Gan-Gan R.A. (Foto: koleksi pribadi) |
Oleh : Gan-Gan R.A.
Awal
mula gagasan hukum lahir sebagai suatu konsep ideal yang menjadi pembahasan
utama para filsuf dalam merumuskan kerangka-kerangka dasar konseptual hukum
demi terciptanya keadilan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Hukum sebelum
menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, merupakan
metamorfosis dari revolusi ide dan gagasan besar dari ruang sublimitas kontemplasi
para filsuf yang mengguncangkan peradaban pemikiran dunia.
Socrates,
filsuf terkemuka dari Yunani, menjelaskan bahwa sesuai hakikat manusia, maka
hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan
keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu
orang kuat, bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri.
Hukum
sejatinya tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. Asas
keadilan dan kemanfaatan dalam hukum menjadi esensial ketika hukum dibuat,
disahkan dan diberlakukan. Namun pada kenyataannya, hukum sebagai produk
politik seringkali dijadikan sebagai alat kekuasaan merupakan suatu bukti yang
tak terbantahkan tentang adanya intervensi kepentingan rezim yang berkuasa
dalam mendesain draf Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk disahkan sebagai
produk hukum positif.
Pasal Lese-Majeste
dan Haatzai Artikelen
Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan telah bersepakat untuk
menghidupkan kembali pasal tentang lese-majeste,
yakni pasal penghinaan terhadap penguasa; Presiden/Wakil Presiden ke dalam pembahasan
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana Panitia Kerja (Panja) di
DPR akan membahasnya dalam Revisi KUHP (RKUHP). Padahal pada 6 Desember 2006, Pasal
134, Pasal 136 bis, Pasal 137 KUHP yang dikategorikan lese-majeste,
dan penghinaan terhadap Pemerintah diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155
dikategorikan haatzai artikelen.
Pasal lese-majeste dan haatzai artikelen telah dibatalkan lewat putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 6/PUU-V/2007. Alasan
MK membatalkan, karena pasal tersebut bertentangan dengan hak kebebasan
menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan berekspresi warga negara. Lalu
pada 17 Juli 2007 MK menyatakan haatzai
artikelen tidak lagi memiliki
kekuatan hukum mengikat. Pasal leje-majeste
dan haatzai artikelen adalah
inkonstitusional.
Pasal lese-majeste, dibuat sekitar tahun
1800-an, sering diberlakukan di negara-negara monarki, karena Raja diindentikan
sebagai simbol negara. Di beberapa negara Eropa lese majeste ini masih berlaku, antara lain di Norwegia, Spanyol,
Denmark, dan Belanda.
Sedangkan
di Asia Tenggara hanya Thailand, hukum lese-majeste
tertuang dalam bentuk aturan tentang penghinaan kepada Raja beserta
keluarganya sejak 1908. Saat itu, Raja memiliki kekuasaan absolut, berbeda
dengan sistem monarki konstitusional, di mana Raja menempati posisi kepala
negara, bukan kepala pemerintahan.
Negara
dalam teori hukum modern menjelaskan, bahwa dalam sistem presidensial, Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, bukan sebagai
lambang negara. Berbeda dengan Belanda yang menganut sistem monarki
parlementer, di mana kepala negara adalah Ratu sebagai simbol negara, sementara
kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri.
Ide Pemerintah yang disetujui DPR untuk
membangkitkan pasal lese-majeste dan haatzai artikelen sesungguhnya bentuk
ketidakfahaman tentang anatomi hukum tata negara dan lebih kepada pemberhalaan
kultur feodalistik, disamping perang tafsir hukum. Pemerintah dan DPR tengah membangkitkan
kembali gairah neokolonialisme yang bisa menyeret republik ini ke era kegelapan
demokrasi dan membuka ruang bagi otoritarianisme; kontrol represif yang mencekik
leher kebebasan berpendapat yang dimanipestasikan rakyat lewat pernyataan
kritik kepada rezim yang tengah berkuasa. Jika pasal karet tersebut disahkan,
reinkarnasi pasal subversif mulai mengancam. Dengan mudah penguasa bisa
mempidanakan lawan politik, aktivis pro demokrasi dan HAM, aktivis mahasiswa,
jurnalis dan kalangan intelektual yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Lese-majeste, menurut Oxpord Dictionary dikembangkan
bahasa Perancis dari bahasa Latin Laesa
maietas, artinya “kedaulatan yang terluka.” Menurut Theodor Mommsen dalam A History of Rome Under The Emperors (1992),
hukum ini dapat dilacak eksistensinya dari zaman Kekaisaran Romawi dan mekar di
bawah pemerintahan Kaisar Tiberius.
