Zainal Bintang (Foto: Istimewa) |
NAMA Andi Taufan
Garuda Putra, 33, pendiri PT Amartha
Mikro Fintek (Amartha) dan Adamas Belva Syah Devara, 30, atau Belva Devara
co-founder dan pemilik perusahaan aplikasi pelatihan (edutech) Ruangguru,
hari kini mendadak heboh. Nama kedua figur generasi milenial kesohor itu
belakangan menghiasi pemberitaan multi media di tanah air, termasuk media di
luar negeri.
November 2019 nama keduanya membetot perhatian publik,
karena termasuk di antara tujuh orang generasi muda milenial pelaku perusahaan
startup (rintisan) papan atas yang diangkat menjadi Staf Khusus Milenial
Presiden Jokowi. Medio April keduanya diributkan karena tuduhan kolusi dengan
pihak kekuasaan. Perusahaan milik keduanya dituduh memanfaatkan jalur cepat
Istana.
Dalam waktu relatif singkat pada minggu ketiga April,
keduanya bagaikan tombak kembar serempak menyatakan mengundurkan diri sebagai Staf Khusus (Stafsus) Presiden. Langkah itu diambil setelah dihujani hujatan dan tekanan dari
masyarakat yang merasa terganggu dengan ulah sang milenial itu. Selaku pemilik
perusahaan yang merangkap sebagai Stafsus Presiden, mereka dianggap m
elanggar
asas kepantasan. Bahkan dianggap menutup mata terhadap unsur destruktif sebuah
konflik kepentingan (conflict of interest).
Didahului dengan terbongkarnya praktik tidak terpuji
Andi Taufan yang kepergok menyurati camat se-Indonesia yang menggunakan tanpa
izin kop surat Sekertariat Kabinet bertanggal 1 April 2020. Melalui surat itu,
dia meminta camat se-Indonesia bekerjasama dengan PT Amartha (miliknya) dalam
proyek pemberantasan wabah Cofid-19 di desa desa.
Kasus serupa tapi tak sama, menimpa Belva Devara.
Perusahaanya ditunjuk Kemenko Perekonomian menjadi salah satu pengelola proyek
pelatihan Kartu Prakerja senilai Rp 5,6 triliun.
Secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar. Yang
terlanggar adalah dimensi kepatutan. Aroma cacat etika dan moral kental di
dalamnya. Soalnya posisi strategis kedua anak muda itu membuatnya memiliki
akses jalur cepat ke pusat kekuasaan. Memudahkannya mengkloning informasi A-1.
Termasuk bisnis proyek berskala jumbo. Mereka dituduh mempraktekkan kelakuan
penunggang gelap (free rider). Penikmat terbesar tanpa kerja keras.
Merespons gelombang kemarahan masyarakat yang mengutuk
perilaku yang tidak pantas, kedua Stafsus itu, akhirnya mengundurkan diri.
Didahului Belva Devara yang memutuskan mengundurkan diri sebagai Stafsus
Presiden pada 15 April. Dan, hari ini 24 April Andi Taufan juga resmi
mengundurkan diri sebagai Stafsus, meskipun surat pengunduran dirinya sudah
diajukan kepada Presiden sejak 17 April.
Di dalam pemahaman masyarakat, pengusaha yang terkoneksi
dengan Istana sangat mudah mengangkangi proyek jumbo beranggaran triliunan
rupiah. Pengusaha kuat berwatak kapitalis penganut faham neolib terlihat begitu
gampang mendapat privileges (hak istimewa) dari pemerintah. Di lapangan
terlihat mereka memonopoli nyaris semua proyek kakap dari pemerintah.
Sebutlah proyek sejenis infrastruktur atau impor bahan
makanan. Meskipun pemerintah mencoba menetralisir dengan menempatkan BUMN
(Badan Usaha Milik Negara) sebagai lokomotif di depan sebagai “owner”. Akan
tetapi dalam prakteknya, tetap saja yang operasional adalah para taipan,
meskipun dengan diembeli tameng sebagai sub-kontraktor. BUMN cukup berpuas diri dengan sejumlah fee resmi
maupun tidak resmi sebagai kompensasi.
