![]() |
| Ivan Yustiavandana. (Foto: Istimewa/RJ) |
NEGERI ini sempat dihebohkan pemblokiran 31 juta rekening
nasabah oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Negeri
terasa mau pecah. Kalau rekening para pemain judol (judi online), okelah kita
malah senang. Ini rekening orang tak tahu apa-apa, yang ingin uangnya aman
disimpan di bank, malah kena juga.
Untung Presiden RI Prabowo Subianto cepat turun tangan,
minta pemblokiran itu dibatalkan. Lalu siapa dedengkot PPATK. Mari, kita
berkenalan dengan Ivan Yustiavandana, si tukang blokir rekening nasabah sambil
seruput kopi tanpa gula, kebetulan Pontianak, Kalimantan Barat, lagi hujan dari
subuh sampai sekarang, wak! Mudahan tak banjir.
Bayangkan, wak! Ente menabung dengan jujur. Tidak berjudi.
Tidak main sabung ayam. Tidak membeli batu akik digital. Lalu tiba-tiba…
rekeningmu diblokir. Oleh siapa? Oleh satu sosok mistis bernama Ivan
Yustiavandana, sang penjaga gerbang antara uangmu dan kebebasan finansialmu.
Ia bukan pahlawan bertopeng. Ia tak naik kuda putih, tapi
naik VW Beetle 1972. Ia bukan pengemis, tapi memiliki tanah sebanyak imajinasi
petani sawit. Total Rp 9,38 miliar, katanya. Tidak jelas dari mana, tapi
katanya tercatat di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Ingat,
jika nuan bertanya terlalu keras, mungkin rekeningmu juga akan… dibisukan.
Di bawah tongkat komando Ivan, PPATK menjelma menjadi
organisasi supranatural yang bisa menembus dimensi rekening tidak aktif selama
tiga bulan. Tiga bulan! Cuma karena ikam sedang menabung buat beli rumah 20
tahun lagi, eh rekeningmu dianggap hantu oleh negara.
Katanya, demi memberantas pencucian uang dan dana gelap.
Tapi entah kenapa, yang dicurigai justru rekening emak-emak penerima bansos
yang saldonya cuma cukup buat beli minyak goreng 2 liter dan mie instan 3
bungkus.
Tahu apa yang lebih lucu dari semua ini? Jumlah rekening
yang diblokir sudah tembus 31 juta! Itu bukan jumlah pasukan perang, itu jumlah
nasabah yang kehilangan akses ke uangnya sendiri. Sebuah rekor dunia yang
bahkan Kim Jong-un pun akan iri.
Ivan, entah ada hubungan dengan Ivan Gunawan atau tidak,
bukan hanya kepala PPATK. Dia adalah filsuf. Nietzsche versi keuangan. Ia
percaya, "Kalau rekening tak bergerak, berarti tak bernyawa. Maka kubunuh
saja."
Rekening yang tidur tiga bulan dianggap kriminal. Sementara
koruptor yang tidur nyenyak di villa, tidak dijamah. Bukankah ini keadilan yang
puitis? Jika rakyat bertanya, "Kenapa kami diblokir?" Jawabnya
adalah, "Demi akuntabilitas." Akuntabilitas siapa? Tidak dijelaskan.
Inilah era baru perbankan. Di mana pian harus membuktikan
bahwa uda uni aktif secara spiritual, emosional, dan transaksional. Kalau
tidak? Ya maaf, uangmu akan dikarantina. Bisa dibuka lagi? Mungkin... setelah
upacara kelulusan anakmu.
Ivan tidak main-main. Ia bahkan melaporkan dirinya ke
Financial Intelligence Consultative Group. Di sana ia berkata, “Lihatlah, aku
telah membekukan 10 juta rekening bansos. Tertib sekali rakyatku, karena tak
bisa tarik tunai.”
Saat rakyat menangis karena uang tak bisa ditarik, Ivan
membuat laporan strategis. Saat anggota DPR RI marah, Ivan menggelar seminar
tentang efektivitas pemberantasan pencucian uang.
Ketika Presiden Prabowo akhirnya turun tangan dan berkata,
“Ini kebablasan, batalkan.” Maka, Ivan tersenyum. Karena ia tahu, ia sudah
menuliskan namanya di kitab sejarah perbankan Indonesia. Bersama dengan kode
OTP dan notifikasi “saldo tidak tersedia.”
Wahai para tukang nabung diam-diam, wahai para emak-emak
yang berharap saldo Rp 50.000 tidak menghilang saat butuh beli beras...Ingatlah
satu nama, Ivan Yustiavandana.
Ia bisa lebih cepat dari sistem fraud detection. Lebih sakti
dari teller bank. Lebih konsisten dari mantanmu. Ia tidak tidur. Karena
rekeningmu bisa ia pantau, bahkan saat aa teteh sudah lupa password internet
banking.
Jika hidup ini adalah sandiwara, maka Ivan adalah sutradara,
editor, dan sekaligus pemilik remote TV. Karena di zaman sekarang, yang tidak
aktif, nganggur... akan dibekukan. Bahkan sebelum sempat bermimpi.
Catat, wak. Apapun yang nganggur sekarang, bahaya. Bisa
disita negara. (***)
#camanewak
Penulis adalah Ketua Satupena
Kalbar.




0 Comments