Wina Armada Sukardi. (Foto: Istimewa) |
TELAH bertahun-tahun setelah sholat subuh pada hari Minggu,
di mesjid kami dilanjutkan dengan ceramah atau tausiah oleh Pak Ustadz Satari
Mar’uf, ketua pengurus Dewan Mesjid
kami. Setelah ritual sholat subuh, para
jemaah mundur beberapa shaf, biasanya ke shaf kelima atau keenam. Sedangkan Pak
Ustadz kemudian duduk di kursi mimbar yang memang khusus dibuat untuk acara
ini.
Mimbar diletakan tiga shaf kosong di hadapan para jemaah.
Atau shaf kedua dari depan. Mimbarnya pendek sehingga sesuai dengan tinggi
badan yang duduk di kursi.
Acara ini, menurut Pak Ustadz sendiri, pertama-tama untuk
silahturahmi para jemaah. Kemudian buat saling mengingatkan dan berbagi ilmu.
Biasanya tousiah berlangsung sekitar kurang lebih 30 menitan. Para jemaah yang duduk santai
menyimak dengan cermat yang dikemukakan
Pak Ustadz.
Di luar materi tausihanya, ada hal yang yang juga menarik. Ketika Pak Ustadz sedang menguraikan
bahan pembicaraan, para jemaah dibagikan
boks kertas kartun berisi kue. Biasanya isinya tiga macem. Sekali-kali,
jika ada yang menyumbang, jumlah dapat menjadi enam macam.
Selain dibagi boks panganan, kami disuguhi minum teh panas
manis. Bagi jemaah yang tidak minum air teh manis, boleh pilih air putih.
Selama pembagian makan dan minum, “ceramah” tetap berjalan. Tak ada yang saling
mengganggu. Sekali-kali penceramah malah mengatakab, ”Ayo, kita minum dulu
suguhanya!”
Sebelumnya, dalam
beberapa selingan tausiahnya, Pak Ustadz menjelaskan selain urusan-urusan
aqidah dan ibadah, umat Islam juga diajarkan untuk memperhatikan urusan-suruan
dunia. Dan untuk urusan dunia ini, kata Pak Ustadz, manusia diberikan
pengetahuan apa yang baik bagi manusia itu, dan atau kelompoknya. Pembagian
snack dan minuman adalah bagian dari urusan dunia agar kita juga dapat merasa
senang.
Demikianlah sudah berlangsung lama setiap minggu ba’da sholat
subuh, di mesjid kami diadakan tausiah dengan juga menyajikan suguhan pangan
snack. Biasanya jemaah hanya minum saja, sedangkan boksnya dibawa pulang.
Jadi, ketika pulang sebagian besar jemaah membawa pulang
“oleh-oleh.” Dari raut wajah dan gestur tubuhnya kentara para jemaah bersuka
cita membawa makanan dari mesjid, termasuk hamba ini.
Dalam kebudaayaan orang Indonesia, membawa “oleh-oleh” atawa
“berkat” dari suatu acara, merupakan
kebiasaan atau tradisi yang kuat. Walaupun “oleh-oleh” atau “berkat” yang
dibawa sebenarnya dapat dibeli dengan mudah, baik kesediaan maupun harganya,
tapi buah tangan itu mempunyai nilai yang khas yang menyenangkan keluarga yang
menerimanya. Maka para jemaah pun membawa pulang boksnya demgan senang hati.
Adapun minumnya ketika ke luar dari mesjid, pengurus mesjid
sudah menyediakan petugas yang membawa katong plastik besar untuk tempat bekas
minuman. Para jemaah membawa minumannya masing-masing waktu pulang dan
nenempatkanya ke kantong plastik itu. Dengan demikian mesjid tetap bersih.
Memang acara ini bukanlah bagian dari kewajiban atau sunah
dalam sholat subuh, tapi merupakan kegiatan tersendiri yang memberikan
kemanfaatan buat jemaat. Sifatnya juga sukarela dan elastis. Jika setelah
sholat subuh, kita ada keperluaan lain, kita boleh tidak ikut acara ini. Bebas
saja. Bahkan kalau kita tidak ikut acaranya, tapi mau bawa pulang berkatnya
juga boleh….
Oh ya, tentu
ketika bulan puasa, kegiatan ibi sementara ditiadakan.
T a b i k.*
Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar
Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi.
0 Comments