![]() |
Neta S. Pane: anti-diskriminasi. (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
Hal itu disampaikan oleh Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW)
Neta S. Pane melalui Siaran Pers IPW yang diterima oleh Redaksi TangerangNet.Com,
Selasa (26/1/2021).
Kenapa Sigit harus menjadi ikon Anti Diskriminasi? Neta mengatakan sebab selama ini sulit sekali
bagi perwira tinggi (Pati) non-muslim untuk memegang jabatan tertentu di Polri.
Bahkan selama Indonesia merdeka dan selama Polri berdiri, baru dua kali Kapolri
dijabat Pati non-muslim, yakni Widodo Budidarmo kerabat Ibu Tien dan Listyo
Sigit mantan ajudan Jokowi. Dan Sigit berhasil lolos dari lubang jarum
diskriminasi di tubuh kepolisian.
Sebab itu, kata Neta, dengan dilantiknya menjadi Kapolri,
Sigit harus membawa paradigma baru di tubuh Polri, paradigma yang anti-diskriminasi
dan Sigit harus mampu menjadi ikonnya.
Neta menyebutkan setidaknya ada tiga diskriminasi di tubuh
Polri yang harus segera dihilangkan Kapolri Sigit, mengingat dirinya sebagai
ikon anti-diskriminasi di Polri. Pertama, segera cabut Surat Keputusan Kapolri
No: Kep/407/IV/2016 tgl 20 April 2016 yang menyebutkan syarat menjadi
Kapolda/Wakapolda harus berpendidikan Sespimti/Lemhanas/Sesko TNI. Sementara
pendidikan Diklatpim TK I tidak diakui dan hanya syarat untuk Irwasda ke bawah.
“Ini jelas sangat diskriminatif dan Polri berpotensi
diboikot LAN (Lembaga Administrasi Negara-red) sebagai lembaga yang membuat Diklatpim
untuk seluruh ASN (Aparatur Sipil Negara-red),” tutur Neta.
Kedua, kata Neta, Pati Polwan Polri selama ini
terdiskriminasi dan sangat sulit bagi mereka untuk menjadi Kapolda. Padahal
jumlah penduduk perempuan di Indonesia saat ini lebih dari 55 persen. Dalam
sejarah Polri baru satu perempuan menjadi Kapolda, yakni Brigjen Rumiyah di
Banten.
Ketiga, imbuh Neta, perwira lulusan Sekolah Inspektur Polisi
Sumber Sarjana (SIPSS) saat ini tidak bisa mengikuti Sespimma, Sespimmen dan
Sespimti. Para lulusan SIPSS diarahkan ke pendidikan Diklatpim I, II, dan III.
Kebijakan diskriminatif itu dikeluarkan melalui Pengumuman Kapolri, Nomor:
PENG/4/I/DIK.2.2/2021 tanggal 8 Januari 2021 tentang penyelenggaraan pendidikan
SESPIMMA Angkatan ke-65 dan 66 T.A. 2021.
Salah satu isi poin nomor 3b, kata Neta, yaitu
persyaratannya hanya untuk Perwira Lulusan Akpol dan SIP. Tentunya pengumuman ini sangat merugikan dan
sangat diskriminatif bagi lulusan SIPSS.
Selanjutnya jika
melihat dari ST Kapolri Nomor: ST/299/I/DIK.2.5./2020 Tanggal 29 Januari 2020,
pendidikan Diklatpim Tingkat I, terdapat syarat ketentuan usia anggota Polri
minimal 47 tahun. Hal ini sangat diskriminatif bagi lulusan SIPSS, karena untuk
di level AKP, rata-rata usia lulusan Personel Polri dari SIPSS berada pada usia
32 tahun.
“Artinya jenjang kariernya akan tertunda sangat lama, sampai
usia 47 tahun,” ucap Neta.
IPW berharap Sigit sebagai Kapolri baru, yang baru lolos
dari lubang jarum diskriminasi di tubuh Polri, bisa melihat berbagai kebijakan
yang bersifat diskriminatif di tubuh kepolisian. Setidaknya bisa melihat,
kenapa perwira SIPSS tidak diperbolehkan ikut Dikbangum Polri, padahal mereka
juga personel Polri yang sama dengan lainnya.
“Jika di internalnya saja, Polri sudah penuh dengan sikap
sikap diskriminasi bagaimana anggotanya yang bertugas di lapang bisa bersikap
Persisi dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Bagaimana anggota
Polri bisa bersikap adil dalam melakukan penegakan hukum di masyarakat,
sementara kehidupan institusinya penuh dengan sikap diskriminasi,” ungkap Neta.
Sebab itu, kata Neta, setelah dilantik menjadi Kapolri tugas
pertama Sigit adalah segera mencabut dan menghapus semua kebijakan yang berbau
diskriminasi di tubuh Polri. Sigit harus mampu menjadi ikon anti-diskriminasi.
(*/pur)
0 Comments