Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

DEBAT SOAL KEPENYAIRAN: LIMA MENGUAK TAKDIR

Dari kiri: Heryus Saputro, Eka Budianta, 
Arthur John Horoni, Mochwardi Mochtar, 
 dan Wina Armada. Para penyair yang sejak 
 remaja puisinya telah dimuat di majalah. 
 sastra Horizon. 
(Foto: Ist/koleksi pribadi Wina Armada) 


I. Tulisan Heryus Saputra S. di FB:
LIMA MENGUAK TAKDIR

EMPAT PULUH ENAM tahun lalu, persisnya tahun 1977, kami sama hadir di forum sastra Lomba Penulisan Puisi Radio ARH (Arief Rahman Hakim) yang studio dan markas kegiatannya sengaja ditempatkan Gubernur Ali Sadikin sekomplek dengan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Dikomandani penyair/jurnalis Arthur John Horoni, lomba penulisan puisi dengan juri Taufik Ismail, Remy Sylado (alm), dan didukung Toeti Herati Noerhadi (almh) itu menghadirkan empat buah puisi pemenang, masing-masing dan berturut-turut karya Muchwardi Muchtar, Eka Budianta, Heryus Saputro, dan Wina Armada Sukardi.

Uniknya, sejauh ini, kami berlima belum pernah bisa ketemu muka bareng. Juga saat tahun 1979 puisi-puisi pemenang dan 33 buah puisi finalis (plus 3 puisi karya panitia inti) dibukukan dalam tajuk KAKILANGIT Puisi-Puisi Tempe yang menghebohkan jagat sastra Indonesia saat itu, karena Pemimpin Redaksi Mochtar Lubis (alm) mencemplungkan 4 puisi pemenang itu sebagai bagian dari isi Majalah Sastra Horison yang dipimpinnya, sementara (konon) sebagian besar redaktur inti Horison lainnya TIDAK SETUJU, hi...hi...hi...!

Lepas dari suka atau tidak suka ihwal hak veto Mochtar Lubis menyertakan puisi-puisi kami di Horison, kami sendiri nyaris seperti orang tak saling kenal. Bahkan Bang Arthur, Eka, Saya, dan Wina ... belum pernah sekalipun ketemu muka, sampai siang tadi, 30 Mei 2023, kami berlima (alhamdulillah) bertemu muka di  CITOS, Jakarta Selatan.

Kami tertawa, menangis bareng, merancang program ke depan sebelum menikmati Soto Betawi dengan segenap haru dan 'dendam'.

'Dendam'? Ya, 'dendam', karena selain Eka Budianta, kami 3 pemenang lomba penulisan KAKILANGIT Puisi-Puisi Tempe tak tercantum di buku-buku direktori ihwal jejak kepenyairan di Indonesia.

Bahkan di buku Apa Siapa Penyair Indonesia cetakan kedua (revisi dari cetakan pertama) tahun 2018, yang digarap para editor (plus para co-editor dan para kurator) andal dan diyakinkan (kepada pembaca) bahwa kesemua mereka amat sangat faham peta kepenyairan di wilayah kerja masing-masing, tetap saja ... nama MUCHWARDI MUCHTAR dan WINA ARMADA SUKARDI tak tercantum di buku ASPI hasil revisi tersebut.

Keduanya sih tak minta namanya masuk, walau tentu (dengan rekam jejak karya puisi yang.mudah dilacak, jauh sejak sebelum zaman facebook) tak kan juga bisa menolak bila namanya masuk. Cuma saya saja yang gemes... lha.kok nama mereka nggak masuk buku-buku direktori penyair Indonesia, ya..?

"Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang...," ungkap Ebiet G. Ade.

Restiawati Niskala, Yudhistira Massardi, Noorca M. Massardi, Bambang Priyono Soediono, Mas Dharnoto, Adri Darmadji Woko, Arief Joko Wicaksono, Yahya Andi Saputra, Maman S Mahayana, Ibnu Wahyudi, Benk Wahyu, Sutardji Calzoum Bachri, Untung Hadi Makalidirdja, Indra N Persada, Kurniawan Junaedhie, Kek Atek, Uki Bayu Sedjati, Sam Mukhtar Chaniago, Kasdi Kelanis, Acep Zamzam Noor, Butet Kartaredjasa, Harry Tjahjono, Ahmadun Yeha, Rida Liamsi, Supriyanto Martosuwito, Matt Bento, Akhmad Sekhu Full,  Ariyani Isnamurti, KP Hardi Danuwijoyo.

2. Tanggapa Adri Darmaji Woko atas tulisan Heryus

Bukan hanya dua nama yang Anda katakan tidak disebutkan/dimuat dalam direktori penyair, Bang Heryus Saputro Samhudi . Saya kira direktori/apa siapa bukan mencatat nama yang kebetulan menjadi pemenang lomba menulis puisi. Namun, mencatat nama-nama penyair yang memang dikenali sebagai penulis syair atau sastrawan.

Seingat saya, puisi pemenang lomba menulis puisi Radio ARH yang dimuat di majalah Horison itu bukan kiriman penulis yang bersangkutan. Namun, sebagai contoh atau kelengkapan tulisan Mochtar Lubis atas catatan kebudayaan di majalah yang pimpinan umumnya Mochtar Lubis. Jadi, saya pun maklum kalau SDD dan TI menolak atau merasa tidak tahu menahu soal pemuatan puisi yang dikirimkan ke majalah tersebut, di mana mereka keduanya ketika itu menjadi redaktur puisi yang berhak menerima/menyetujui/memuatkan karya penyair yang lolos seleksi.

Tidak semua penulis puisi itu dipandang sebagai penyair. Walaupun karya mereka dimuat (bukan termuat) di majalah sastra berpengaruh dan satu-satunya di Indonesia kala semana. Bahkan puluhan nama penyair majalah Horison, Sastra, Basis, dan lainnya tidak masuk dalam direktori/apa siapa pengarang Indonesia. (**)

 

Bersambung…



Post a Comment

0 Comments