Ustadz Abdul Somad, LC, MA
(Foto: Istimewa)
|
Oleh: David C Mc Lulloh
TAHUN 2017 adalah tahunnya Ustadz Abdul Somad. Siapa yang tak mengenal pria ceking, pesek, hitam, dan rambut yang
telat dipotong tersebut. Dia tak dilontarkan dari Jakarta seperti para seleb,
dai, dan tokoh-tokoh lainnya, baik dalam arti fisik maupun dalam arti invisible
hand para oligarkis pengendali Indonesia.
Dia munyeruak dari Pekanbaru,
Riau, dengan usahanya sendiri. Dia tak diorbitkan media-media massa Jakarta.
Dia besar dengan memanfaatkan kanal Youtube. Ya, Somad memanfaatkan media
sosial. Gratis. Tak butuh siapapun. Cukup bermodalkan handphone atau gadget
yang lainnya, plus “paket pulsa” — frasa yang sering ia ucapkan dalam
ceramah-ceramahnya.
Somad menjadi contoh antitesa
bahwa Jakarta bukanlah segalanya. Riau bukanlah wilayah yang banyak melahirkan
tokoh. Letaknya terlalu jauh dari pusat-pusat dinamika di kawasan Sumatera
seperti Aceh, Medan, Padang, Palembang. Namun jangan salah dari Riau kita
mengenal Raja Ali Haji, penyair dan cendekiawan di masa sebelum Indonesia.
Mungkin kita masih ingat dengan Gurindam Dua Belas, karya beliau, yang saat di
sekolah dasar pernah diajarkan kepada kita.
Itu pun lebih sering disebut
judulnya saja, bukan isinya. Atau kita pernah mengenal Syarwan Hamid, juru
penerang TNI yang paling baik dalam sejarah militer Indonesia. Selebihnya
mungkin sebagian dari kita pernah mengenal tokoh Tabrani Rab atau Tenas
Effendy. Yang satu tokoh politik yang moncer dengan teriakan Riau Merdeka,
sedangkan yang satunya adalah pakar kemelayuan.
Kini, Riau memiliki Somad. Dia
dosen di Fakultas Ushuludin UIN Sultan Syarif Kasim (Suska), Pekanbaru. Namun
ia tak lahir di Riau. Dia lahir di Silo Lama, Asahan, Sumatera Utara, pada 18
Mei 1977. Pendidikan dasarnya di SD Al Washliyah Medan, demikian pula
pendidikan menengah pertamanya di MTs Mu’allimin Al Washliyah Medan. Setelah
itu ia mesantren di Darul Arafah, Deli Serdang, Sumatra Utara. Tapi setahun
kemudian hijrah ke Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek, Indragiri Hulu,
Riau. Kemudian kuliah di UIN Suska selama dua tahun.
Pada 1998, ia meraih beasiswa
untuk kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Dalam tiga tahun 10 bulan
ia menamatkan S1 dengan meraih gelar Lc. Pada 2004 ia kembali meraih beasiswa
untuk kuliah S2 di Institut Dar al-Hadits al-Hasaniyah, Maroko.
Semua pendidikan tingginya ia
selesaikan dengan cepat. Itu menunjukkan kecerdasannya, sekaligus
kesungguhannya. Menilik penguasaannya terhadap kitab-kitab klasik, kontemporer,
maupun sejarah memperlihatkan bahwa Somad tak melulu kuliah. Ia juga rajin
mengikuti majelis-majelis ilmu yang diampu para syekh untuk belajar kitab-kitab
atau ilmu-ilmu tertentu — sebuah tradisi keilmuan yang hanya ada di dunia Arab.
Somad mulai menggemari media
sosial sejak di Maroko. Ia memiliki blog pribadi dan kanal Youtube pribadi.
Dunia akademisnya pun ia geluti dengan baik. Ia menerjemahkan banyak buku agama
dan juga menulis buku-buku agama. Ia memang pakar hadis. Sebagai dosen tentu ia
berada dalam lingkungan yang baik dalam mengembangkan wawasan. Tak heran jika
ia juga fasih berbicara tentang politik dan sejarah.
Kecerdasan dan kesungguhannya
terlihat dari kemampuan otaknya dalam mengutip isi kitab, bahkan silsilah
kitab, orang, dan rantai guru-murid. Perhatiannya yang luas juga ia perlihatkan
ketika mampu menjelaskan para ulama Indonesia dan kutipan-kutipan pendapatnya
serta concern keilmuannya. Ia bisa menjelaskan perbedaan KH Maimun Zubair
dengan Gus Mus atau lainnya.
Ya, salah satu keunggulan Somad
dibandingkan dengan dai-dai lainnya adalah pada kemampuannya merujuk kitab dan
dalil dengan kutipan yang panjang, bahkan latar belakangnya. Ini jika
menyangkut data atau pendapat tertentu. Langgam Melayu memang enak di telinga
dan nyaman di hati. Apalagi jika ditingkahi dengan pantun dan syair. Ini hanya
bisa dimiliki oleh orang Riau, apalagi Bahasa Indonesia memang bersumber dari
Melayu Riau. Ini pula yang dulu menjadi keunggulan Syarwan Hamid saat menjadi
juru bicara tentara. Ada rima dan metafora.
