![]() |
Syahganda Nainggolan. (Foto: Istimewa/ljc) |
BANYAK sekali pertanyaan masuk ke saya tentang Anies,
benarkah dia pengkhianat? Atau melakukan pengkhianatan dalam perjuangannya?
Bagaimana dia mau mengusung tema perubahan kalau dia sendiri karakternya
khianat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas terkait dengan berbagai
pemberitaan adanya kesepakatan Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar untuk
membangun aliansi memenangkan Anies Baswedan ke depan.
Kesepakatan ini, menurut Partai Demokrat (PD), melanggar
kesepakatan tertulis dalam Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) tentang
kriteria pendamping Anies serta kesepakatan tidak tertulis, bahwa Anies sudah
menyampaikan kepada Soesilo Bamdang Yudhoyono (SBY) dan petinggi partai politik
(Parpol) koalisi bahwa Agus Harimurti
Yudhoyono (AHY) adalah pendamping dia ke depan.
Apakah benar Anies pengkhianat?
Partai Demokrat tentu saja boleh marah dengan langkah
politik terbaru yang dilakukan sepihak oleh Surya Paloh. Namun, sebuah
kemarahan harus ditempatkan dalam "circumstance" politik yang ada. Sebuah
lingkungan politik bejat dan penuh ancaman. Pada konteks yang tepat, tentu
sebuah langkah "sampul" dari sebuah koalisi bisa dimengerti dalam kecanggihan
desain dan strategi.
Tiga hal berikut ini perlu menjadi pertimbangan agar koalisi
perubahan tetap bersatu dan terus membangun soliditas. Pertama, langkah politik
oposisi dalam membangun poros perubahan adalah untuk mendukung perubahan itu
sendiri.
Perubahan itu utamanya ada pada Anies Baswedan sebagai calon
presiden. Sedangkan parpol penduduk Anies dapat bermanuver di antara isu
perubahan (oposisi) dan mendukung pemerintah atau kebijakannya. Nasdem, meskipun
secara terbuka mengatakan kehilangan harapan pada Jokowi, untuk membangun
Indonesia yang maju dan berkeadilan, sebagaimana diutarakan Surya Paloh, di
Apel Akbar Nasdem, (16/7/2023) di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), tetap saja
Nasdem melakukan langkah-langkah "dua kaki" terhadap Jokowi.
Demokrat sendiri, ketika dihantam "istana" terkait
pengambilalihan paksa partainya oleh Moeldoko, Demokrat tidak menghujat Jokowi,
melainkan sekadar Moeldoko. Bahkan, saat yang sama Demokrat mendukung
pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kalimantan.
Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipastikan, jika
Nasdem dan atau parpol pendukung lainnya tetap mendukung Anies, tidak terjadi
pengkhianatan atas cita-cita perubahan. Justru, jikalau parpol pendukung Anies
pindah haluan mendukung capres lainnya, itu yang disebut sebagai pengkhianatan.
Kedua, dalam circumstances atau ruang politik yang kotor
serta penuh kekejian, segala sesuatu memang tidak dapat diungkapkan lebih awal.
Hanya beberapa jam setelah Anies diumumkan Nasdem sebagai Capres, Golkar atau
Airlangga misalnya, berusaha memberikan sinyal untuk berkoalisi. Begitu juga
ketika apel akbar Nasdem di GBK, petinggi Golkar menghadiri acara tersebut.
Terakhir waktu lalu kabar berkembang pertemuan Anies dan Airlangga secara
sembunyi-sembunyi. Akhirnya kita ketahui bersama Airlangga hampir digulingkan
oleh kekuatan anti perubahan yang berkuasa.
Demokrasi yang kita hadapi saat ini adalah demokrasi barbar.
Kekuasaan Jokowi berusaha mengontrol arah kekuasaan ke depan, dengan alasan
keberlanjutan pembangunan. Meskipun mungkin mayoritas rakyat lebih percaya
cawe-cawe Jokowi lebih kepada kepentingan dirinya sendiri dan anak mantunya,
faktanya Jokowi mampu memainkan peranan besar dalam mendukung arah koalisi
parpol-parpol.
Dalam situasi seperti ini, sesungguhnya, kita harus melihat,
manuver Nasdem yang berhasil merangkul Muhaimin, sebuah partai yang berbasis
Nahdatul Ulama, adalah keberhasilan besar. Kenapa? Karena meyakinkan Muhaimin
untuk tidak takut dikriminalisasi oleh kekuatan rezim Jokowi adalah pekerjaan berat.
