Para mahasiswa yang melancarkan aksi demo dengan aneka jaket kampus. (Foto: Istimewa) |
JUJUR saya kecewa. Awalnya saya
membayangi para mahasiswa, anak-anak kita, adik-adik kita, yang berdemo, Selasa
(24/9) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Jakarta
dan di gedung-gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hampir di seluruh
tanah air, akan menikmati panggungnya. Mereka akan diterima dengan tangan
terbuka, disambut bak saudara sejiwa.
Tapi, nyatanya tidak. Pentungan,
semprotan water cannon , gas air mata, penganiayaan, darah segar tetap saja mereka
hadapi. Bahkan lebih ngeri lagi, tempat anak-anak, adik-adik kita bersembunyi:
stasiun kereta api, gedung-gedung di luar komplek DPR-RI, bahkan mesjid
diserbu.
Malah saat masuk ke mesjid, polisi
tetap menggunakan sepatu masuk ke tempat suci itu. Padahal sepatu-sepatu mereka
bukan tidak mungkin terkena tinja, kotoran, dan najis. Jadi, atas nama apa pun,
perbuatan okum polisi itu sangat tidak dibenarkan. Dan telah menghina rumah
Allah. Jika para oknum itu beragama islam, segera bertobat!
Jadi, jujur kekecewaan saya begitu
besar. Lho, kenapa? Bukankah memang begitu suasana demo? Apalagi jika agendanya
memang cukup berat seperti saat ini. Ya, begitu memang. Tapi, para anggota
DPR-RI yang ada saat ini kan selalu mengaku sebagai mantan aktivis 1998. Mereka
selalu menepuk-nepuk dada seperti King Kong dalam film-film layar lebar sambil
berteriak-teriak: "Aku ini aktivis 1998! Aku aktivis reformasi. Aku ini
pejuang!" pekiknya tak kalah heroik dari King Kong itu.
Namun faktanya? Alih-alih
membukakan pintu, menyambut para pejuang muda, eee mereka justru menikmati
sejuknya AC (Air Condition-red). Benar mereka sedang menyidangkan Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang didemo itu, tapi, sekali lagi,
mestinya ada para mantan pejuang jalanan itu yang mendampingi para petugas
kepolisian di depan.
Sekali lagi, ini menurut saya,
jika mereka sungguh-sungguh pernah jadi aktivis seperti pekik mereka, ya
mestinya tahu bahwa petugas akan refresif. Dan, penganiayaan pasti tak akan
terhindarkan.
Tapi, mereka semua tak perduli.
Mereka tak ubahnya seperti para elit yang 1998 mereka demo, mereka kecam.
Mereka juga sepertinya menikmati setiap ayunan pentungan polisi ke arah para
mahasiswa. Mereka bukan tidak mungkin akan bersorak di setiap luncuran dan
letusan gas air mata.
Demi Allah, saya kecewa dengan
semua itu.
Khusus untukmu, anak-anakku,
adik-adikku, keponakan-kepinakanku. Jangan pernah mengeluh. Jangan pernah
takut, jangan pernah mundur. Bahwa ada teman-temanmu yang mbalelo seperti
juga-juga para pengkhianat itu, tapi jangan ragu. Terus, terus, dan terus.
Semoga Allah melindungimu.
Aamiin. ***
Pernulis adalah Wartawan Senior
0 Comments