1. Pencantuman dan tidak mencantumkan nama empat orang (Eka Budianta, Heryus Saputro,
Muchwardi Muchtar, dan saya) sebagai penyair atau bukan penyair, sama sekali
bukan perkara keempatnya sekadar pemenang Lomba Penulisan Puisi Radio ARH
belaka, tapi memang benar-benar menyangkut penyebutan keempatnya sebagai
penyair atau bukan.
Kalau dulu, dan sampai sekarang sekarang, Sobat Adri, tak
berkenan menyebut kami berempat sebagai penyair, tentu itu sepenuhnya hak Sobat
Adri. Tapi bagi kami berempat, setidak bagi saya pribadi, dari parameter
apapun, sejak waktu itu, tak dapat dinafikan kami sudah melakukan pekerjaan penyair.
Perkara Sobat Adri tak mau mengakuinya, itu masalah Sobat
Adri sendiri. Dengan sudut pandang itu, masyarakat, khusus di dunia sastra,
dapat dan bebas menilai kok di mana posisi
Sobat Adri dalam pandangan kepenyairan terutama kepada kami
berempat. Kalangan sastra dapat menilai,
adakah Sobat Adri cuma bersuka hati memasukan kawan-kawannya, kenalan dan
lingkungan sendiri sebagai penyair, sedangkan di luar itu dengan berbagai dalih
menolak menyebut orang bukan di lingkarannya sebagai penyair. Biar khalayak,
terutama masyarakat sastra, yang memberi penilaian.
2. Siapakah penyair itu? Jelas kok maknanya: orang yang
menulis syair/sajak/puisi. Ketika kami mengirim naskah ke Panitia Lomba
Puisi Radio ARH, jelas kami menulis
syair/sajak/puisi. Bukan ngupil.
Apakah orang yang cuma kadang-kadang menulis puisi, bukan
penyair? Tergantung persepsi masing-masing. Kala itu pun kami sejatinya sudah
banyak menulis puisi, baik yang dipublikasikan maupun ttidak publikasikan. Dan
sampai sekarang pun kami bereempat masih terus menulis puisi. Di mana-mana.
Dari di buku sampai media sosial. Saya sampai sekarang masih menulis, termasuk
puisi, hampir setiap hari. Tapi kalau
Sobat Adri tetap tidak berkenan menyebut kami penyair lantaran kami cuma
dinilai sakadar peserta lomba menulis puisi Radio ARH, saya kembali lagi kepada
hak pribadi Sobat Adri.
3. Sunggih sangat aneh, Sobat Adri mempersoalkan pemuatan
empat karya dari keempat kami di majalah Horizon, “bukan kiriman penulis yang
bersangkutan.” Sejak kapan karya seorang penyair yang dimuat di sebuah majalah
(sastra) harus disertai ukuran “perlu dikirim sendiri oleh penulisnya?” Kalau
tidak dikirim oleh penulis, tidak dianggap atau tidak diakuai sebagai karya
sastra? Memang Sobat Adri tidak langsung menyatakan demikian, tapi kalimatnya
jelas bermakna, hanya karya yang dikirim langsung oleh penyairnya yang layak
diperhitungkan sehingga penciptanya juga dapat dikatagorikan penyair.
Bagi saya pandangan ini pandangan, maaf, yang jelas naif,
kalau tak mau disebut sesat. Darimana pun asalnya, dan bagaimana pun caranya,
setelah sebuah karya dimuat atau ditayangkan sah sebagai bagian dari media
bersangkutan. Tak ada hubungannya sama sekali dengan yang mengirim
langsung atau bukan dikirim langsung oleh “penyair”.
4. Apakah Sobat Adri tak faham, begitu banyak karya yang
dikirim langsung orang yang menamakan dirinya penyair, ditolak atawa tidak
pernah dimuat oleh media yang bersangkutan? Saya pernah menjadi redaktur seni
budaya harian berwarna pertama di Indonesia yang lantas dibredel, Prioritas.
Kala itu banyak karya yang kami tolak, bahkan orangnya tetap kami anggap
penyair.
Bagaimana status
orang yang karya ditolak itu dalam ukuran Sobat Adri? Apakah mereka bukan
penyair, tetap penyair kalau karyanya pernah dimuat di tempat itu atau tempat
lain.
5. Begitu pula manakala dengan rada nyinyir Sobat Adri
menjelaskan pemuatan keempat karya kami cumalah sebagai “contoh atau
kelengkapan tulisan Muchtar Lubis atas catatan kebudayaan di majalah yang pimpinan
umumnya Muchtar Lubis.”Memang kalau pemuatan karta-karya tersebut sebagai
kelengkapan dari tulisan Mochtar Lubis, lantas menurunkan kadar kesastraannya
sesuai pandangan Sobat Adri?
