Wina Armada Sukardi dengan pagar merah putih. (Foto: Istimewa/Wina AS) |
“Itu yang pagarnya
abu-abu,” jawab saya.
“Di sini gak ada
rumah yang pagarnya abu-abu!” sahut si tukang ojek itu.
“Ada!” tandas saya
dengan nada tinggi. Bagaimana tidak ada, lha wong itu rumah saya sendiri. Dari
dulu juga catnya udah abu-abu.
“Gak ada!”
sanggahnya lagi dengan berani dan yakin.
Saya rada kesal
juga. ”Ya udah, tunggu di tempat saja. Biar saya ke luar!” bantah saya, mulai
sewot.
Waktu pintu pagar
saya buka, si ojek ternyata ada pas di depan rumah saya. Di depan pagar! Saya
jadi agak emosional. Ini orang mau ngeledek
atau ngajak berantem.
“Pagar segini gede
masa gak kelihatan!” semprot saya.
Eh, dia bukannya
menyadari kesalahannya, malah seperti menantang. “Ini pagar bukan warna
abu-abu, Pak!” ujarnya.
Saya terperangah.
Dari dulu dibuat juga udah warna abu-abu.
“Ini pagar warna
coklat!” katanya lagi. Lantas, tanpa banyak cingcong lagi, Dia menyerahkan
paket kirimannya, dan ngacir begitu aja.
Seperginya si
ojek, saya perhatikan lagi pagarnya. Memang jelas semula pagar ini berwarna
abu-abu, terlihat. Warna coklat. Pantas
si tukang ojeknya bilang pagarnya warna coklat.
Walaupun tukang
ojek tidak sepenuhnya benar, karena masih jelas terlihat sisa-sisa warna
abu-abu, tapi dia tetap ada benarnya. Pagar sudah mencoklat.
Waktu saya
ceritakan kejadian itu kepada isteri saya, dia
malah tertawa! Menertawakan saya. Dari sanalah kami sepakat mencat ulang
pagar rumah.
Persoalannya,
warna apa? Abu-abu udah bosanlah. Sejak awal warna abu-abu. Kami ingin variasi.
Lalu jelang Pemilu
ini, salah pilih warna malah dapat dituding pendukung partai tertentu.
Warna hijau nanti
dibilang dukung PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) atau PPP (Partai Persatuan
Pembangunan). Warna putih dibilang PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Warna merah
di pastilah dianggap PDIP (Partai Demokrasi Indonesia). Warna biru,
diindentikan dengan Demokrat dan Nasdem. Dan seterusnya.
“Yang penting bisa
jadi landmark atau tanda, kalau ada orang cari rumah kita,” kata isteri saya.
“Ya sudah, merah
putih saja!” usul saya spontan.
Isteri saya
setuju. Setelah berunding, kami sepakat merah putihnya bukan seperti bendera,
atas merah, bawah, tapi selang seling merah putih. Dari kanan ke kiri merah
putihnya. Mencolok, dapat jadi tanda dan sekaligus terhindar dari warna partai.
“Nasionalis
banget!” komentar seorang kawan.
Saya cuma tersenyum saja.*👇👇
(Wina Armada Sukardi)
0 Comments