![]() |
M. Rizal Fadillah. (Foto: Istimewa) |
KOMISI NASIONAL Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuai kecaman
karena tak mampu menuntaskan tugas penyelidikan dengan baik. Terlalu banyak
pertanyaan yang menyertainya seperti benarkah tembak menembak, di mana dua
orang tewas ditembak, siapa penembak dua dan empat anggota laskar, bagaimana
menjelaskan bekas luka dugaan siksaan, siapa saja penumpang dua mobil pembuntut
misterius yang bukan polisi, mobil “sang komendan” Landcruiser itu milik siapa,
dan masih banyak lagi pertanyaan lain.
Nyaris pekerjaan sia-sia Komnas HAM karena gagal menemukan
fakta-fakta penting. Normatif, tak ambil risiko, dan ujungnya pro-Polisi.
Bahkan semakin ke sini justru terkesan Komnas HAM sekadar menjadi juru bicara
Kepolisian. Lebih menyebalkan setelah secara kontroversial melapor ke Presiden.
Presiden bukan atasan Komnas HAM dan Komnas bukan bekerja atas dasar perintah
Presiden.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 18 Januari 2021
menyatakan bahwa pekerjaan Komnas HAM tidak tuntas dan diminta untuk mendalami
kembali hingga ditemukan aktor intelektual dari kejahatan “unlawful killing”
tersebut. Kualifikasinya bukan semata pelanggaran HAM tetapi pelanggaran HAM
berat. Presiden hendaknya mendukung pendalaman atau investigasi guna menyeret
aktor intelektual hingga proses peradilan.
Diduga kuat peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” bukan
insiden kebetulan karena berawal dari pengintaian dan pembuntutan intens Habib
Rizieq Syihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI). Suatu cara kerja tidak lazim
bahkan berindikasi melanggar hukum.
Keberadaan mobil Landcruiser yang datang “mengomandani”
pembunuhan atau pembantaian patut untuk ditelusuri. Begitu juga dengan
keberadaan surat perintah atau surat tugas.
Bisa saja aktor intelektual perbuatan aparat brutal ini
adalah Kapolda Metro Jaya, bisa pula Kapolri. Bukan mustahil juga Presiden
Republik Indonesia. Karenanya perlu kejelasan. Meski pihak Kepolisian telah
membantah keterlibatan atasan, akan tetapi indikasi yang ada menuntut untuk
pengusutan lebih lanjut. PP Muhammadiyah mendesak agar dapat ditemukan aktor intelektual
dari kejahatan ini.
Ditemukan dan lebih lanjut diproses hukum aktor intelektual
pelanggaran HAM berat “Km 50” ini sangat penting untuk sekurangnya tiga hal.
Pertama, agar tidak terbiasa mengorbankan bawahan untuk melepas tanggungjawab
atasan dan kepentingan politik yang lebih luas. Kedua, menjadi terobosan atas
banyaknya kasus pelanggaran HAM yang menggantung dan terus menjadi tagihan
perilaku rezim. Ketiga, dapat menghindari keterlibatan lembaga penyelidikan dan
peradilan HAM internasional.
Dari pantauan publik dan juga laporan “sederhana” Komnas
HAM, maka peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” diduga kuat menjadi peristiwa
berdisain matang dan panjang yang melibatkan satu atau lebih aktor intelektual.
Karenanya desakan PP Muhammadiyah bukan saja rasional dan obyektif, tetapi juga
merupakan jalan strategis bangsa untuk menghargai dan memuliakan Hak Asasi
Manusia. (***)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
0 Comments