Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

DEBAT SOAL KEPENYAIRAN: Jawaban Terhadap Sobat Adri Darmaji Woko

Dari kiri: Heryus Saputro, Eka Budianta, 
Arthur John Horoni, Mochwardi Mochtar, 
 dan Wina Armada. Para penyair yang sejak 
 remaja puisinya telah dimuat di majalah. 
 sastra Horizon. 
(Foto: Ist/koleksi pribadi Wina Armada) 



Jawaban Sobat  Adri Darmadji Woko, 72 tahun, terhadap tulisan sobat Heryus Saputro Samadi, menarik untuk disimak, dan sekaligus “mematik” perdebatan:

1. Pencantuman dan tidak mencantumkan nama  empat orang (Eka Budianta, Heryus Saputro, Muchwardi Muchtar, dan saya) sebagai penyair atau bukan penyair, sama sekali bukan perkara keempatnya sekadar pemenang Lomba Penulisan Puisi Radio ARH belaka, tapi memang benar-benar menyangkut penyebutan keempatnya sebagai penyair atau bukan.

Kalau dulu, dan sampai sekarang sekarang, Sobat Adri, tak berkenan menyebut kami berempat sebagai penyair, tentu itu sepenuhnya hak Sobat Adri. Tapi bagi kami berempat, setidak bagi saya pribadi, dari parameter apapun, sejak waktu itu, tak dapat dinafikan kami sudah melakukan pekerjaan penyair.

Perkara Sobat Adri tak mau mengakuinya, itu masalah Sobat Adri sendiri. Dengan sudut pandang itu, masyarakat, khusus di dunia sastra, dapat dan bebas menilai kok di mana posisi  Sobat Adri dalam pandangan kepenyairan terutama kepada kami berempat.  Kalangan sastra dapat menilai, adakah Sobat Adri cuma bersuka hati memasukan kawan-kawannya, kenalan dan lingkungan sendiri sebagai penyair, sedangkan di luar itu dengan berbagai dalih menolak menyebut orang bukan di lingkarannya sebagai penyair. Biar khalayak, terutama masyarakat sastra, yang memberi penilaian.

2. Siapakah penyair itu? Jelas kok maknanya: orang yang menulis syair/sajak/puisi. Ketika kami mengirim naskah ke Panitia Lomba Puisi  Radio ARH, jelas kami menulis syair/sajak/puisi. Bukan ngupil. 

Apakah orang yang cuma kadang-kadang menulis puisi, bukan penyair? Tergantung persepsi masing-masing. Kala itu pun kami sejatinya sudah banyak menulis puisi, baik yang dipublikasikan maupun ttidak publikasikan. Dan sampai sekarang pun kami bereempat masih terus menulis puisi. Di mana-mana. Dari di buku sampai media sosial. Saya sampai sekarang masih menulis, termasuk puisi, hampir setiap hari. Tapi  kalau Sobat Adri tetap tidak berkenan menyebut kami penyair lantaran kami cuma dinilai sakadar peserta lomba menulis puisi Radio ARH, saya kembali lagi kepada hak pribadi Sobat Adri.

3. Sunggih sangat aneh, Sobat Adri mempersoalkan pemuatan empat karya dari keempat kami di majalah Horizon, “bukan kiriman penulis yang bersangkutan.” Sejak kapan karya seorang penyair yang dimuat di sebuah majalah (sastra) harus disertai ukuran “perlu dikirim sendiri oleh penulisnya?” Kalau tidak dikirim oleh penulis, tidak dianggap atau tidak diakuai sebagai karya sastra? Memang Sobat Adri tidak langsung menyatakan demikian, tapi kalimatnya jelas bermakna, hanya karya yang dikirim langsung oleh penyairnya yang layak diperhitungkan sehingga penciptanya juga dapat dikatagorikan penyair.

Bagi saya pandangan ini pandangan, maaf, yang jelas naif, kalau tak mau disebut sesat. Darimana pun asalnya, dan bagaimana pun caranya, setelah sebuah karya dimuat atau ditayangkan sah sebagai bagian dari media bersangkutan. Tak ada hubungannya sama sekali dengan yang mengirim langsung  atau bukan  dikirim langsung oleh “penyair”.

4. Apakah Sobat Adri tak faham, begitu banyak karya yang dikirim langsung orang yang menamakan dirinya penyair, ditolak atawa tidak pernah dimuat oleh media yang bersangkutan? Saya pernah menjadi redaktur seni budaya harian berwarna pertama di Indonesia yang lantas dibredel, Prioritas. Kala itu banyak karya yang kami tolak, bahkan orangnya tetap kami anggap penyair.

 Bagaimana status orang yang karya ditolak itu dalam ukuran Sobat Adri? Apakah mereka bukan penyair, tetap penyair kalau karyanya pernah dimuat di tempat itu atau tempat lain.