Sama sekali tidak. Karya itu tetap karya sastra yang utuh.
Justeru bagi kami catatan Mochtar Lubis itu malah memperkuat penilaian
karya-karya kami tersebut memang layak
buat di majalah Horizon. Sudah lolos dari kurasi seorang penanggung jawab
tertinggi di Horizon kala itu. Bukan karya kaleng-kaleng. Ingatlag lho, karya
kami yang dimuat di Horizon utuh, tanpa dipenggal,dan tanpa diedit.
Karya kami mengambil 5 (lima halaman) full dari 32 halaman
majalah sastra Horizon No 8, Agustus 1979 Tahun
XIV. Ini artinya sekitar 7 persen dari jumlah halaman majalah Horizon
kala itu. Apakah pemakaian jumlah halaman majalah Horuzon sebanyak itu cumalah
contoh dan bukan karya-karya yang dipandang penting oleh majalah Horizon.
Masihkah fakta ini tidak bermakna penulisnya sebagai
penyair? Bukankah ini sebuah pengakuan yang terang benderang dan gamblang
terhadap karya-karya kami? Bukankah Mochtar Lubis sebagai peminpim umum majalah
Horizon langsung atau tidak langsung representatif dari majalah Horizon
sendiri?
Dari masyarakat sastra Indonesia itu? Kalau ada yang
menampik keputusan itu boleh saja dan lumrah. Dalam pers setiap hari terjadi
debat mana berita atau tulisan yang diturunkan atau tidak diturunkan. Namun
setelah berita atau tulisan tersebut diturunkan, itu menjadi pengakuan dari
media yang bersangkutan. Kalau sebelum dimuat, pilihan Muchtar Lubis sebagai
pemimpin umum ada yang tidak sependapat dengan Mochtar Lubis, biasa saja dalam
media. Tak ada yang luar biasa. Tetapi setelah dimuat, jelas melekat sebagai keputusan majalah
Horizon.
Kalau atas kejadian tersebut Sobat Adri tetap menampik
keempat karya kami, monggo saja. Paling bagi kami sebagai catatan kok penolakan
Sobat Adri tidak berdasarkan telaah sastra atau puisi. Misalnya, Sobat Adri
berkesinpulan keempat karya kami itu buruk, karena tidak puitis. Subtabsinya
tak jelas dan sebagainya. Dan jika dibandingkan dengan karya-karya Adri
sendiri, keempat karya kami tak bermutu dan tak layak disebut karya sastra. Itu
lebih dapat kami maklumi ketimbang mencari alasan di balik pemuatan karya-karya
kami di majalah Horizon.
6. Sobat Adri juga menyebut-nyebut pemuatan karya kami di
luar sepengetahun redaktur Horizon waktu itu SDD dan TI (saya menduga yang dimaksud SDD adalah
Sapardi Djoko dan Damono dan TI adalah Taufik Ismail, saya tak faham mengapa
harus disingkat-singkat layaknya berita kriminal), yang bertugas menyeleksi puisi yang dimuat.
Sobat Adri sebagai wartawan, di sini melupakan mekanisme kerja redaksional.
Meskipun belum diperiksa, bahkan walau telah dinyatakan tidak lolos oleh
redaktur bidang, pemimpin redaksi, apalagi pemimpin umum, punya otoritas untuk
menentukan pemuatan dan tidak pemuatan suatu tulisan berdasarkan kewenangan dan
martabatnya.
Tentu Muchtar Lubis mememikiki sepenuhnya hak atau
kewenangan mana naskah yang harus segera diturunkan. Kenapa pula Sobat Adri
mempersoalkannya? Apalah Sobat Adri meragukan integritas dan kehebatan Mocthar
Lubis? Kalau betul Sobat Adri meragukan kehebatan, didikasi dan integritas
kesusastraan Mochtar Lubis, saya tidak dapat berkomentar. Silahkan para
pemangku kepentingan sastra yang menilainya.
Ataukah Sobat Adri malah merasa lebih hebat dari Mochtar
Lubis sehingga memdebatkan keputusan Mochtar Lubis yang tanpa sepengetahuan SDD
dan TI? Kalau memang demikian, kami juga cuma dapat mencatat saja Sobat Adri menempatkan diri lebih
hebat dari Mochtar Lubis.
7. Kembali kepada
parameter apa yang dipakai untuk menentukan seorang penyair atau bukan? Sobat
Adri menyebut puluhan nama yang karyanya dimuat (“bukan termuat,” kata Sobat
Adri), di majalah Horizon, Sastra atau Basis, tetap tidak diakui ya sebagai
penyair/pengarang. Lantas apa dong kriterianya? Apakah seorang baru dapat
disebut sebagai penyair lantaran hidup mati dari syair dan tidak memiliki
pekerjaan lain? Apakah seseorang yang menulis puisi untuk mencari duit, malah
dapat dikatagotikan sebagai penyair? Sebagian besar penyair di Indonesia
mempunyai pekerjaan lain selain penulis puisi, termasuk Sobat Adri sendiri.
