Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dr. H. Wahidin Halim: Pilkada 2024, Bagusnya Kompetitif Dan Tidak Lakukan Politik Uang

Dr. H. Wahidin Halim.
(Foto: dokumentasi TangerangNet.Com)  


NET - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 serentak sudah dicanangkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mulai untuk dilaksanakan. TangerangNet.Com berkesempatan untuk mewawancari Dr. H. Wahidin Halim yang menjadi Walikota Tangerang dua periode yakni 2003-2008 dan 2008-2013 dan Gubernur Banten periode 2017-2022. Berikut pandangan Wahidin Halim sebagai doktor ilmu politik yang akrab disapa WH tentang Pilkada 2024:

 

Sebagai orang pernah menjadi peserta kontestasi, apa yang perlu dilakukan?

Saya sebagai pelaku menyarankan kepada para calon, eforia para calon kepala daerah sekarang tidak sedahsat dulu. Kalau orang sekadar calon, dia tetap membutuhkan biaya karena tidak ada makan siang yang gratis. Minum kopi yang gratis. Pasti ada modal. Setiap calon harus punya modal, kalau calon punya modal pas-pasan, investasi sosial pas-pasan ya, mau apalagi?

Adakah perubahan perilaku dalam penyelenggarakan Pilkada?

Kalau dulu variable yakni modal sosial, modal ekonomi, dan legalitas politik. Seandainya dia lulus sebagai pemenang, dia punya modal politik tapi dia tidak punya modal ekonomi karena telah terkuras habis. Kalaupu  dia dimodalin, biiaya tidak limitative karena biaya cukup besar. Kalau kita asumsikan per orang Rp 150.000,- kalau dikali 500.000 orang untuk Kota Tangerang misalnya, berapa? Yakni Rp 75 miliar. Itu minimal, kalau kita totalitas hitung perjiwa mulai dari mobilisasi warga, dilengkapi APK (alat peraga kampanye). Sudah tidak punya modal itu, dia juga tidak punya komoditas.

Lantas apa yang dilakukan oleh calon?

Bagaimana membangun agar punya legalitas, dia harus punya personal branding. Latar belakang yang punya korelasi dan hubungan dengan komunitas politis agar mendapat kepercayaan. Itu butuh biaya dan bukan asumsi.

Jadi di tengah kondisi begini, kita harus berfikir secara obyektifitas sesuai dengan kapasitas diri kita. Tidak cukup modalitas dan belum lagi bicara soal tas dan isinya. Itu menjadi variable yang menentukan dan tadinya itu hanya variable tambahan.

Tadi Bapak menyebutkan tas dan isinya, maksudnya?

Kalau dulu tas itu sebagai komplementer untuk mendukung kegiatan-kegiatan. Tapi tas itu sekarang ada di depan. Kalau dulu, kita cukup makan bareng dengan tim. Sekarang tim tidak bisa diajak makan bareng. Itu penjelasannya.

Lantas apalagi?

Yang kedua, sekarang sudah tidak ada lagi marwah dan mahkotanya, terputus hubungan masyarakat dengan pemerintah. Berapa banyak kah yang membutuhkan sehingga pemerintah tidak lagi mendapat penghargaan dari masyarakat. Di mata masyarakat sama saja, tidak ada urusan dengan dia, yang kepala daerahnya.

Apa efeknya?

Partisipasi pemilih semakin menurun  karena masyarakat tidak merasa ada kepentingan adanya pemerintah. Pemerintah hadir dan tidak hadir, masyarakat tidak punya kepentingan.

 Apa dampaknya terhadap kegiatan pada Pilkada?

Jalan yaitu hubungan pemerintah, sehingga turun, partisipasi. Di mata rakyat. Hal itu membuat partisipasi masyarakat turun. Yang bicara sekarang adalah orang elit atau mengaku elit, merasa tokoh atau minta ditokohkan. Sementara peran tokoh sejak tahun 2000 sudah runtuh oleh masyarakat. Di mata masyarakat tidak ada lagi, sudah tidak mendapatkan legitimasi, kepercayaan. Tokoh ada kekuatannya pada pemimpin formal yang punya legitisamsi, bukan sekadar pengakuan. Sekarang sudah kehilangan, masyarakat sudah tidak percaya.

Apakah ada pergeseran kepercayaan terhadap Pemerintah?

Survei terakhir 2012 masyarakat percaya kepada Ketua RT. Tidak lagi percaya tokoh dan pemimpinan agama, itu sudah runtuh. Sekarang pun sudah runtuh dengan adanya politik kemarin (pemberian bansos secara besar-besaran-red).  RT sebagai bak penampung distribusi bukan sembako tapi money politk (politik uang).

Berapa banyak caleg yang kecewa karena hal itu. Peran tokoh agama tidak lagi bisa diharapkan, tidak bisa lagi memobilisasi warga di sekitarnya untuk mendapat dukungan.

Bagaimana dengan calon kepala daerah Kota Tangerang? Apakah muncul calon lebih dari satu pasang?

Bisa satu pasang dan bisa juga lebih. Kalau hanya satu pasangan calon, risikonya lebih kecil. Pilkada itu bagusnya kompetitif tapi calon itu sama-sama berpegang teguh kepada moralitas dengan memegang prinsip politik yang baik. Artinya, tidak saling berlomba untuk melakukan politik uang.

Antisipasinya bagaimana?

Kita sekarang sudah tahu masyarakat sudah tercebur ke transaksional. Bagaimana merehabilitasinya tidak gampang. Sudah ada imajinasi dari calon bahwa uang itu segalanya. Yang masuk ke otak depan adalah uang. Jadi pertarungannya mereka mengandalkan transaksional untuk memenangkan pertarungan. Bagi pengusaha siapa pun calon harus punya modal.

Bagaimana mengubahnya?

Ya, perlu waktu. Itu sudah termasuk internalisasi nilai, sikap sebagian besar masyarakat. Orang yang punya modal sosial, dari sekian ribu masyarakat ada yang tidak mau dibeli. Berapa persen? Cuma 16 persen tapi dia tidak menentukan kemenangan. Pada Pemilihan kepala daerah harus mendapat dukungan sebesar 52 persen. Apalagi calon kepada daerah yang tidak punya duit.     

Bagaimana dengan Pilkada Gubernur Banten?

Sama saja.

(*Syafril Elain) selesai.

 

Post a Comment

0 Comments