5. Begitu pula manakala dengan rada nyinyir Sobat Adri menjelaskan pemuatan keempat karya kami cumalah sebagai “contoh atau kelengkapan tulisan Muchtar Lubis atas catatan kebudayaan di majalah yang pimpinan umumnya Muchtar Lubis.”Memang kalau pemuatan karta-karya tersebut sebagai kelengkapan dari tulisan Mochtar Lubis, lantas menurunkan kadar kesastraannya sesuai pandangan Sobat Adri?

Sama sekali tidak. Karya itu tetap karya sastra yang utuh. Justeru bagi kami catatan Mochtar Lubis itu malah memperkuat penilaian karya-karya kami  tersebut memang layak buat di majalah Horizon. Sudah lolos dari kurasi seorang penanggung jawab tertinggi di Horizon kala itu. Bukan karya kaleng-kaleng. Ingatlag lho, karya kami yang dimuat di Horizon utuh, tanpa dipenggal,dan tanpa diedit.

Karya kami mengambil 5 (lima halaman) full dari 32 halaman majalah sastra Horizon No 8, Agustus 1979 Tahun  XIV. Ini artinya sekitar 7 persen dari jumlah halaman majalah Horizon kala itu. Apakah pemakaian jumlah halaman majalah Horuzon sebanyak itu cumalah contoh dan bukan karya-karya yang dipandang penting oleh majalah Horizon.

Masihkah fakta ini tidak bermakna penulisnya sebagai penyair? Bukankah ini sebuah pengakuan yang terang benderang dan gamblang terhadap karya-karya kami? Bukankah Mochtar Lubis sebagai peminpim umum majalah Horizon langsung atau tidak langsung representatif dari majalah Horizon sendiri?

Dari masyarakat sastra Indonesia itu? Kalau ada yang menampik keputusan itu boleh saja dan lumrah. Dalam pers setiap hari terjadi debat mana berita atau tulisan yang diturunkan atau tidak diturunkan. Namun setelah berita atau tulisan tersebut diturunkan, itu menjadi pengakuan dari media yang bersangkutan. Kalau sebelum dimuat, pilihan Muchtar Lubis sebagai pemimpin umum ada yang tidak sependapat dengan Mochtar Lubis, biasa saja dalam media. Tak ada yang luar biasa. Tetapi setelah dimuat,  jelas melekat sebagai keputusan majalah Horizon.

Kalau atas kejadian tersebut Sobat Adri tetap menampik keempat karya kami, monggo saja. Paling bagi kami sebagai catatan kok penolakan Sobat Adri tidak berdasarkan telaah sastra atau puisi. Misalnya, Sobat Adri berkesinpulan keempat karya kami itu buruk, karena tidak puitis. Subtabsinya tak jelas dan sebagainya. Dan jika dibandingkan dengan karya-karya Adri sendiri, keempat karya kami tak bermutu dan tak layak disebut karya sastra. Itu lebih dapat kami maklumi ketimbang mencari alasan di balik pemuatan karya-karya kami di majalah Horizon.

6. Sobat Adri juga menyebut-nyebut pemuatan karya kami di luar sepengetahun redaktur Horizon waktu itu SDD dan  TI (saya menduga yang dimaksud SDD adalah Sapardi Djoko dan Damono dan TI adalah Taufik Ismail, saya tak faham mengapa harus disingkat-singkat layaknya berita kriminal),  yang bertugas menyeleksi puisi yang dimuat. Sobat Adri sebagai wartawan, di sini melupakan mekanisme kerja redaksional. Meskipun belum diperiksa, bahkan walau telah dinyatakan tidak lolos oleh redaktur bidang, pemimpin redaksi, apalagi pemimpin umum, punya otoritas untuk menentukan pemuatan dan tidak pemuatan suatu tulisan berdasarkan kewenangan dan martabatnya.

Tentu Muchtar Lubis mememikiki sepenuhnya hak atau kewenangan mana naskah yang harus segera diturunkan. Kenapa pula Sobat Adri mempersoalkannya? Apalah Sobat Adri meragukan integritas dan kehebatan Mocthar Lubis? Kalau betul Sobat Adri meragukan kehebatan, didikasi dan integritas kesusastraan Mochtar Lubis, saya tidak dapat berkomentar. Silahkan para pemangku kepentingan sastra yang menilainya.

Ataukah Sobat Adri malah merasa lebih hebat dari Mochtar Lubis sehingga memdebatkan keputusan Mochtar Lubis yang tanpa sepengetahuan SDD dan TI? Kalau memang demikian, kami juga cuma dapat  mencatat saja Sobat Adri menempatkan diri lebih hebat dari Mochtar Lubis.

