![]() |
H. Syafril Elain Rajo Basa. (Foto: Ist/koleksi pribadi Syafril Elain) |
KETIKA udara kebebasan mulai dirasakan oleh warga dan setiap
warga, seolah-olah bisa berbuat apa saja. Tanpa ada yang melarang dan tanpa bisa
terjerat hukum. Begitulah yang terjadi pada 1998 seiring bergulir reformasi
pada Mei 1998.
Perjuangan mahasiswa dan rakyat Indonesia menumbangkan
Pemerintahan Orde Baru (Orba) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto menggema ke seuluruh
penjuru tanah air. Begitu pula dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebebasan tersebut ikut pula merasuk ke dalam tubuh pers
Indonesia. Semulai kebebasan pers dibawah kendali Pemerintahan melalui
Departemen Penerangan, kontrol yang ketat. Bila saja pemberitaan tidak susuai
dengan selera Pemerintah Orba, tiba-tiba bisa kehilangan untuk terbit kembali
pada sebuah penerbitan surakbar atau koran. Begitu pula nasib majalah
pemberitaan.
Kebebasan pers sampai pula ke Tangerang yang bertetangga dekat
dengan Ibu Kota Negara Jakarta. Semula organisai pers satu-satunya adalah
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun, seperti jamur tumbuh setelah musim
hujan, organisasi pers pun banyak tumbuh.
Lebih seru lagi di lapangan saat pemburu berita yakni menjalankan
tugasnya bersaingan ketat dengan “wartawan jadi-jadian” yakni orang mengaku
wartawan tapi belum pernah mengenyam pendidikan sebagai jurnalis baik formal
maupun informal seperti kursus terkait jurnalistik.
Pada 1999 di Tangerang jumlah wartawan yang berkerja di
media cetak dan elektronik tidak sampai 40 orang. Namun dampak dari reformasi
tiba-tiba jumlah wartawan yang beredar di Tangerang membengkak menjadi sekitar
300 orang.
Siapakah mereka? Sebagian besar dari jumlah itu adalah
“wartawan jadi-jadian” yang tumbuh subur hasil buah reformasi, kebebasan yang
terbuka. Di antara mereka itu semula adalah pekerja informal seperti tukang
tambal ban, penjual teh botol keliling, atau penggangguran lantas mengaku-ngaku
sebagai wartawan.
Kenapa mereka menjadi wartawan? Penulis ketika itu sempat
melakukan suatu percakapan dengan mereka. Wartawan di mata mereka paling mudah
mendapatkan uang tanpa banyak mengeluarkan keringat. Misalnya, mereka datang ke
sebuah pabrik lantas bertanya tentang ini dan itu atau pencemanran lingkungan.
Apalagi Tangerang dijuluki sebagai Kota 1.000 pabrik.
Oleh pimpinan pabrik yang tidak mau repot, mereka diberikan
sejumlah uang. Setelah diberi uang diminta pula sang pimpinan pabrik; jangan
buat beritanya. Tentu saja mereka senang tidak akan membuat berita karena
memang tidak punya media. Hal ini sangat menyimpang dari Kode Etik Jurnalistik.
Rupanya mereka bukan saja mendatangi pabrik, kantor swasta
dan pemerintah pun ikut dijamah. Mulai dari kantor: desa, kelurahan, camat,
walikota, dan bupati. Bahkwan kantor aparat penegak hukum seperti Kepolisian
dan Kejaksaan ikut mereka sambangi.
Dari serangkai kegiatan “wartawan jadi-jadian” tersebut
akhirnya berbenturan dengan wartawan yang memiliki media seperti surat kabar,
radio, dan televisi. Mereka seolah melakukan wawancara dengan Pak Kades atau Pak
Lurah tapi setelah ditunggu-tunggu berita tidak pernah ada.
Sialnya, wartawan yang memiliki media selalu mendapat tugas
dari kantor harus mampu menyajikan dua atau tiga berita setiap hari yang telah
mendapat konfirmasi dari orang yang kompeten atau pimpinan instansi yang
berwenang. Tapi apa lacur, saat wartawan yang memiliki media mendatangi suatu
instansi untuk dikonfirmasi dan disampaikan kepada wartawan tidak ada lagi
penjelasan. Ternyata pimpinan instansi tersebut telah memberi penjelasan kepada
“wartawan jadi-jadian”.
