Dr. H. Wahidin Halim. (Foto: dokumentasi TangerangNet.Com) |
Sebagai orang pernah menjadi peserta kontestasi, apa yang perlu
dilakukan?
Saya sebagai pelaku menyarankan kepada para calon, eforia
para calon kepala daerah sekarang tidak sedahsat dulu. Kalau orang sekadar
calon, dia tetap membutuhkan biaya karena tidak ada makan siang yang gratis.
Minum kopi yang gratis. Pasti ada modal. Setiap calon harus punya modal, kalau
calon punya modal pas-pasan, investasi sosial pas-pasan ya, mau apalagi?
Adakah perubahan perilaku dalam penyelenggarakan Pilkada?
Kalau dulu variable yakni modal sosial, modal ekonomi, dan
legalitas politik. Seandainya dia lulus sebagai pemenang, dia punya modal
politik tapi dia tidak punya modal ekonomi karena telah terkuras habis.
Kalaupu dia dimodalin, biiaya tidak
limitative karena biaya cukup besar. Kalau kita asumsikan per orang Rp
150.000,- kalau dikali 500.000 orang untuk Kota Tangerang misalnya, berapa?
Yakni Rp 75 miliar. Itu minimal, kalau kita totalitas hitung perjiwa mulai dari
mobilisasi warga, dilengkapi APK (alat peraga kampanye). Sudah tidak punya
modal itu, dia juga tidak punya komoditas.
Lantas apa yang dilakukan oleh calon?
Bagaimana membangun agar punya legalitas, dia harus punya
personal branding. Latar belakang yang punya korelasi dan hubungan dengan
komunitas politis agar mendapat kepercayaan. Itu butuh biaya dan bukan asumsi.
Jadi di tengah kondisi begini, kita harus berfikir secara
obyektifitas sesuai dengan kapasitas diri kita. Tidak cukup modalitas dan belum
lagi bicara soal tas dan isinya. Itu menjadi variable yang menentukan dan
tadinya itu hanya variable tambahan.
Tadi Bapak menyebutkan tas dan isinya, maksudnya?
Kalau dulu tas itu sebagai komplementer untuk mendukung
kegiatan-kegiatan. Tapi tas itu sekarang ada di depan. Kalau dulu, kita cukup
makan bareng dengan tim. Sekarang tim tidak bisa diajak makan bareng. Itu
penjelasannya.
Lantas apalagi?
Yang kedua, sekarang sudah tidak ada lagi marwah dan
mahkotanya, terputus hubungan masyarakat dengan pemerintah. Berapa banyak kah
yang membutuhkan sehingga pemerintah tidak lagi mendapat penghargaan dari
masyarakat. Di mata masyarakat sama saja, tidak ada urusan dengan dia, yang
kepala daerahnya.
Apa efeknya?
Partisipasi pemilih semakin menurun karena masyarakat tidak merasa ada
kepentingan adanya pemerintah. Pemerintah hadir dan tidak hadir, masyarakat
tidak punya kepentingan.
Apa dampaknya terhadap kegiatan
pada Pilkada?
Jalan yaitu hubungan pemerintah, sehingga turun,
partisipasi. Di mata rakyat. Hal itu membuat partisipasi masyarakat turun. Yang
bicara sekarang adalah orang elit atau mengaku elit, merasa tokoh atau minta
ditokohkan. Sementara peran tokoh sejak tahun 2000 sudah runtuh oleh
masyarakat. Di mata masyarakat tidak ada lagi, sudah tidak mendapatkan
legitimasi, kepercayaan. Tokoh ada kekuatannya pada pemimpin formal yang punya
legitisamsi, bukan sekadar pengakuan. Sekarang sudah kehilangan, masyarakat
sudah tidak percaya.
Apakah ada pergeseran kepercayaan terhadap Pemerintah?
Survei terakhir 2012 masyarakat percaya kepada Ketua RT. Tidak
lagi percaya tokoh dan pemimpinan agama, itu sudah runtuh. Sekarang pun sudah
runtuh dengan adanya politik kemarin (pemberian bansos secara besar-besaran-red). RT sebagai bak penampung distribusi bukan
sembako tapi money politk (politik uang).
Berapa banyak caleg yang kecewa karena hal itu. Peran tokoh agama tidak lagi bisa diharapkan, tidak bisa lagi memobilisasi warga di sekitarnya untuk mendapat dukungan.
Bagaimana dengan
calon kepala daerah Kota Tangerang? Apakah muncul calon lebih dari satu pasang?
Bisa satu pasang dan bisa juga lebih. Kalau hanya satu
pasangan calon, risikonya lebih kecil. Pilkada itu bagusnya kompetitif tapi
calon itu sama-sama berpegang teguh kepada moralitas dengan memegang prinsip
politik yang baik. Artinya, tidak saling berlomba untuk melakukan politik uang.
Antisipasinya bagaimana?
Kita sekarang sudah tahu masyarakat sudah tercebur ke
transaksional. Bagaimana merehabilitasinya tidak gampang. Sudah ada imajinasi
dari calon bahwa uang itu segalanya. Yang masuk ke otak depan adalah uang. Jadi
pertarungannya mereka mengandalkan transaksional untuk memenangkan pertarungan.
Bagi pengusaha siapa pun calon harus punya modal.
Bagaimana mengubahnya?
Ya, perlu waktu. Itu sudah termasuk internalisasi nilai,
sikap sebagian besar masyarakat. Orang yang punya modal sosial, dari sekian
ribu masyarakat ada yang tidak mau dibeli. Berapa persen? Cuma 16 persen tapi
dia tidak menentukan kemenangan. Pada Pemilihan kepala daerah harus mendapat
dukungan sebesar 52 persen. Apalagi calon kepada daerah yang tidak punya
duit.
Bagaimana dengan Pilkada Gubernur Banten?
Sama saja.
(*Syafril Elain) selesai.
0 Comments