7.  Kembali kepada parameter apa yang dipakai untuk menentukan seorang penyair atau bukan? Sobat Adri menyebut puluhan nama yang karyanya dimuat (“bukan termuat,” kata Sobat Adri), di majalah Horizon, Sastra atau Basis, tetap tidak diakui ya sebagai penyair/pengarang. Lantas apa dong kriterianya? Apakah seorang baru dapat disebut sebagai penyair lantaran hidup mati dari syair dan tidak memiliki pekerjaan lain? Apakah seseorang yang menulis puisi untuk mencari duit, malah dapat dikatagotikan sebagai penyair? Sebagian besar penyair di Indonesia mempunyai pekerjaan lain selain penulis puisi, termasuk Sobat Adri sendiri. Apakah dengan begitu tak layak disebut sebagai penyair?

Apakah kriterianya mau dilihat berapa banyak syair atau tulisan yang dihasilkannya? Artinya kwantitas karya seseorang dijadikan ukuran kwalitasnya? Hanya orang telah menulis banyak syair dapat disebut penyair? Kendati ini paradoksal, keempat dari kami juga memenuhi kriteria itu. Sejak SMA puisi saya banyak di muat di media, walaupun dulu lebih banyak yang  belum atau tidak dipublikasikan. Kalau kini selalu ada di media sosial.

Boleh kita sandingan, Sobat Adri punya berapa ribu karya puisi dan saya punya berapa ribu karya pula. Mari, kita hitungan-hituangan kalau parameternya ini. Sampai kini, saya masih hampir tiap hari menulis puisi. Semoga Sobat Adri juga demikian: pada hari senja kita terus menulis puisi dan tidak sekadar bernostalgi dengan produktifas masa silam.  Kalau mau ukuran penyebutan kepenyaiaran adalah kwantitas.

Sebaliknya jika ukuran kualitas, “kemenangan” karya keempat kami sudah membuktikan kualitas kami. Penilaian Muchtar Lubis yang mewakili resmi Horizon menambah kuat soal nilai kualitas itu. Lagi pula Dewan Juri Lomba Puisi Radio ARH bukanlah seniman-senimanan atau abal-abal.  Para Jurinya adalah para budayan terhormat:  Tuti Herawati, Taufik Ismail dan Remy Sylado. Pesertanya juga bukan “penyair baru jadi.” Ada banyak ternama di sana. Ketika mengetahui hasil pemenangnya, Mochtar Lubis pun takjub. “Kita harus bergembira melihat betapa puisi orang muda kita dapat berbicara begini jelas dan jernih tentang keresahan bangsa kita hari ini,” kata Muchtar Lubis.

Perkara Sobat Adri tak ikut bangga dan tak sependapat dengan Mochtar Lubis, itu urusan Sobat Adri.

8.  Sebelumnya saya pernah mendengar kabar-kabar angin, ada yang mendedah kenapa puisi keempat dari kami sampai dapat dimuat (bukan “termuat” istilah Sobat Adri) di majalah Horizon. Kala itu Sobat Adri dkk menikai belum layaklah orang semacam keempat kami karyanya dimuat di majalah sastra berwibawa satu-satu itu. Alasannya bermacam-macam, antara lain yang utama kami belum lagi menjadi penyair (kecuali Eka Budianta). Jadi lantaran kami bukan penyair, tak layaklah karya-karya kami dimuat di majalah sastra yang bergengsi itu. Hanya orang semacam Sobat Adri dan konco-koncolah yang sudah pantas karya di muat di Horizon.

Atas kabar-kabar tersebut saya sebelumnya sama sekali tidak terpusingkan. Saya tidak ikut pro dan kontrak. Saya pun tak terobsesi untuk dikatagorikan sebagai “penyair.” Mau dicantumkan atau tidak sebagai penyair di buku semacam “Apa dan Siapa Penyair” pun saya gak memikirkankan. Tapi reaksi Sobat Adri terhadap tulisan Bung Heryus mengebah saya untuk menanggapinya.       

Pertama, ada nada “rasis” dari Sobat Adri terhadap para penulis yang bukan dari konco-konco dan lingkungan dalamnya sendiri untuk mengukur seseorang itu penyair atau bukan. Cuma orang-orang yang sudah dikenalnya dengan baik yang boleh dan bisa disebut penyair. Di luar itu tak layak, tanpa penjelasan yang terbuka. Ini jelas rasis. Tentu sebagai orang yang sudah berkecimpung lama di bidang kesenian, khsususnya kepenyairan, munculnya sikap rasis Adri sangat kami prihatinkan sekaligus sangat mengecewakan kami.

Kedua, bagi saya tulisan sobat Adri menegaskan memang ada pihak yang kala itu kontrak terhadap pemuatan karya kami berempat di Majalah Horizon. Tanpa alasan rasional. Dan itu perlu diluruskan.

Ketiga, tanggapan saya bukan lantaran kami, setidaknya saya, mau dimasukan ke dalam claster penyair atawa bukan, tapi saya mau menempatkan argumentasi proposional dan kuat ikhwal parameter kepenyairan seseorang. (***)

     Jabat erat, Sobat Adri.

    Tabik.

 

 

Jakarta, 31 Mei 2023.


Post a Comment

0 Comments