Di Eropa
ketentuan ini lazim digunakan untuk merujuk perkara pidana penghina kepala
negara, Raja atau orang yang berkuasa lainnya. Disamping lese-majeste juga dikenal haatzai
artikelen yang diatur dalam KUHP Pasal 154 dan 155. Haatzai merupakan kata dalam bahasa Belanda yang berarti
kebencian, sedangkan artikelen
artinya pasal.
Menurut
McGlynn dalam The Press in New Order
Indonesia, pasal haatzai artikelen
digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk kepentingan yang lebih luas;
tidak hanya untuk membenarkan pengawasan kegiatan politik, tetapi juga untuk
memantau dan mengendalikan hampir semua kehidupan intelektual di wilayah
penjajah. Dengan adanya pasal tersebut, apapun bisa dicetak atau diterbitkan,
namun pihak berwenang berhak menuntut, memenjarakan, mengasingkan, dan bahkan
mengeksekusi orang yang terkait dengan publikasi yang dianggap berbahaya bagi
ketertiban umum. Pasal haatzai artikelen ada untuk membungkam
aktivitas politik kaum pribumi yang tengah memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
KUHP
Indonesia merupakan duplikasi dari Wetboek
van Strafrech voor Nedherland Indie (W.v.S) yang pada dasarnya memiliki kesamaan
dengan KUHP Belanda, hanya ranah otoritas yang membedakannya dari rezim yang
sedang berkuasa. WvS melindungi Pemerintah
Belanda dan Hindia Belanda, sedangkan KUHP melindungi Pemerintah Indonesia. KUHP
Belanda yang diberlakukan sejak 1 September 1886 itu pun merupakan epigonisme Undang-Undang
pidana yang mengadopsi Code Penal
Perancis yang sangat dipengaruhi sistem hukum Romawi. Terdapat sebuah jembatan
sejarah hukum antara ketentuan tentang penghinaan yang diatur dalam KUHP
Indonesia dengan perkembangan historis awal tentang Libelli Famosi di masa Romawi Kuno.
Perkembangan
awal pengaturannya telah dikenal sejak 500 Sebelum Masehi (SM) pada rumusan Twelve Tables di era Romawi Kuno.
Tetapi, ketentuan ini seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan
otoritarianisme dengan hukuman-hukuman sangat kejam. Hingga era Kekaisaran
Agustinus (63 SM) peradilan kasus penghinaan terhadap penguasa terus meningkat secara
signifikan. Pasal penghinaan ini secara
turun menurun diwariskan pada beberapa sistem hukum di negara lain, termasuk
Inggris dalam lingkungan Common Law,
dan Perancis sebagai salah satu negara penting pada sistem Eropa Kontinental (Civil Law), sistem hukum yang perkembangan
historis awalnya tentang Libelli Famosi
di masa Romawi Kuno.
Tafsir
Hukum dan Otoritarianisme DPR
Awal Agustus
2015, Pemerintah mengajukan 786 Pasal dalam Rencana Undang-Undang
(RUU)
KUHP ke DPR untuk disetujui menjadi UU KUHP. Di antara pasal yang diajukan tersebut, pasal
penghinaan Presiden/Wakil Presiden adalah pasal kontroversial yang memantik
polemik dan paling banyak ditentang oleh kalangan pakar hukum. Pihak legislator
sebaiknya memahami betul tentang pasal yang dimatikan putusan MK, tidak boleh
dimasukkan lagi ke dalam pembahasan RUU KUHP. Jika hal itu dilakukan, Pemerintah
dan DPR telah melakukan tindakan inkonstitusional; penyelundupan di bidang
rancangan hukum.
Pasal leje-majeste sempat mengalami perdebatan
sengit oleh sejumlah anggota Fraksi di Tim Musyawarah (Timmus) RUU RKUHP
sebelum disepakati bersama Pemerintah untuk dibahas di tingkat Panja. Jika Panitia Kerja
Rencana Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Panja RKUHP) setuju dengan rumusan dari Pemerintah untuk
menjadikan pasal lese-majeste sebagai
delik umum, bukan lagi delik aduan. Maka inilah ancaman paling mematikan untuk
asas demokrasi, dimana rezim otoritarian bisa menggiring siapa pun, apabila
terbukti menghina Presiden/Wakil Presiden dapat dikenakan proses hukum pidana
tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari pihak korban sebagai objek
penghinaan. Jika ini terjadi, maka rakyat Indonesia tengah berhadapan dengan
pemerintahan diktaturisme, rezim yang mengekalkan gairah neokolonialisme di
alam kemerdekaan semu yang memformulasikan kembali tradisi zaman kolonial,
sensor represif terhadap aktivitas politik rakyatnya.