Ini hanya mungkin bisa karena dalam diri Muhaimin juga ada bibit keberanian.
Dan ini berasal dari sejarah Muhaimin sebagai aktifis gerakan pro demokrasi
pada era Orde Baru.
Sebagai catatan, untuk yang tidak mengikuti sejarah Surya
Paloh, perlu saya sampaikan sedikit tambahan bahwa Surya Paloh juga termasuk
sosok kritis terhadap Orde Baru. Surya Paloh, dibantu oleh Todung Mulya Lubis,
sering mengumpulkan aktifis anti Orde Baru di kantornya. Di mana saya pernah
diundang.
Surya Paloh sendiri pernah mendirikan media oposisi,
Prioritas, pada era Suharto. Pada satu kesempatan, Syamsir Siregar, Kepala
Badan Intelijen TNI (BAIS), sebagaimana diceritakan pada saya, pernah
diperintahkan Panglima ABRI/TNI, Faisal Tanjung, untuk menangkap Surya Paloh
atas kejahatan melawan Suharto. Untung Syamsir Siregar memberi "pintu
damai" kepada Surya Paloh. Dengan sosok seperti ini, tentu saja Paloh
boleh merasa paling senior dalam urusan demokrasi dan kebebasan politik.
Penjelasan tentang situasi lingkungan politik yang ada seperti
dijelaskan di atas tentu membuat kita faham adanya langkah-langkah strategis
yang tidak semuanya harus dijelaskan di depan. Memang, tentu saja perlu
dijelaskan kemudian. Agar mitra koalisi dapat mengerti. Pernyataan terbaru dari
Surya Paloh di berbagai media menyebutkan bahwa "Anies-Muhaimin"
belum diformalkan. Ini tentu menjadi penjelasan yang baik bagi soliditas ke
depan.
Ketiga, argumentasi penting ketiga adalah kemenangan kaum
perubahan. Sebagai tokoh reformasi dan tokoh Islam, Anies telah menempatkan
dirinya pada sosok pemimpin kharismatik yang mampu mendominasi semua Capres
kompetitor. Namun, fakta menunjukkan, dengan koalisi ramping yang tersedia,
Anies ketinggalan dalam elektabilitas di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Berbagai survei menunjukkan Anies mengalami ketertinggalan
akibat peta sosiologis kita tebelah. Anies menguasai "Islam
identitas", Ganjar menguasai "Nasionalis Sekuler" dan Prabowo
atas dukungan Muhaimin, Partai Kebangsaan Bangsa (PKB), mendominasi komunitas
"Islam Tradisional". Dalam situasi demikian, Anies bisa saja bertahan
dalam perang segitiga kekuatan sosiologis masyarakat kita. Tapi, apakah kita
tidak merasa lebih baik ketika kekuatan Islam tradisional, setidaknya dalam
naungan PKB, berbagi masa depan dengan pendukung Anies?
Tentu saja ada keraguan arah perubahan dengan masuknya
Muhaimin/PKB dalam poros perubahan. Namun, jika Anies-Muhaimin menjadi
pasangan, tentu arah perubahan tetap terjadi. Oleh karena, Muhaimin dan
barisannya adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan bangsa kita.
Penutup
Saya telah berpartisipasi dalam menuangkan pikiran ini untuk
meluruskan isu-isu pengkhianatan. Menyebutkan pengkhianat atau pengkhianatan
adalah kesalahan besar jika itu terus dipertahankan. Kita melihat beban sejarah
yang dipikul pengusung perubahan sudah demikian besar. Seringkali persoalan
strategis menjadikan komunikasi antar kelompok terganggu. Surveillence atau
pengintelan terjadi di mana-mana. Kekuasaan berusaha mendominasi semua ruang
publik dan ruang politik yang ada. Sebuah strategi hanya bisa berjalan kalau
ada kepercayaan. Sebuah pengkhianatan hanya bisa dikatagorikan valid atau absah
jika Nasdem atau parpol pendukung lainnya meninggalkan Anies.
Kehadiran Muhaimin Iskandar dalam jajaran koalisi pendukung
Anies Baswedan harus dimaknai sebagai keberhasilan merangkul lawan, menjadi
teman. Apalagi Muhaimin membawa gerbong besar, kaum Nahdlatul Ulama. Sebaiknya
kita menyebutkan "Ahlan Wa Sahlan Muhaimin Iskandar". Mari bersama
menyongsong perubahan. (***)
Penulis adalah Sabang Merauke Circle
0 Comments