinggapi penyakit mental penjajah, mumpung berkuasa dan
menikmati kekuasaan, atau memang negara ini sedang bangkrut. Sudah tak mampu
membiayai rakyatnya lagi. Pajak rakyat adalah pilihan terpaksa Duit negara
cekak disebabkan Pemerintah tidak amanah dan salah urus.
Draft Rencana Undang Undang (RUU) perubahan kelima UU Nomor
6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
menambah masalah bagi negeri. Sudah Omnibus Law kontroversial, UU KPK (Komisi
Pemberantas Korupsi) diobrak-abrik, lalu draft Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(KUHP) "bid'ah" akan menghukum penghina Presiden, kini RUU
revisi KUP pun rentan kritik. Pemerintah di samping telah menaikkan tarif juga
memperluas obyek. Urusan sembako dan "hajat hidup orang banyak"
dihajar pajak.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah
memang bermental penjajah (koloniale mentaliteit) ? Jika ya rakyat harus mengubah
segera dengan pemerintahan yang bermental merdeka (vrije mentaliteit) dan
berorientasi kerakyatan (populitisch). Atau apakah memang negara tengah
mengalami kebangkrutan (pailliet) karena salah urus ? Jika ya, rakyat pun harus
mengubah segera dengan pemerintahan yang lebih mampu (beter in staat) dan
amanah (eerlijk).
Perubahan adalah suatu keniscayaan atas situasi di mana
rakyat sudah tidak percaya lagi pada pemerintah yang memang sulit untuk
dipercaya. (***)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
0 Comments