Memed Chumaedi: sangat massif melakukan road show. (Foto: Dokumen Tangerangnet.com) |
Oleh Memed Chumaedi
DENGAN segala
dinamikanya Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) 2018 di Kota
Tangerang perlu dimaklumi, dinamika politik berjalan ketika supporting ada dan
demandnya muncul.
Supporting atau dorongan itu ada ketika publik dan partai
politik sebangun dalam persepsi untuk mendorong kandidat yang dianggap pantas untuk memimpin Kota
Tangerang.
Demand
atau tuntutan itu muncul pada saat kondisi
faktual Kota Tangerang membutuhkan figur yang layak dibanggakan oleh warga masyarakat Kota Tangerang.
Dalam teori sistem politik, supporting dan demand masuk
dalam INPUT yang diperlukan
adalah prosesnya dan mengeluarkan OUTPUT.
Supporting
dan demand membutuhkan proses, dalam politik maka ada proses politik, dengan
pelbagai cara untuk menjalankan proses politik, dimulai dari sosialisasi, lobby
kunjungan plus silaturahmi.
Kondisi “proses” inilah yang dibutuhkan hari ini di Kota Tangerang. Kandidat berjibaku
melakukan komunikasi ke partai politik untuk mencari dukungan partai politik, baik Arief Rachdiono Wismansyah yang kini menjabat
sebagai Walikota Tangerang, maupun Sachrudin yang juga Wakil
Walikota Tangerang hingga hari
ini belum mendapatkan dukungan penuh. Arief merasa
pede dengan hasil survei terkait popularitas dan elektabilitasnya dan Sachrudin
merasa pede juga bahwa dialah yang
sudah mendapatkan dukungan resmi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar.
Lawan Tak Sebanding
Landscape Pilkada di Kota Tangerang mudah ditebak, dan tebak-tebakan
sudah pasti benar. Jika dalam survei kita sebar angket 10, dengan pertanyaan
siapakah yg memenangkan kontestasi Pilkada Kota Tangerang? Sangat besar
kemungkinan jawaban dari 10 responden tersebut 8 orang menjawab; Arieflah yang akan memenangkan kontestasi tersebut.
Penulis tidak perlu menyebut detil terkait indikator kemenangan
tersebut, yang pasti bahwa
kekuatan tak sebanding itu sangat kentara betul di lapangan. Arief sangat
massif melakukan road show untuk mengenalkan keberhasilannya memimpin, berbeda
dengan Sachrudin yang cenderung pasif hanya cenderung
menunggu dewi fortuna.
Banyak faktor yang
merundung pasifnya Sachrudin,
syahwat politik tak
menentulah yang menjadi
takdirnya dalam politik. Dan bisa terjadi pada kondisi riil Sachrudin yang juga sebagai Ketua Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Kota Tangerang tergerus oleh arus ketidakpercayaan partai
terhadapnya yang akhirnya
tersalip oleh kader Golkar lainnya untuk menggantikan posisinya sebagai kandidat. Dan Sachrudin harus belajar banyak terkait
fenomena politik Golkar di Jawa Barat.
Lawan tak
sebandinglah yang
menyimpulkan tulisan ringan ini untuk memantik syahwat politik Golkar dengan guyonan “nafsu
besar, tindakan kurang” dan Sachrudin
harus belajar menjadi muda dengan keajegan meraih mimpi kekuasaan dengan cara yang apik. ***
Penulis adalah:
Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP),
Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT).
0 Comments