Atas serangkaian peristiwa itu, penulis dengan sejumlah
rekan jurnalis yang pada 1999 kecewa dengan pimpinan PWI Kabupaten Tangerang
mengajukan usul agar melakukan suatu langkah perbaikan sesuai dengan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Namun, tidak dihiraukan sehingga
dirumuskan dalam suatu kegiatan dengan nama Kelompok Kerja (Pokja) PWI Kabupaten
Tangerang.
Pokja tersebut yang awalnya dibawah naungan PWI Kabupaten
Tangerang namun terjadi silang pendapat, akhirnya penulis dan sejumlah rekan melepaskan
diri dari PWI Kabupaten Tangerang menjadi Pokja Wartawan Harian Tangerang tanpa
PWI. Dengan perkembangan Tangerang menjadi menjadi tiga Pemerintah Daerah
(Pemda) sehingga Pokja pun ikut menyesuaikan diri menjadi Pokja Wartawan Harian
Tangerang Raya (Pokja WHTR).
Kenapa harus ada kata “harian”? Hal itu mengacu ke media cetak yakni
suratkabar yang terbit setiap hari kecuali hari Minggu. Nah, “wartawan
jadi-jadian” bisa saja menerbitkan suratkabar sekali dua kali setelah itu mati,
tanpa ada kuburan.
Oleh karena itu, bila ada wartawan yang ingin bergabung
dengan Pokja Wartawan Harian Tangerang Raya (WHTR), yakni dia berlatar belakang
media cetak harus terbit setiap hari atau suratkabar harian. Bila tidak, mohon
maaf dan tidak akan diterima menjadi anggota Pokja WHTR.
Oleh karena anggota Pokja WHTR cukup terseleksi sehingga
ketika bermitra dengan instansi Pemerintah maupun swasta dengan cepat mendapat
kepercayaan.
Kenapa? Semisal ada instansi Pemerintah mengundang Pokja
WHTR untuk suatu kegiatan konferensi pers. Jurnalis yang hadir misalnya 10
orang tapi berita yang muncul bisa 12 sampai 15 media, melebihi jurnalis yang
hadir. Sebaliknya, bila pihak lain yang diundang hasil dari kegiatan pers
tersebut, tidak ada berita yang tayang. Kalau pun ada yang tayang jumlahnya
lebih kecil dari jumlah wartawan yang hadir.
Pokja WHTR adalah pagayuban dari sejumlah jurnalis yang
ingin melaksanakan tugas sebagaimana diatur dalam Undang Undang Pers dan Kode
Etik Jurnalistik. Praktis sejak berdiri 24 tahun lalu hingga kini jarang sekali
ada anggota Pokja WHTR tersangkut kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalis atau UU
Pers. Kalaupun ada, kadarnya rendah.
Setelah Pokja WHTR berdiri lalu mendapat tempat sebagai
kantor sekretariat pertama di lingkungan Polres Metro Tangerang Kota yakni di
Jalan Daan Mogot No. 52, persis di depan ruang tahanan. Ketika itu adalah Wakil
Kepala Polres Metro Tangerang Kota Kompol I Gede Sugianyar memberi izin tempat untuk
digunakan Pokja WHTR. Kantor sekretariat Pokja WHTR tersebut sekaligus sebagai “alat
penangkal” bagi wartawan jadi-jadian bila datang ke Polres.
Dari kantor sekretariat di Polres, Pokja WHTR pada 2004 bergeser
ke Jalan Veteran di sebelah SMP Negeri 16 selama dua tahun. Tempat ini lebih
luas karena sejumlah wartawan bila liputan hinngga larut malam bisa menginap
dan esok hari bisa tampil ceria setelah mandi dan sarapan.
Kemudian atas perhatian Walikota Tangerang Wahidin Halim
ketika itu, pada 2006 memberi tempat untuk pinjam pakai kantor Sekretariat Pokja
WHTR, di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kelurahan Babakan, Kecamatan Tangerang,
sampai sekarang ini. Di sinilah Pokja WHTR melangsungkan kegiatan perayaaan
Hari Ulang Tahun (HUT) ke-24 secara sederhana bersama instansi pemerintah dan
swasta sebagai mitra kerja dan anak yatim, Senin, 29 Januari 2024.
Selamat Ulang Tahun Pokja WHTR dan teruslah berkarya para
anggotanya untuk kemajuan Tangerang Raya dan Indonesia. Semoga. (***)
Penulis adalah salah seorang pendiri Pokja WHTR dan kini
Caleg Partai Nasdem Dapil 1 Kota Tangerang.
0 Comments