Thomas Lembong. (Foto: Istimewa) |
MENJELANG akhir jabatannya, Joko Widodo (Jokowi) sukses
menerapkan politik carrot and stick. Metafor "wortel dan tongkat"
sebagai konsep politik realis-pragmatis, memakai hadiah dan hukuman untuk
politik penundukan. Sarana untuk menyandera kawan dan lawan, dalam permainan
kotor politik kekuasaan.
Contoh aktual, Erlangga Hatarto, Zulkifli Hasan, Erick
Tohir, Bahlil Lahadalia, dan politikus semacam mereka, mendapat wortel,
sementara Tom Lembong merasakan pukulan tongkat kekuasaan. Para pengerat wortel
hidup nikmat dalam sandera politik. Mereka mengalami Stockholm Syndrom.
Stockholm Syndrom merujuk pada kisah nyata, kasus perampokan
bank dan penyanderaan di Kota Stockholm pada 1973. Para tersandera justru
bersimpati dan mendukung perampok karena punya "itikad baik" pada
mereka yang kooperatif.
Dengan politik sprindik Jokowi sukses
men-stockholm-syndrom-kan para politikus bermasalah, dan mengelevasi posisinya
menjadi figur yang dipatuhi, sekaligus "disukai". Kaum tersandera itu
terus dapat mengunyah wortel, dan
menjilat Jokowi, terus terpakai sebagai menteri, berlanjut di Kabinet
Merah Putih Presiden Prabowo.
Politik sandera-sprindik ala Jokowi bukan hal baru. Praktek
ini "lazim" dipakai oleh politikus despotik untuk mendapat atau
mempertahankan kekuasaan. Machiavelli mendeskripsikannya dalam buku "Sang
Penguasa" (Il Principe, 1532). Bagaimana berkuasa tanpa mengindahkan
etika, memakai tipu muslihat, ancaman, paksaan, dan manipulasi. Politik
Machiavellis itu bahkan pernah terjadi di negeri kampiun demokrasi, Amerika,
pada kurun 1924-1972.
Direktur FBI, J. Edgar Hoover, bisa bertahan selama 48 tahun
sebagai "penguasa" dunia intelijen Amerika dengan memakai metode
retro-sprindik (ala Jokowi kini). Menggunakan kekuasaan lembaga intelijen dan
kepolisian untuk menyandera politikus.
Hoover mengorek-orek informasi privasi, memata-matai,
mencuri, menyadap, menyusup dan mengintimidasi secara illegal. Ia memakai
informasi skandal memalukan untuk menyandera politikus Amerika. Cara-cara licik
itu ia pakai untuk mempertahankan jabatan, selain untuk menjalankan agenda
politik konservatifnya. Ia sukses menggunakan informasi rahasia untuk "menundukkan"
delapan presiden Amerika, dari Calivin Coolidge (1924), Herbert Hoover,
Franklin Roosevelt, Harry Truman, Dwight Eisenhower, John Kennedy, Lyndon
Johnson, hingga Richard Nixon (1972).
Selain urusan skandal seks (ingat perselingkuhan Presiden
Kennedy dan Marilyn Monroe?), Hoover memakai isu korupsi, manipulasi,
komunisme-McCarthyism, rasialisme, dan keamanan nasional, sebagai pembenaran
aksi-aksi sanderanya.
Ia memakai segala cara, memanipulasi Informasi dan
menggalang opini publik untuk memperkuat
agendanya. Ia ditakuti oleh anggota kongres, senator, termasuk presiden AS.
Delapan presiden tidak berani memecatnya karena berisiko akan diungkap
rahasianya. Kekuasaannya, selama 48 tahun sebagai direktur FBI, baru berakhir
saat kematiannya,
Jokowi beberapa tahun menjelang akhir kekuasaannya memakai
metode J. Edgar Hoover untuk konsolidasi membangun kekuatan politik. Dengan metode ini, sebagai politikus yang tak
berpartai, ia ingin melanjutkan kekuasaan. Ia sukses membawa anak, menantu,
kerabat, dan kroninya menduduki posisi penting, serta memantabkan posisinya
sebagai "king maker". Ia sukses membawa Prabowo, bersama Gibran,
putra sulungnya, menduduki tahta kekuasaan.
Namun, apakah metode politik sandera ala Hooverian Jokowi
bakal efektif ketika ia tidak lagi berkuasa secara formal? Apakah ia bisa
menggunakan wakil presiden Gibran--dan 19 menteri atau wakil menteri--sebagai
proxy untuk melanjutkan ambisi politiknya, dan menjadikan (pemerintahan) Presiden
Prabowo sebagai sandera?
Dari susunan personel kabinet yang kental "beraroma
Jokowi" kuat terkesan Prabowo sedang tersandera secara politik. Sejumlah
policy awal juga menunjukkan ada cawe-cawe Jokowi. Termasuk, misalnya, mendadak
menjadikan Tom Lembong, sebagai tersangka dan menjebloskannya ke penjara.
Pertanyaan krusial, apakah Prabowo sedang tersandera, menderita gejala Stockholm Syndrom, akan
terjawab dalam beberapa minggu ke depan. Misalnya apakah ia konsisten untuk
berani menjebloskan (men-Tom-Lembong-kan) para menteri perdagangan yang ikut mengimpor
manisnya gula? Termasuk "mengejar sampai ke Antartika" kasus-kasus
korupsi yang membelit sejumlah menteri pengunyah wortel yang proxy-Jokowi?
Kalau persekusi, pentungan tongkat, terhadap para menteri
dan pejabat korup tidak juga terjadi. Boleh jadi asumsi bahwa Prabowo
tersandera, dan "tak berdaya" sedang menikmati wortel Jokowi, cukup
valid.
Apakah Prabowo sedang tersandera, karena gejala Stockholm
Syndrom atau terancam metode Edgar Hoover (akan diungkap rahasia skandalnya)?
Cepat atau lambat bakal bisa diketahui. Apapun faktanya, tidak seharusnya
Indonesia dikelola oleh pemerintahan yang berada di bawah tekanan atau
tersandera. Prabowo tidak ada pilihan lain, selain harus melawan. (***)
Penulis adalah pengamat sosial dan politik.
0 Comments