![]() |
Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyo menghampiri dan menyalami Wahidin Halim. (Foto: Istimewa) |
NET – Gubernur Banten H. Wahidin Halim menghadiri
penyampaian pidato politik pada perayaan ulang tahun Partai Demokrat yang ke-17
oleh Ketua Partai Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di
Gedung Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, Senin (17/9/2018).
Presiden Republik Indonesia keenam tersebut menaruh
perhatian khusus terhadap Wahidin Halim sebagai kader Partai Demokrat yang kini
menduduki kursi Gubernur Banten. Baik setiba di lokasi acara dan seusai
pembacaaan pidato, SBY menghampiri dan menyalami Wahidin Halim yang akrab
disapa WH itu.
Ada pun rangkaian pidato SBY antara lain menyebutkan
pentingnya politik yang beradab.
"Sekarang, saya akan menyampaikan hal lain yang tidak
kalah pentingnya, yaitu tentang pentingnya politik yang beradab di negeri kita,”
tutur SBY.
Esensi dari politik yang beradab adalah adanya kekuasaan
yang amanah dan tidak korup dalam arti tidak disalahgunakannya kekuasaan itu;
terjaminnya hak-hak politik rakyat termasuk kebebasan berbicara; demokrasi yang
tertib, tidak anarkis dan taat pada pranata hukum; dan pers yang merdeka namun
juga bertanggung jawab.
Politik juga “civilized”, atau berkeadaban, jika semua
menghormati sistem pergantian kepemimpinan politik, termasuk Presiden, dan
tidak ada gerakan untuk menjatuhkan Presiden di tengah jalan secara
inkonstitusional.
Kehidupan politik yang baik juga bebas dari represi kekuasaan
terhadap rakyatnya. Sementara, rakyat dengan dalih kebebasan juga tidak boleh
melakukan tindakan melawan hukum serta mengganggu ketertiban dan keamanan
publik.
Kita terus membangun politik dan demokrasi yang makin
matang, makin berkualitas dan akhirnya makin beradab. Kita juga terus diuji
apakah dalam perjalanan bangsa ini, termasuk pemilu yang akan kita laksanakan,
politik dan demokrasi yang beradab itu dapat kita jaga dan kembangkan."
Ujian-ujian Jelang Pemilu 2019.
"Menjelang pemilihan umum 2019, politik akan makin
memanas. Banyak godaan dan ujian yang akan kita hadapi.
Negara kembali akan diuji apakah Pemilu 2019 ini dapat
berlangsung secara damai, adil dan demokratis. Peaceful, free and fair
election. Tiga pemilu sebelumnya ~ Pemilu 2004, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014,
berlangsung secara damai, adil dan demokratis. Sejarah akan menguji apakah
negara dapat mempertahankan prestasi ini.
Kita akan diuji, apakah untuk meraih kemenangan dalam
pemilu, ada yang tergoda menghalalkan segala cara. Termasuk menyalahgunakan
kekuasaan, melanggar Undang-Undang serta menghalang-halangi pihak lain untuk
menjalankan kampanye pemilu yang semestinya.
Kita akan diuji apakah pemilu ini bisa mencegah politik uang
(money politics) yang makin menjadi-jadi. Demokrasi akan runtuh dan rakyat akan
dikebiri manakala uang menjadi penentu segala-galanya. Gelap politik kita kalau
uang digunakan sebagai alat untuk membeli suara rakyat dan juga sebagai
transaksi terbangunnya koalisi partai-partai.
Kita akan diuji apakah pemilu ini bebas dari intimidasi yang
akan mengganggu kedaulatan rakyat untuk menjatuhkan pilihannya. Kekuatan atau
power yang dimiliki oleh siapapun tidaklah boleh untuk mengintimidasi dan
memaksa seseorang agar memilih kandidat atau partai politik tertentu.
Kita akan diuji apakah politik identitas yang melebihi
takarannya akan dimainkan oleh para kandidat dan partai-partai politik peserta
pemilu. Di negara manapun, selalu ada korelasi antara identitas dengan
preferensi pemilihan dan politik. Namun, apabila melebihi kepatutannya dan
secara membabi buta dijadikan “penentu” untuk memilih seseorang ataupun partai
politik tertentu, demokrasi kita akan mundur jauh ke belakang.
Kita akan diuji apakah pers dan media massa bisa bertindak
adil dan memberikan ruang yang berimbang bagi para kandidat dan kontestan
peserta pemilu. Media massa adalah milik rakyat, milik kita semua. Janganlah
media massa tidak lagi independen dan berimbang dalam pemberitaannya lantaran
tekanan pemilik modal dan pihak-pihak tertentu.
Dan kita akan diuji, apakah perangkat negara termasuk
intelijen, kepolisian dan militer netral dan tidak berpihak. Ingat, TNI, Polri
dan BIN adalah milik negara, milik rakyat Indonesia. Akan mencederai sumpah dan
etikanya kalau aparat negara tidak netral. Sebagai salah satu pelaku reformasi,
saya ingatkan TNI, Polri dan BIN harus belajar dari sejarah, bahwa karena
kesalahan masa lampaunya, rakyat terpaksa memberikan koreksi.
Pendek kata, delapan bulan mendatang ini, kita semua akan
diuji oleh sejarah. Siapa yang lulus dan siapa yang tidak lulus.
Para Kader Demokrat yang saya banggakan, Saya mengajak
Partai Demokrat untuk tidak menjalankan dan masuk ke dalam politik identitas,
atau politik SARA. Jangan sampai untuk mengejar kemenangan, kita mengorbankan
persatuan, persaudaraan dan kerukunan di antara sesama elemen bangsa. Jangan
sampai kita ikut menyemaikan benih-benih perpecahan dan disintegrasi yang
sangat membahayakan masa depan bangsa kita.
Dalam kampanye pemilu, kampanye negatif memang tidak bisa
dihindari. Ini juga terjadi di negara lain. Namun, kita harus mencegah
digunakannya fitnah, hoax dan ragam kampanye hitam yang lain.
Saya mengajak Partai Demokrat untuk tidak ikut-ikutan
melakukan fitnah dan menyebarkan hoax. Namun, kita juga harus menjaga
kehormatan kita kalau kita mendapatkan fitnah.
Saya memahami kemarahan para Kader Demokrat terhadap
tangan-tangan asing yang mengobok-obok urusan bangsa kita. Saya tahu para Kader
Demokrat gusar karena fitnah keji ini dimunculkan di musim pemilu sehingga,
pihak yang menyebarluaskan fitnah ini juga memiliki motif dan kepentingan
politik. Namun, saya menyeru kepada para Kader untuk tidak main hakim sendiri,
termasuk kepada media massa dalam negeri yang ikut menyebarluaskan fitnah ini.
Ingat, negara kita adalah negara hukum. Bukan negara gruduk
dan negara kekerasan. Saya pastikan kita akan menggunakan hak hukum kita untuk
menyelesaikan masalah ini. Akan kita kejar sampai ke ujung dunia mana pun, yang
merusak dan menghancurkan nama baik kita. Ini juga berlaku bagi pihak-pihak di
dalam negeri yang ikut-ikutan memfitnah dan merusak kehormatan kita."
(*/ril)
0 Comments