Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Paguyuban Jurnalis Itu Kini 24 Tahun, Pokja WHTR

H. Syafril Elain Rajo Basa.
(Foto: Ist/koleksi pribadi Syafril Elain)


Oleh: H. SYAFRIL ELAIN RAJO BASA

 

KETIKA udara kebebasan mulai dirasakan oleh warga dan setiap warga, seolah-olah bisa berbuat apa saja. Tanpa ada yang melarang dan tanpa bisa terjerat hukum. Begitulah yang terjadi pada 1998 seiring bergulir reformasi pada Mei 1998.

Perjuangan mahasiswa dan rakyat Indonesia menumbangkan Pemerintahan Orde Baru (Orba) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto menggema ke seuluruh penjuru tanah air. Begitu pula dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebebasan tersebut ikut pula merasuk ke dalam tubuh pers Indonesia. Semulai kebebasan pers dibawah kendali Pemerintahan melalui Departemen Penerangan, kontrol yang ketat. Bila saja pemberitaan tidak susuai dengan selera Pemerintah Orba, tiba-tiba bisa kehilangan untuk terbit kembali pada sebuah penerbitan surakbar atau koran. Begitu pula nasib majalah pemberitaan.

Kebebasan pers sampai pula ke Tangerang yang bertetangga dekat dengan Ibu Kota Negara Jakarta. Semula organisai pers satu-satunya adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun, seperti jamur tumbuh setelah musim hujan, organisasi pers pun banyak tumbuh.

Lebih seru lagi di lapangan saat pemburu berita yakni menjalankan tugasnya bersaingan ketat dengan “wartawan jadi-jadian” yakni orang mengaku wartawan tapi belum pernah mengenyam pendidikan sebagai jurnalis baik formal maupun informal seperti kursus terkait jurnalistik.

Pada 1999 di Tangerang jumlah wartawan yang berkerja di media cetak dan elektronik tidak sampai 40 orang. Namun dampak dari reformasi tiba-tiba jumlah wartawan yang beredar di Tangerang membengkak menjadi sekitar 300 orang.

Siapakah mereka? Sebagian besar dari jumlah itu adalah “wartawan jadi-jadian” yang tumbuh subur hasil buah reformasi, kebebasan yang terbuka. Di antara mereka itu semula adalah pekerja informal seperti tukang tambal ban, penjual teh botol keliling, atau penggangguran lantas mengaku-ngaku sebagai wartawan.

Kenapa mereka menjadi wartawan? Penulis ketika itu sempat melakukan suatu percakapan dengan mereka. Wartawan di mata mereka paling mudah mendapatkan uang tanpa banyak mengeluarkan keringat. Misalnya, mereka datang ke sebuah pabrik lantas bertanya tentang ini dan itu atau pencemanran lingkungan. Apalagi Tangerang dijuluki sebagai Kota 1.000 pabrik.

Oleh pimpinan pabrik yang tidak mau repot, mereka diberikan sejumlah uang. Setelah diberi uang diminta pula sang pimpinan pabrik; jangan buat beritanya. Tentu saja mereka senang tidak akan membuat berita karena memang tidak punya media. Hal ini sangat menyimpang dari Kode Etik Jurnalistik.

Rupanya mereka bukan saja mendatangi pabrik, kantor swasta dan pemerintah pun ikut dijamah. Mulai dari kantor: desa, kelurahan, camat, walikota, dan bupati. Bahkwan kantor aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan ikut mereka sambangi.

Dari serangkai kegiatan “wartawan jadi-jadian” tersebut akhirnya berbenturan dengan wartawan yang memiliki media seperti surat kabar, radio, dan televisi. Mereka seolah melakukan wawancara dengan Pak Kades atau Pak Lurah tapi setelah ditunggu-tunggu berita tidak pernah ada.

Sialnya, wartawan yang memiliki media selalu mendapat tugas dari kantor harus mampu menyajikan dua atau tiga berita setiap hari yang telah mendapat konfirmasi dari orang yang kompeten atau pimpinan instansi yang berwenang. Tapi apa lacur, saat wartawan yang memiliki media mendatangi suatu instansi untuk dikonfirmasi dan disampaikan kepada wartawan tidak ada lagi penjelasan. Ternyata pimpinan instansi tersebut telah memberi penjelasan kepada “wartawan jadi-jadian”.

