![]() |
Suasana Diskusi Publik: mahasiswa antusias. (Foto: Istimewa) |
NET - Menjelang Pemilu 2019, fenomena berita bohong atau
hoax terus bergulir. Hoax kerap menjadi alat saling menjatuhkan untuk
memenangkan kontestasi politik, khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden. Hal ini terungkap pada Diskusi Publik yang mengusung tema ‘Pemuda dan
Literasi Digital menuju Indonesia Anti Hoax’ yang digelar di kawasan Ciceri,
Kota Serang, Selasa (23/10/2018).
“Hoax menjadi alat pertarungan politik untuk saling
menjatuhkan, merebut kekuasaan. Oknum-oknum pembuat dan penyebar berita bohong
itu nyaris sama sekali tidak memikirkan dampaknya, padahal berita hoax ini
sangat berpotensi memecah belah bangsa,” ujar Ketua Perkumpulan Gerakan
Kebangsaan (PGK) Syamsul Hidayat.
Syamsul menjelaskan
perkembangan teknologi komunikasi, tidak hanya memberikan dampak
positif, tetapi juga memunculkan masalah dan kegaduhan di masyarakat, khususnya
arus informasi yang tersebar di media sosial.
“Jelang pesta demokrasi lima tahunan ini, berita hoax sering
kali menghiasi dinding-dinding sosial media. Arus penyebarannya cukup masif,
sehingga menjadikan hegemoni hoax menjadi konsumsi masyrakat sehari-hari,” ucap
Syamsul.
Kondisi ini, kata Syamsul, tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. Semua pihak harus siap melawan hoax, karena dampak dari hoax
sangat berbahaya, bisa merugikan individu, kelompok bahkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
“Karena berita bohong yang dibuat bisa membuat reputasi
buruk bagi bangsa itu sendiri. Bisa menimbulkan konflik sesama anak bangsa,”
tuturnya.
Menurut Syamsul, diskusi yang secara khusus mengundang
mahasiswa dari berbagai kampus dan lintas organisasi tersebut diharapkan bisa
memberikan edukasi dan pencerahan kepada generasi muda untuk bersama-sama
melawan hoax.
“Minimal mereka menggunakan sosial media dengan arif dan
bijaksana. Mencermati arus informasi, tidak menjadi korban hoax, maupun
penyebar bahkan pencipta hoax,” ujarnya.
Ketua Pemuda Muhammadiyah Provinsi Banten Suparta Kurniawan
yang menjadi narasumber diskusi mengungkapkan hoax muncul karena dibuat oleh
orang atau kelompok untuk kepentingan tertentu.
“Hoax ini bisa menjelma menjadi hidangan bagi siapapun. Hoax
adalah kejahatan peradaban, makanya cluster pemuda jangan coba-coba untuk
menyebar hoax, karena hoax bisa diproduksi oleh siapapun," kata Sparta.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor
Provinsi Banten Tubagus Adam Ma'rifat menjelaskan fenomena hoax yang semakin
hari semakin menjalar, bukan untuk didiamkan melainkan untuk dilawan bersama-sama
oleh seluruh elemen masyarakat.
“Persoalan hoax bukan hanya pelaku, tapi juga korban yang
seringkali pengen eksis, ikut-ikutan share, maka tabbayun atau klarifikasi
menjadi penting. Pemuda harus diedukasi, menahan diri untuk tidak asal
share," jelasnya.
Membangun Budaya Literasi
Pada akhir diskusi, Analis Komunikasi dan Media Rapih
Herdiansyah yang juga sebagai narasumber mengatakan hoax umumnya terdistribusi
melalui media berbasis internet, sehingga tidak heran apabila penyebarannya
cukup cepat dan meluas.
“Media sosial yang menjadi sarana menyebarnya hoax. Aplikasi
instant messaging juga sering jadi sarana tersebarnya Hoax,” kata jebolan
Magister Ilmu Komunikasi Politik dan Media Universitas Mercu Buana, Jakarta
ini.
Rapih mengatakan banyak masyarakat yang terjebak hoax
disebabkan karena minimnya literasi, yakni kemampuan dalam mencermati, menganalisa
dan mempelajari informasi.
“Karena itu, kita perlu tingkatkan literasi. Generasi muda
yang paling banyak terpapar arus informasi melalui media berbasis internet,”
ujarnya.
Tugas penting yang harus dilakukan pemuda saat ini, kata
Rapih, adalah membangun budaya literasi, sehingga bisa menjadi garda terdepan
dalam memberantas hoax.
"Orang yang kemampuan literasinya minim, dialah yang
rentan masuk dalam pusaran hoax,” ucap Sekretaris Serikat Media Siber Indonesia
(SMSI) Provinsi Banten itu. (*/pur)
0 Comments