Suara Somad yang merdu dan
kefasihannya dalam Bahasa Arab membuat ceramahnya menjadi pertunjukan sendiri saat
ia mendendangkan syair atau membacakan ayat-ayat Alquran. Namun ada dua hal
yang membuat ceramahnya menjadi segar. Pertama, humornya. Ceramahnya yang
panjang itu diselingi oleh banyak humor. Tak butuh ia membuat cerita panjang
untuk menciptakan canda yang menyegarkan. Tapi cukup dengan satu kalimat, saat
mengomentari materi ceramahnya sendiri. Ini membutuhkan kecerdasan tersendiri.
Butuh selera humor dan kecepatan berpikir. Selingan humor ini sangat dibutuhkan
di sosmed.
Bayangkan orang menonton Youtube
di layar hp yang kecil, kualitas gambar yang tak prima, dan sering terkena
buffer akibat sinyal yang buruk maka betapa membosankannya mendengarkan orang
bicara panjang di Youtube. Karena sebetulnya tiga menit pun sudah cukup
panjang. Tapi publik bisa satu jam mendengarkan Somad berceramah. Sehingga
humor-humor itu sudah menjadi karakter berdakwah di era milenial. Humor memang
sudah menjadi kelaziman dalam pidato yang panjang, termasuk dakwah di
kampung-kampung, tapi intensitasnya tak serapat Somad. Ini yang membuat dai-dai
sosmed lainnya tak semoncer Somad. Somad telah menjadi anak kandung dai era
milenial.
Kedua, sikapnya yang independen.
Salah satu keunggulan orang yang dibesarkan oleh sosial media adalah sikap
independen. Hal itu bisa dilihat dari dunia sosmed yang riuh. Ini karena
orang-orang itu bebas menulis atau berbicara apa saja. Bahkan orang yang
pendiam pun bisa menjadi rame jika muncul di sosmed. Ini karena sifat sosmed
yang impersonal dan independen. Hal itu misalnya berbeda dengan dai yang dibesarkan
oleh televisi atau majelis pengajian.
Televisi memiliki banyak aturan,
apalagi di tengah kontrol opini yang ketat maka garis politik pemilik dan
segmentasi pasar akan mengarahkan si dai untuk bergaya bagaimana dan harus
bicara apa saja. Demikian pula orang yang dibesarkan di majelis pengajian. Ia
akan terikat pada selera tertentu. Ini pula yang bisa dijelaskan mengapa Somad
kena gangguan di Bali dan di PLN. Majelis itu memiliki keseimbangan yang
terbatas dan terikat. Berbeda dengan dunia sosmed yang bebas, asalkan tidak
memfitnah dan melanggar hukum.
Somad, sebagai orang yang
dibesarkan di sosmed, begitu lepas saat berbicara. Bahkan ada kalanya
kelebihan, seperti saat berbicara “hidung pesek” terhadap Rina Nose – aih
rupanya nose alias hidung memang menjadi brand tersendiri bagi Rina. Salah satu
ciri ulama Sumatera adalah tak ada tabu berbicara politik. Hal itu bisa dilihat
pada ulama-ulama di Minang dan Aceh. Ini karena di Sumatra ada pepatah “adat
basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Sehingga sejarah ulama dan
kekuasaan sudah menyatu dalam kesultanan-kesultanan di Sumatera.
Varian ini tentu berbeda dengan
sejarah dan tradisi di Jawa, di mana ulama tak ada di jantung kekuasaan. Ulama
di keraton-keraton Jawa – kecuali Cirebon, Banten, Demak, dan Pajang yang bukan
mainstream di peradaban Jawa – berada di pinggiran kekuasaan, bahkan menjadi
pelegitimasi sultan belaka. Karena itu tradisi ulama di Jawa adalah melayani
kekuasaan.
Somad tak ada dalam tradisi
seperti di Jawa itu. Sehingga ia berbicara lepas saja saat berbicara politik
dan kekuasaan. Di tengah situasi politik saat ini – terjadi ketegangan politik
antara santri dan kekuasaan – maka ceramah Somad menjadi kontekstual. Ini
mengingatkan kita pada ceramah Zainuddin MZ, dai Betawi.
Betawi berada dalam tradisi
Banten, karena itu Zainuddin sangat fasih berbicara politik – hal ini bisa
dijejaki pada ulama besar Betawi KH Abdullah Syafii. Zainuddin sendiri mengaku
gaya ceramahnya mengikuti Buya Hamka yang logis, diselingi humor mengikuti KH
Idham Chalid, dan bergaya orator seperti Bung Karno. Namun Zainuddin adalah
tipikal dai yang dibesarkan podium dan kehidupan politik yang represif. Karena
itu Zainuddin memompakan perlawanan. Tak heran jika suatu masa ia berkolaborasi
dengan penyanyi Iwan Fals dan penyair WS Rendra – keduanya mewakili figur
cadas.
Setelah Zainuddin kita mengenal Aa
Gym. Aa Gym besar dalam tradisi dakwah di majelis taklim. Gayanya akrab dan
keseharian. Ia juga mewarisi varian Sunda yang lembut dan ngepop. Saat itu awal
era reformasi. Indonesia dalam kondisi zigzag. Butuh dai yang bisa menjadi
penenang dan pemberi motivasi dalam kehidupan yang tak menentu.
Derai lelehan air mata sering
menghiasi jamaahnya setiap mendengarkan ceramah Aa Gym. Setiap masa memang
memiliki tantangannya tersendiri. Dan Somad mewariskan dakwah era milenial:
egaliter, independen, bebas, berisi, dan menghibur. Sekarang eranya berekspresi
sambil tertawa dan dalam keimanan.
Itulah Somad, Da'i Era Melanial. Jadi, tahun
2018 ini tak perlu ada yang baper.
January 2, 2018
0 Comments