Ilustrasi, seorang anak muda sedang tidur lalu mengalami mimpi buruk. (Foto: Istimewa/halodoc.com) |
Gibran Rakabuming Raka, namanya jadi perbincangan setelah
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) menggelar karpet merah bagi sang
anak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) itu. Bukan hanya di Indonesia, prahara
putusan mahkamah penjaga konstitusi itu sampai menjadi sorotan dunia
internasional.
Kalau pinjam istilah ketua Mahkamah Kehormatan MK, Prof.
Jimly Assiddiqie, ini peristiwa pertama di dunia bahkan dalam sejarah umat manusia.
Benar-benar memalukan.
Banyak yang aneh, kita tidak perlu punya IQ tinggi, cukup
menjadi stand up commedi pun sudah cukup untuk menilai bahwa lolosnya Gibran
benar-benar hasil karbitan dari cara yang culas. Sialnya ia disimbolisasi
sebagai anak muda yang sukses menapaki jalan politik mendampingi Bapak Prabowo Subiyanto.
Sebaliknya, bagi saya sebagai anak muda, sepak terjang jalan
politik Gibran bukanlah karakter anak muda. Itu preseden buruk bagi generasi
muda bangsa Indonesia. Usianya boleh saja mewakili anak muda Indonesia, tapi
tidak dengan gagasan dan sikap politiknya. Sebaliknya, ia justru mempraktikan
cara-cara politik kuno abad kegelapan.
Melenggangnya Gibran ke gelanggang pertarungan Pilpres bukan
sebuah keistimewaan bagi anak muda, melainkan keistimewaan dia sebagai anak
seorang presiden dan ponakan seorang Hakim Konstitusi.
Kisah Gibran memberi pesan kepada seluruh anak-anak muda
Indonesia agar lebih cepat mengubur impiannya. Jangankan untuk menjadi
pemimpin, untuk mendapatkan kesempatan saja sudah mustahil kecuali kita dapat
jatah Privilege seperti apa yang ia punya.
Mengglorifikasi Gibran seperti Syahrir dan pemimpin muda
dunia lainnya merupakan ocehan paling menjijikan. Anak muda mestinya mendorong
sebuah terobosan kemajuan dalam semua aspek. Hal yang paling fundamental adalah
menjaga demokrasi agar tetap memberi ruang dan kesempatan yang sama dan
berkeadilan kepada semua anak muda, bukan ikut mempreteli demokrasi hanya
karena aji mumpung.
Hadirnya Gibran dampingi Prabowo bukanlah sebuah harapan
masa depan bagi anak-anak muda melainkan mimpi buruk bagi anak-anak muda
Indonesia. Disadari atau tidak ia sedang membangun pondasi sistem yang
despotik, Gibran menambah catatan buruk bagi sejarah anak muda Indonesia.
Menolak Gibran tidak bisa disimplifikasi sebagai penolakan
kesempatan bagi anak muda. Apalagi dengan membangun narasi 'bahwa demokrasi
memberi kesempatan yang sama', ini juga keluar dari apa yang menjadi substansi keresahan
anak muda Indonesia.
Pokok kegelisahan ada pada proses yang manipulatif, anak
muda punya tanggung jawab sejarah untuk meluruskan apa yang menyimpang,
menegakkan apa yang keliru dan mendorong proses demokratisasi yang lebih
substantif, Gibran tidak berdiri pada prinsip itu.
Si anak Presiden itu menggulung impian anak para pekerja di
pabrik-pabrik, di pematang sawah, di kolong jembatan, di pasar-pasar
tradisional, di perkotaan hingga di pedesaan, mereka mungkin sama dalam
kesempatan tapi berbeda dalam akses terhadap kekuasaan dan hukum.
Anak muda tidak cukup hanya diidentifikasi dari usianya saja
tapi juga gagasan dan sikap keberpihakannya. Berani mendobrak kebuntuan, berani
melawan pembegalan demokrasi, itu satu bentuk unifikasi dari idealisme mendasar
seorang pemuda. Jika prinsip dasar itu saja sudah diingkari anak muda, lantas
keadilan dan kesejahteraan macam apa yang kita tunggu darinya?
0 Comments