Williy Susilo: tidak ada negara yang bebas persoalan. (Foto: Dade, TangeangNET.Com) |
NET - Ketua Panitia Temu Wicara Nasional Dr. Willy Susilo, S.Pd, MBA mengatakan
pendidikan bermutu merupakan salah satu pilar utama untuk membangun bangsa yang
kuat, maju,
dan bermartabat. “Kalau kita amati
bangsa-bangsa di muka bumi ini, tidak satu pun yang bebas dari persoalan,” ujar Willy Susilo.
Tetapi ada hal yang membedakan negara maju
dari negara tertinggal, yaitu adalah kemampuan untuk mengatasi persoalan yang
dihadapinya. "Tetapi ada hal yang membedakan negara maju dari negara
tertinggal, yaitu adalah kemampuan untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi," kata Willy Susilo, Jumat (27/11/2015), saat acara Temu Wicara Nasional Dalam Rangka Bulan Mutu Nasional
2015, di Hotel Menara Peninsula, Jakarta.
Menurut Willy Susilo pada November telah
ditetapkan menjadi Bulan Mutu Nasional Indonesia sejak tahun 1990-an, yang
diresmikan oleh Presiden Soeharto di Istana Negara ketika itu. Pada awalnya
kegiatan bulan mutu ini dikoordinasikan oleh Perhimpunan
Manajemen Mutu Indonesia (PMMI), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang
bersifat nirlaba, dengan misi utama menggerekan budaya mutu, yang diisi dengan
berbagai kegiatan.
Kemudian penyelenggarakan kegiatan bulan mutu
nasional diserahkan ke Badan Standarisasi Nasional (BSN), mengkoordinasikan
berbagai kegiatan kampanye mutu dengan mengikuti sertakan perusahaan.
"Kampanye Bulan Mutu Nasional
juga dilakukan Jepang sejak tahun 60-an, dan gaungnya terus bergema sampai hari
ini. Setiap tahun selama bulan November, kampanye Budaya Mutu diadakan secara
nasional, topik mutu dikobarkan menjadi hot issue," ucap Willy.
Willy menjelaskan alhasil Jepang sukses
membangun budaya mutu dan ditiru oleh banyak negara. Namun, bangsa Indonesia
terus mengupayakan pendidikan bermutu. Bukan saja karena amanat UU Pendidikan
Tinggi, tetapi lebih karena satu alasan strategis dan fundamental bahwa tidak
satu pun
bangsa di muka bumi dapat maju tanpa pendidikan yang bermutu.
Sementara itu, pendidikan bermutu tidak diukur
hanya dari seberapa cepat lulusan terserap di pasar kerja, tetapi juga harus
diukur dari seberapa besar kontribusi kreasi dan inovasi lulusan sebagai kaum
intelektual terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka memperkuat ketahanan bangsa.
Oleh karena itu, kata Willy, bila kriteria
itu digunakan untuk menilai mutu pendidikan tinggi sejauh ini, maka secara
pukul rata, masih luas ruang untuk ditingkatkan. "Fakta di lapangan
menunjukan dari sekian ribu institusi pendidikan tinggi yang ada di tanah air,
tidak banyak yang benar-benar menempatkan mutu sebagai prioritas utama,"
kata Willy.
Willy mengungkapkan dengan gambaran sekilas
tadi, maka gerakan nasional kesadaran mutu yang dimulai 15 tahun silam, masih
tetap relevan dan penting untuk terus dikumandangkan. (dade)
0 Comments