![]() |
Ilustrasi, reporter TV One meliput pembongkaran pagar laut di Tanjung Pasir, Senin (27/1/2025). (Foto: Istimewa) |
KETIKA sudah tiba waktunya, tak seorang pun bisa
menghadangnya. Tak ada pihak manapun bisa menghalaunya. Tidak bisa. Setidaknya,
skenario yang telah disusun dengan rapih harus berubah. Disesuaikan dan
dirancang ulang.
Setelah kita "dipaksa" belajar kepada pedagang es
teh. Kita semua dikejutkan dan disadarkan untuk belajar kepada Pagar. Tepatnya
kepada pagar-pagar yang membentang puluhan kilometer di pelataran laut-laut
kita.
Siapa yang menduga, urusan pagar dan "rencana kebijakan
reklamasi" ini berbalik dengan cepatnya. Rasa percaya diri dahulu,
berbalik seketika menjadi rasa cemas. Kenapa? Karena jangan-jangan pagar sedang
mencari siapa saja yang jadi "korban" atau "dikorbankan".
Bahkan mungkin "dikambing-hitamkan".
Jika saja dulu perencanaan dan kebijakan melibatkan seluas
mungkin masyarakat, mungkin tak seperti sekarang kejadiannya. Jika saja, para
nelayan dan masyarakat pesisir pantai yang terdampak didengarkan jeritan
hatinya maka mungkin ada solusi terbaik sejak awal.
Dalam tradisi masyarakat Banten: ada istilah "mista,
maja, utama.". Kesalahan bisa dimaafkan sekali-dua kali, tapi tak bisa
dibiarkan menjadi ketiga kali. Maka, ketika kali ketiga dipaksakan maka alam
semesta bersatu-padu dan bergerak sendiri melawannya.
Harus diakui, Indonesia memang akan terus melahirkan peristiwa penuh kejutan-kejutan.
Di mana kita semua - terpaksa atau sukarela -- harus belajar kepadanya.
Kepada pagar, kita melihat wajah Indonesia. Melalui pagar,
kita melihat wajah pengusaha sekaligus wajah pengembang. Wajah nelayan. Wajah
seluruh aparatur sipil negara beserta penegak hukumnya.
Kita juga belajar kepada pagar-pagar bambu dalam mencermati
wajah para menteri dulu dan sekarang. Wajah angkatan perang di laut. Wajah
kepala desa. Wajah administrasi pensertifikatan (Sertipikat Hak MIlik-SHM dan Sertipikat
Hak Guna Bangunan-SHGB), termasuk yang di atas laut. Wajah jurnalisme dan awak
media. Wajah-wajah yang pro maupun kontra. Juga wajah-wajah netizen yang penuh
keberanian dan mencengangkan dalam memviralkannya.
Lantas, setelah kita mereguk hikmah dan pelajaran dari tumpukan
pagar-pagar bambu itu maka Indonesia mau apa?
Seusai membongkarnya, kemudian bagaimana rumusan policy-nya?
Kenapa pula tidak mencari akar masalahnya? Kebijakannya, Aparaturnya,
Pengusahanya? Bagaimana dengan nasib nelayan dan penduduk di pesisir itu?
Sebaiknya, bagaimana agar bisa menyelesaikan secara tuntas
dan komprehensif hingga akarnya? Tak hanya soal dahulu, tapi yang jauh lebih
penting adalah penyelesaian terbaik untuk masa kini. Juga masa depan anak cucu
kita.
Dan akhirnya, kita semua boleh dan sudah seharusnya jika
secara alamiah mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Tapi tidak boleh
berhenti hanya di situ.
Akan jauh lebih baik, kita semua dengan seksama menemukan
apa yang salah dan apa yang benar serta seharusnya dilakukan untuk laut, pantai
dan pesisir-pesisirnya. Agar kita bisa mendapat kemashlahatan dan berkah untuk
semua. Bukankah begitu? (***)
Penulis adalah Senior Advisor INDOPOL (Politics, Policy and
Business Research).
0 Comments