Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dewan Pers Tolak RUU Cipta Lapangan Kerja Omnibus Law

RUU Omnibis Law mendapat kecaman 
dari berbagai pihak termasuk kaum buruh.
(Foto: Istimewa) 




NET -  Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) terus menuai protes keras dari berbagai pihak. Penolakan tidak hanya datang dari Serikut Buruh Indonesia, akan tetapi juga penolakkan keras datang dari insan Pers Indonesia.

Melalui Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), Pemerintah disinyalir ingin kembali ikut campur tangab mengatur dunia Pers Indonesia. Untuk itu, Dewan Pers menolak pasal-pasal yang terdapat pada RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang berpotensi mengekang Kebebasan Pers, seperti pada masa jaman Rezim Orde Baru silam. Untuk itu, secara tegas Dewan Pers menolak adanya upaya pemerintah untuk ikut campur tangan lagi dalam kehidupan Pers Indonesia. 

"Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Ombnibus Law Cipta Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi admintstratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12,"  ungkap anggota Dewan Pers Imam Wahyudi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020).

Imam menjelaskan Pasal 9 RUU Cipta Lapangan Kerja atau Omnibus Law memuat ketentuan soal perusahaan Pers yang harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sementara untuk Pasal 12 mengatur soal perusahaan Pers yang wajib mengumumkan nama,  alamat, dan penanggung jawabnya secara terbuka.

Padahal, kata Imam, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi Payung Hukum Kebebasan Pers saat  dibentuk dengan semangat self regutatory  dan tak ada campur tangan dari pemerintah di dalamnya.

"Semangat itu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa jaman rezim Orde Baru, dimana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang Pers," jelasnya.

Imam menjelaskan pada saat jaman rezim Orde Baru, campur tangan pemerintah terhadap Kebebasan Pers yang ditunjukkan melalui adanya kewenangan Pemerintah untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pemerintah juga mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui dan Kemudian lahirnya Undang Undang Pers tahun 1999 yang memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah rezim orde baru dalam mengekang Kebebasan Pers. 

"Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan. Dewarn Pers yang dibentük oleh komunitas Pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti pada masa rezim Orde Baru. Artinya, kewenangan untuk menginmplementasikan undang-undang ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya," tandas Imam.

RUU Cipta Lapangan Kerja mengatur agar ada peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif. Hal itu jelas merupakan bentuk kemunduran bagi Kebebasan Pers. Menurut Imam ini sama saja dengan menciptakan mekanisme pintu belakang atau jalan tikus bagi Pemerintah untuk ikut campur dalam urusan Pers.

"Kami sangat mengkhawatirkan hal buruk pada masa jaman rezim Orde Baru akan terulang lagi, dimana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang Kebebasan Pers, kami meminta revisi pasal-pasal tersebut dicabut," tegas Imam. (btl)

Post a Comment

0 Comments