Menteri Hukum dan HAM, Yasona H. Laoly lebih
jauh menjelaskan tentang adanya penegasan perbedaan dalam pasal penghinaan
terhadap Presiden, yaitu pengertian antara kritik dan penghinaan dalam pasal
tersebut. Dalam RUU KUHP, pasal lese-majeste
diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) : “Setiap orang di muka umum yang menghina Presiden/Wakil
Presiden akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.” Sedangkan Pasal 264 berbunyi, “Setiap orang yang
menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum,
yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar
isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Pasal haatzai
artikelen yang menghina Pemerintah dalam RKUHP, terdapat dalam Pasal 284 :“Setiap
orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang
berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Lalu dalam
Pasal 285 :“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan
tulisan, gambar atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang
berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Dari
kontruksi teks pasal lese-majeste dan
haatzai artikelen yang termaktub
dalam RKUHP, kita tengah berhadapan dengan draf rancangan perundang-undangan
yang menapikan persamaan kedudukan setiap individu di mata hukum, equility before the law. Inilah kemunduran
langkah fatal dalam melindungi martabat pemimpin dengan menghidupkan kembali produk hukum warisan
kolonial. Apakah dengan pasal pencemaran nama baik tidak cukup mengakomodir
untuk menjaga kehormatan penguasa? Republik ini seharusnya tengah berjalan
menuju labirin harapan berdemokrasi yang lebih bermartabat, bukan berjalan
mundur ke belakang, tersesat di belantara otoritarian, menjatuhkan diri ke dalam lumpur sejarah masa
lalu untuk terpuruk ke dalam lubang pengkhiatan terhadap esensi hukum yang
bernafaskan keadilan.
Keadilan,
berdasarkan teori Aristoteles, adalah sikap pikiran yang ingin bertindak adil.
Pikiran adalah sentral untuk menggerakan elemen lainnya dalam tubuh. Begitupun
dalam kehidupan bernegara dalam konteks mendesain draf RUU KUHP, keadilan harus
menjadi episentrum pola pikir sebagai penggerak utama dalam merancang produk
hukum yang bertujuan untuk kebajikan hidup masyarakat umum yang berkeadilan.
Tanpa semangat keadilan, hukum akan menjadi pedang di tangan algojo; menjadi
rezim kontruksi teks yuridis yang menistakan keadilan, menyimpang dari konsep
awal serta tujuan akhirnya, dan hanya sebatas alat politik dan ekonomi untuk
kepentingan sekelompok elit yang memiliki kekuasaan dan pemilik modal.
Aritoteles menjelaskan keadilan sebagai keutamaan umum yang
bersandar pada ketaatan hukum alam dan hukum positif. Dalam konteks hukum alam,
manusia memiliki hak fundamental dalam hal kebebasan, diantaranya kebebasan
berbicara. Kebebasan berbicara adalah sebuah hak yang diberikan oleh Tuhan, juga salah satu hak alami dari
hukum alam dan merupakan bagian dari
fitrah mendasar yang tidak bisa dihapus oleh sebuah kekuatan apapun. Hukum
positif hanya sebatas mengatur tata tertib dalam koridor etika kebebasan
berbicara di muka umum yang dirumuskan menjadi sebuah peraturan atau
perundang-undangan dalam sebuah negara.
Di alam kemerdekaan, kebebasan berpendapat adalah hak
fundamental setiap warga negara yang hidup di bawah sistem demokrasi. Dengan kebebasan berpendapat, sebuah
kebenaran yang dihasilkan oleh pemahaman manusia menjadi terhindar dari proses
pemutlakan yang seringkali dilegitimasi oleh kebenaran manipulatif dari
sentralistik tafsir hukum rezim neokolonialisme.
Kebebasan
menyatakan pemikiran di muka umum adalah ruang demokratisasi ide dan gagasan yang berlandaskan kepastian hukum. Kepastian hukum
harus berpihak kepada daulat rakyat, di antaranya
jaminan kepastian hukum tentang kebebasan berpendapat; bahwa negara demokrasi
harus melaksanakan prinsip-prinsip dasar berdemokrasi sesuai dengan amanat
konstitusi. Dibangkitkannya kembali pasal lese-majeste
dan haatzai artikelen dalam RUU
KUHP di DPR, merupakan reinkarnasi ide subversif yang bukan hanya mengancam
kebebasan berpendapat, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap asas demokrasi
dan penyelewengan sistem presidensial.
Elit eksekutif
dan legislator tampaknya lebih bergairah menjadikan hukum sebagai alat politik
di bawah kontrol represif kekuasaan. Para pendekar hukum harus menyusun
kekuatan untuk menjadikan hukum kembali ke fitrahnya, sebagai jalan pedang
menegakkan keadilan.
Tangerang, Februari 2018
Penulis adalah:
Esais, Entrepreneur &
Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah.
0 Comments