Atas serangkaian peristiwa itu, penulis dengan sejumlah rekan jurnalis yang pada 1999 kecewa dengan pimpinan PWI Kabupaten Tangerang mengajukan usul agar melakukan suatu langkah perbaikan sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Namun, tidak dihiraukan sehingga dirumuskan dalam suatu kegiatan dengan nama Kelompok Kerja (Pokja) PWI Kabupaten Tangerang.

Pokja tersebut yang awalnya dibawah naungan PWI Kabupaten Tangerang namun terjadi silang pendapat, akhirnya penulis dan sejumlah rekan melepaskan diri dari PWI Kabupaten Tangerang menjadi Pokja Wartawan Harian Tangerang tanpa PWI. Dengan perkembangan Tangerang menjadi menjadi tiga Pemerintah Daerah (Pemda) sehingga Pokja pun ikut menyesuaikan diri menjadi Pokja Wartawan Harian Tangerang Raya (Pokja WHTR).

Kenapa harus ada kata “harian”?  Hal itu mengacu ke media cetak yakni suratkabar yang terbit setiap hari kecuali hari Minggu. Nah, “wartawan jadi-jadian” bisa saja menerbitkan suratkabar sekali dua kali setelah itu mati, tanpa ada kuburan.

Oleh karena itu, bila ada wartawan yang ingin bergabung dengan Pokja Wartawan Harian Tangerang Raya (WHTR), yakni dia berlatar belakang media cetak harus terbit setiap hari atau suratkabar harian. Bila tidak, mohon maaf dan tidak akan diterima menjadi anggota Pokja WHTR.

Oleh karena anggota Pokja WHTR cukup terseleksi sehingga ketika bermitra dengan instansi Pemerintah maupun swasta dengan cepat mendapat kepercayaan.

Kenapa? Semisal ada instansi Pemerintah mengundang Pokja WHTR untuk suatu kegiatan konferensi pers. Jurnalis yang hadir misalnya 10 orang tapi berita yang muncul bisa 12 sampai 15 media, melebihi jurnalis yang hadir. Sebaliknya, bila pihak lain yang diundang hasil dari kegiatan pers tersebut, tidak ada berita yang tayang. Kalau pun ada yang tayang jumlahnya lebih kecil dari jumlah wartawan yang hadir.

Pokja WHTR adalah pagayuban dari sejumlah jurnalis yang ingin melaksanakan tugas sebagaimana diatur dalam Undang Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Praktis sejak berdiri 24 tahun lalu hingga kini jarang sekali ada anggota Pokja WHTR tersangkut kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalis atau UU Pers. Kalaupun ada, kadarnya rendah.

Setelah Pokja WHTR berdiri lalu mendapat tempat sebagai kantor sekretariat pertama di lingkungan Polres Metro Tangerang Kota yakni di Jalan Daan Mogot No. 52, persis di depan ruang tahanan. Ketika itu adalah Wakil Kepala Polres Metro Tangerang Kota Kompol I Gede Sugianyar memberi izin tempat untuk digunakan Pokja WHTR. Kantor sekretariat Pokja WHTR tersebut sekaligus sebagai “alat penangkal” bagi wartawan jadi-jadian bila datang ke Polres.

Dari kantor sekretariat di Polres, Pokja WHTR pada 2004 bergeser ke Jalan Veteran di sebelah SMP Negeri 16 selama dua tahun. Tempat ini lebih luas karena sejumlah wartawan bila liputan hinngga larut malam bisa menginap dan esok hari bisa tampil ceria setelah mandi dan sarapan.

Kemudian atas perhatian Walikota Tangerang Wahidin Halim ketika itu, pada 2006 memberi tempat untuk pinjam pakai kantor Sekretariat Pokja WHTR, di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kelurahan Babakan, Kecamatan Tangerang, sampai sekarang ini. Di sinilah Pokja WHTR melangsungkan kegiatan perayaaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-24 secara sederhana bersama instansi pemerintah dan swasta sebagai mitra kerja dan anak yatim, Senin, 29 Januari 2024.     

Selamat Ulang Tahun Pokja WHTR dan teruslah berkarya para anggotanya untuk kemajuan Tangerang Raya dan Indonesia. Semoga. (***)

 

Penulis adalah salah seorang pendiri Pokja WHTR dan kini Caleg Partai Nasdem Dapil 1 Kota Tangerang.    

 

Post a Comment

0 Comments