![]() |
Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (baju batik) saat menjalani proses persidangan di PN Jakarta Utara beberapa waktu lalu. (Foto: Istimewa) |
NET - Setelah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihukum 2 tahun penjara oleh
majelis hakim di Pengadinalan Negeri (PN) Jakarta Utara, banyak muncul desakan
agar pasal tentang penistaan agama di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal
156a dihapuskan. Rata-rata mengutarakan alasan bahwa pasal itu multitafsir,
pasal karet. Yang lain-lain mengatakan, pasal itu bertentangan dengan kebebasan
berbicara, kebebasan berpendapat (freedom of speech).
Menanggapi hal tersebut
Dodi Prasetya Azhari SH , Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB) mengatakan
sebagai negara majemuk, Indonesia tidak bisa menghapuskan pasal penistaan begitu
saja. Pasalnya, meski mayoritas penduduk Indonesia Muslim, tak sedikit pula
warga Indonesia yang beragama lain yang selama ini hidup rukun dan damai.
“Kita negara
Pancasila yang mengakui keberadaan agama. Akan sangat aneh jika kita tidak
melindungi agama dari penistaan,” ujar Dodi melalui siaran pers yang diterima
Tangerangnet.com, Selasa (16/5/2017).
Alasan lainnya, kata
Dodi, dinyatakan tidak dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat (1)
jelas mengamanatkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bicara Ketuhanan berkaitan dengan
agama sehingga tidak boleh ada penistaan agama.
Kalau dihapuskan,
imbuh Dodi, bayangkan nanti makin banyak konflik-konflik sosial. Survei juga
menunjukkan, Indonesia masih termasuk
yang rawan (konflik) etnis dan agama.
Menurut Dodi, kalau
penistaan agama tidak lagi bisa disalurkan secara konstitusional, maka bagi
orang-orang yang rela “apa saja” itu berarti tidak ada jalan lain kecuali
“menyelesaikan sendiri” rasa ketersinggungan mereka.
Tentunya akan
sangat rumit kalau yang tersinggung menempuh jalur “main hakim sendiri”. Akan
sangat sulit dikendalikan jika cara ini mereka anggap satu-satunya jalan untuk
mendapatkan keadilan, kata Dodi.
Sebenarnya,
menurut Dodi, tidak ada yang istimewa
dengan kasus Ahok. Namun, kasus tersebut oleh oknum-oknum tertentu digiring pada isu
keberagaman, kebhinekaan, intoleran, dan lain-lain. Indonesia perlu
pemimpin jujur, cerdik pandai tapi santun dan tidak anti agama.
"Kasus Bosnia
dan Herzegovina yang terjadi di Eropa, harus
jadi contoh buruk perang agama yang menghancurkan nasionalisme Yugoslavia,"
tandasnya. (*/ril)
0 Comments