Ketimpangan kebijakan pemerintah di lapangan dalam
konteks ekonomi akarnya ada pada pergeseran substansi pasal 33 pada Undang
Undang Dasar (UUD) 1945. Sesuai UUD 1945 pasal 33 yang asli sejatinya
bersemangat sosialis. Hal itu merujuk kepada sila kelima Pancasila yang
berbunyi : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun pasal 33 pada UUD 1945 itu telah mengalami
perubahan substansial akibat amandemen empat kali oleh para reformis. Makna
sosialis itu digeser menjadi praktik ekonomi kapitalis yang sangat liberal
(neolib). Menjadi lahan subur tumbuhnya konglomerasi dengan aktor utama para
taipan.
Dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit
Suisse menunjukkan bahwa 1 peren orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6
persen total kekayaan penduduk dewasa di
tanah air. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen
total kekayaan penduduk. Artinya, regulasi kebijakan pembangunan yang
dibuat pemerintah selama ini membuka ruang perselingkuhan konglomerat dengan
elite politik papan atas yang membangun kekuatan baru : Oligariki ! Sebuah
komplotan gelap yang sangat kuat. Nyaris tidak tersentuh. Dan kebal hukum.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan kesejahteraan di Indonesia masih sangat tinggi. Berpotensi
menjadi “bom waktu” yang sewaktu-waktu meledak.
Pemerintah tidak boleh cuek dan memandang remeh hal ini.
Bangsa ini dipandang perlu didorong melakukan kontemplasi panjang yang serius.
Bersama melakukan katarsis (penyucian diri) lantaran telah membiarkan Pancasila
selama ini senyap sendiri di sudut bumi yang kelam.
Sementara itu harus diakui, generasi milenial adalah anak
kandung kemajuan teknologi informasi (information technology). Kemajuan mana
telah mendorong, - jika tidak mau dikatakan, - memaksa masa kecil generasi
milenial bertumbuh dan besar dibawah asuhan ibu asuh yang bernama internet.
Membuatnya lebih akrab dengan ponsel atau laptop dibanding dengan yang lain.
Generasi milenial yang cerdas-cerdas adalah sebuah rahmat dan karunia alam.
Olehnya, rakhmat dan karunia kepintaran tersebut tidak boleh tercerabut dari
jatidiri bangsa yang melahirkannya.
Kasus kedua figur simbol generasi milenial sukses
tersebut di atas, patut dijadikan pembelajaran berharga. Generasi milenial itu
dituntut menyeimbangkan nilai kultural, adat istiadat dan tata krama di satu
sisi, dengan ilmu dan kemajuan teknologi yang mereka dapatkan dari lembaga
pendidikan tinggi kelas dunia, di sisi lain. Katakanlah, diperlukan sikap
kritis bertempo tinggi terhadap gejala pemujaan yang berlebihan kepada
kecerdasan buatan (artificial intellingence) yang kini lagi trend, dan merebak
bertepatan pula ketika dunia saat ini tengah dilanda wabah faham paska
kebenaran (post truth).
Keberhasilan memperoleh ilmu melalui perguruan tinggi
kelas dunia, tidak boleh serta merta membuat generasi milenial mabuk kepayang
dan bebas nilai. Derasnya limpahan kekayaan materi, bukan pula paspor bebas
visa untuk merusak nilai luhur yang sudah mapan sebagai kemuliaan peradaban di
negeri sendiri.
Kekayaan ilmu dan kelimpahan materi hanya akan punya
makna tinggi jika pada saat yang bersamaan mampu menjunjung tinggi tata nilai
dan jatidiri bangsa. Bukan sebaliknya. Mereka tidak boleh meninggalkan
kemuliaan akhlakul karimah digantungan baju di belakang pintu kamar tidur.
Nilai luhur ini harus melekat dan bersenyawa dalam setiap tarikan nafas mereka.
Di mana pun mereka berada.
Intinya jangan sampai ada Malin Kundang Milenial di
antara kita di abad modern ini. Selamat memasuki hari pertama bulan
suci Ramadhan 1441 H. Maaf lahir batin. (***)
Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati sosial
budaya
0 Comments