Apakah dengan begitu tak layak disebut sebagai penyair?
Apakah kriterianya mau dilihat berapa banyak syair atau
tulisan yang dihasilkannya? Artinya kwantitas karya seseorang dijadikan ukuran
kwalitasnya? Hanya orang telah menulis banyak syair dapat disebut penyair?
Kendati ini paradoksal, keempat dari kami juga memenuhi kriteria itu. Sejak SMA
puisi saya banyak di muat di media, walaupun dulu lebih banyak yang belum atau tidak dipublikasikan. Kalau kini
selalu ada di media sosial.
Boleh kita sandingan, Sobat Adri punya berapa ribu karya
puisi dan saya punya berapa ribu karya pula. Mari, kita hitungan-hituangan
kalau parameternya ini. Sampai kini, saya masih hampir tiap hari menulis puisi.
Semoga Sobat Adri juga demikian: pada hari senja kita terus menulis puisi dan
tidak sekadar bernostalgi dengan produktifas masa silam. Kalau mau ukuran penyebutan kepenyaiaran
adalah kwantitas.
Sebaliknya jika ukuran kualitas, “kemenangan” karya keempat
kami sudah membuktikan kualitas kami. Penilaian Muchtar Lubis yang mewakili
resmi Horizon menambah kuat soal nilai kualitas itu. Lagi pula Dewan Juri Lomba
Puisi Radio ARH bukanlah seniman-senimanan atau abal-abal. Para Jurinya adalah para budayan terhormat: Tuti Herawati, Taufik Ismail dan Remy Sylado.
Pesertanya juga bukan “penyair baru jadi.” Ada banyak ternama di sana. Ketika
mengetahui hasil pemenangnya, Mochtar Lubis pun takjub. “Kita harus bergembira
melihat betapa puisi orang muda kita dapat berbicara begini jelas dan jernih
tentang keresahan bangsa kita hari ini,” kata Muchtar Lubis.
Perkara Sobat Adri tak ikut bangga dan tak sependapat dengan
Mochtar Lubis, itu urusan Sobat Adri.
8. Sebelumnya saya
pernah mendengar kabar-kabar angin, ada yang mendedah kenapa puisi keempat dari
kami sampai dapat dimuat (bukan “termuat” istilah Sobat Adri) di majalah
Horizon. Kala itu Sobat Adri dkk menikai belum layaklah orang semacam keempat
kami karyanya dimuat di majalah sastra berwibawa satu-satu itu. Alasannya
bermacam-macam, antara lain yang utama kami belum lagi menjadi penyair (kecuali
Eka Budianta). Jadi lantaran kami bukan penyair, tak layaklah karya-karya kami
dimuat di majalah sastra yang bergengsi itu. Hanya orang semacam Sobat Adri dan
konco-koncolah yang sudah pantas karya di muat di Horizon.
Atas kabar-kabar tersebut saya sebelumnya sama sekali tidak
terpusingkan. Saya tidak ikut pro dan kontrak. Saya pun tak terobsesi untuk
dikatagorikan sebagai “penyair.” Mau dicantumkan atau tidak sebagai penyair di
buku semacam “Apa dan Siapa Penyair” pun saya gak memikirkankan. Tapi reaksi
Sobat Adri terhadap tulisan Bung Heryus mengebah saya untuk menanggapinya.
Pertama, ada nada “rasis” dari Sobat Adri terhadap para
penulis yang bukan dari konco-konco dan lingkungan dalamnya sendiri untuk
mengukur seseorang itu penyair atau bukan. Cuma orang-orang yang sudah
dikenalnya dengan baik yang boleh dan bisa disebut penyair. Di luar itu tak
layak, tanpa penjelasan yang terbuka. Ini jelas rasis. Tentu sebagai orang yang
sudah berkecimpung lama di bidang kesenian, khsususnya kepenyairan, munculnya
sikap rasis Adri sangat kami prihatinkan sekaligus sangat mengecewakan kami.
Kedua, bagi saya tulisan sobat Adri menegaskan memang ada pihak
yang kala itu kontrak terhadap pemuatan karya kami berempat di Majalah Horizon.
Tanpa alasan rasional. Dan itu perlu diluruskan.
Ketiga, tanggapan saya bukan lantaran kami, setidaknya saya,
mau dimasukan ke dalam claster penyair atawa bukan, tapi saya mau menempatkan
argumentasi proposional dan kuat ikhwal parameter kepenyairan seseorang. (***)
Jabat erat, Sobat
Adri.
Tabik.
Jakarta, 31 Mei 2023.
0 Comments