Abraham Samad didampingi Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Upik Mutiara. (Foto: Syafril Elain, TangerangNET.Com) |
NET – Pimpinan Komisi
Pemberatasan Korupsi (KPK) jilid empat tidak akan ada artinya bila menangani pemberantasan
korupsi biasa-biasa. Penanganan pemberantasan korupsi di Indonesia harus dengan
cara luar biasa karena tindakan korupsi adalah kejahatan luar biasa.
“Pemberantasan korupsi
harus dengan cara-cara luar biasa,” ujar Ketua KPK non aktif Abaraham Samad
kepada TangerangNET.Com di Kampus Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Cikokol, Kota Tangerang, Sabtu (12/9/2015).
Samad hadir di Kampus
UMT dalam rangka kuliah umum bagi mahasiswa fakultas hukum tersebut menjelaskan
bila dilihat dari tiga periode pimpinan KPK, ada dua priode penanganan
pemberantasan korupsi dilakukan secara
luar biasa.
Pada periode pertama atau
jilid pertama yang dipimpin oleh Taufiequrachman Ruki, kata Samad, hasilnya pun
biasa-biasa saja. Pimpinan jilid dua yang ketuanya Antasari Azhar,
pemberantasan korupsi dilakukan secara luar biasa.
“Ketika pimpinan KPK dipegang
oleh Pak Antasari, semua aparat pemerintah dan aparat penegak hukum bila
ditemukan melakukan korupsi langsung ditangkap. Hal ini membuat orang takut
melakukan korupsi,” tandas Samad.
KPK jilid tiga, kata
Samad, pemberantasan korupsi juga dilakukan dengan cara-cara luar biasa
terhadap aparat pemerintah maupun aparat penegak hukum bila ditemukan melakukan
korupsi ditangkap, tidak ada ampun.
Namun demikian, imbuh
Samad, bila pemberantasan korupsi sudah merambah ke aparat penegak hukum yakni
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan ada risikonya yakni siap-siap
dikriminalisasi.
“Pak Antasari, menurut
saya dikriminalisasi. Begitu juga saya dan pimpinan KPK lainnya seperti Pak
Bambang Widjojanto. Kalau penanganan pemberantasan korupsi menyangkut tiga
unsur tadi, siap-siap dikriminalisasi. Kalau saya, siap apa pun yang terjadi,”
tukas Samad dengan semangat.
Abraham Samad
menceritakan tentang kasus yang menimpa dirinya. Tuduhan terhadapnya sangat
tidak masuk akal karena rumah toko di Makassar yang sebelumnya menjadi tempat
usaha istrinya tersebut, dijual pada 2006.
Orang yang membeli ruko tersebut, membuat kartu keluarga pada 2007.
“Apa urusannya ruko yang sudah dijual pada 2006 dengan
pemilik semula? Kejadian pemalsuan disebutkan pada 2007. Inilah bentuk
kriminalisasi yang saya alami. Saya tidak pernah gentar untuk terus terjun pada
jalur pemberantasan korupsi ,” tutur Samad.
Pada kuliah umum itu,
Samad banyak mendapat pertanyaan dari mahasiswa. Ariyanto, salah seorang mahasiswa bertanya
tentang bagaimana kasusnya. “Soal penanganan kasus saya sampai sekarang belum
jelas,” tutur Samad. (ril)
0 Comments