![]() |
Tiang pancang Becakayu, Jakarta Timur, salah satu proyek yang mengalami kecelakaan saat dibangun. Peristiwa terjadi pada Selasa (20/3/2018) dinihari. (Foto: Istimewa) |
NET - Proyek infrastruktur Presiden Joko Widodo (Jokowi)
masih saja ada yang ambruk, meski sudah dievaluasi. Apakah ada sabotase di
balik kasus ini atau hanya sekadar kelalaian kerja? Tapi kenapa kelalaian itu
terus beruntun tanpa henti, kata Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S.
Pane, Rabu (18/4/2018).
“Kasus ambruknya infrastruktur Jokowi ini sudah menewaskan
11 orang dan melukai 22 orang lainnya," tutur Neta dalam siaran pers yang
diterima tangerangnet.com.
Dari pendataan Ind Police Watch (IPW), kata Neta, selama 9
bulan terakhir, yakni dari Agustus
2017 hingga 17 April 2018 ada 16 proyek infrastruktur Jokowi yang ambruk. Mulai
dari beton cor yang ambruk, tiang penyanggah yang rubuh hingga girder yang
jatuh.
Ironisnya, imbuh Neta, polisi terkesan kurang serius
menangani kasus ini. Terbukti hingga kini belum ada satu pun dari 16 kasus
ambruknya infrastruktur Jokowi itu yang dilimpahkan ke kejaksaan. Polisi hanya
selalu mengatakan sedang melakukan pendalaman, meski sudah menetapkan sejumlah
tersangka.
“Bisa jadi, sikap polisi yang kurang serius ini tidak
menimbulkan efek jera dan kasus infrastruktur Jokowi yang ambrol terus
berulang. Dimulai dari ambrolnya Proyek LRT (light rail transit) di Palembang,
Sumatera Selatan, pada Agustus 2017 hingga ambruknya Proyek Tol Bitung pada 17
April 2018 yang menewaskan 2 orang,” tutur Neta.
IPW berharap, kata Neta, polisi bekerja cepat dan serius
menuntaskan kasus ambruknya 16 proyek infrastruktur Jokowi ini. Sehingga
kasusnya bisa terungkap di pengadilan, apakah ada sabotase atau hanya faktor
kelalaian. Dengan dituntaskannya kasus ini, ada efek jera dan muncul kehati-hatian
dalam menyelesaikan proyek proyek itu secara profesional.
Neta mengatakan bagaimana pun, ambrolnya 16 proyek
infrastruktur Jokowi itu memunculkan 5 dampak negatif. Pertama, akan merusak
citra Jokowi karena dianggap terlalu ambisius. Kedua, merugikan keuangan
negara. Ketiga, kekhawatiran sabotase. Keempat, standar keamanan proyek itu
seperti diabaikan. Kelima, memunculkan kekhawatiran masyarakat jika melintas di
sekitar proyek tersebut
.
Dalam menangani kasus ambrolnya 16 proyek infrastruktur
Jokowi ini, kata Neta, polisi sebenarnya bisa mengenakan pasal berlapis. Bahkan
bisa mengenakan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 22 tahun 2009
tentang lalulintas angkutan jalan yang menjerat tersangkanya dengan hukuman
lima tahun penjara.
“Tapi sayangnya, polisi masih masih bekerja lamban,” ucap
Neta. (*/ril)
0 Comments