Wina Armada Sukardi. (Foto: Ist/koleksi pribadi) |
A. Pengantar
Pertanyaan kenapa advokat, atau
yang di masyarakat luas lebih populer disebut pengacara, terkesan banyak yang
berasal dari etnis atau suku Batak? Dalam pergaulan sehari-hari sering dijawab,
“Karena orang Batak memang merupakan suku yang terbiasa banyak bicara!” Jawaban
ini tidak cukup kuat, lantaran banyak juga suku lain di Indonesia yang juga
cukup memiliki kebiasaan banyak bicara, tapi suku itu tak begitu banyak
memberikan konstribusi jumlah yang berprofesi sebagai advokat.
Demikian juga ada yang menjawab
lantaran suku Batak memiliki tatanan sosial sosial yang lebih longgar dan
demokratis ketimbang suku lainnya, karena di Batak tidak dikenal strata sosial
yang ketat. Jawaban ini pun kurang kuat. Suku Batak justeru memiliki jalinan
struktur sosial yang ketat yang membuat warganya tidak dapat berperilaku
sesukanya.
Sistem dalihan natolu yang
terkenal yang berlaku di tanah Batak, misalnya, merupakan sistem kekerabatan
yang rumit yang mengharuskan warga Batak mematuhinya sehingga perilakunya juga
tak boleh bertentangan dengan sistem nilai tersebut.
Prof. Ihromi, seorang antropolog
budaya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), dahulu semasa hidupnya
bahkan pernah menyebut, kenapa masyarakat Batak banyak merantau, karena
struktur sosial di tanah Batak sedemikian ketat dan “mengekang,” sehingga para
pemudanya memilih menjadi perantau ke kota besar. Dengan demikian, argumentasi kenapa suku
Batak terkesan banyak yang menjadi advokat atau pengacara karena alasan sistem
sosial di Batak yang longgar tanpa stratifikasi sosial, tak cukup kuat pula.
Oleh lantaran itu, perlu dicari
jawaban yang lebih valid. Tulisan ringkas ini mencoba mencari jawaban itu dari
sudut antropologis.
Ruang lingkup tulisan ini pun cuma
sebatas tinjauan antropologis saja. Tulisan ini tidak membanding-bandingkan
dengan sudut pandang aspek atau ilmu pengetahuan lain, seperti peninjauan
sosiologis atau demografis dan lainnnya.
Perlu digarisbawahi, tinjauan dari
aspek antropologinya pun tidak didasarkan pada teori-teori yang begitu banyak
bertebaran. Namun hanya membahas potret antropologi suku Batak dan kaitannya
dengan kemungkinan mengapa terkesan banyak Suku Batak menggeluti profesi
advokat.
B. Kwantitatif dan Kesan
Pertanyaan pertama yang harus
diajukan, berapa sebenarnya jumlah advokat dari suku Batak yang ada di seluruh
Indonesia? Lalu berapa pula jumlah
seluruh advokat di Indonesia, sehingga dapat ditarik berapa prosenkah suku
Batak yang berprofesi advokat dibandingkan jumlah seluruh advokat di Indonesia?
Ternyata untuk menjawab hal ini saja, kita tidak memperoleh data yang pasti,
apalagi akurat.
Terakhir terdapat tidak kurang
dari 12 organisasi advokat. Ada beberapa organisasi advokat yang memakai nama
sama. Ada empat organisasi advokat yang memakai nama sama, Persatuan Advokat
Indonesia (Peradi). Sedangkan yang memakai nama sama Kongres Advokat Indonesia
(KAI) ada tiga. Ditambah organisasi-organisasi yang lama seperti Ikadin,
Peradin dan lainnya. Belum lagi organisasi advokat yang baru lahir yang jumlah
anggotanya tak seberapa.
Dari semua organisasi advokat ini
belum dapat diperoleh data berapa jumlah advokat yang berasal dari suku Batak.
Hal ini disebabkan organisasi-organisasi advokat yang ada tidak menerapkan
pencatatan anggotanya berdasarkan suku.
Demikian pula di Pengadilan Tinggi
tiap provinsi, data itu tidak ada. Sesuai peraturan yang berlaku, sebelum dapat
praktek menjadi advokat, calon advokat harus lebih dahulu dahulu disumpah di
Pengadilan Tinggi (PT) mewakili Mahkamah Agung (MA). Setelah itu, Pengadilan
Tinggi bakal mengeluarkan Berita Acara Sumpah (BAS). Dengan demikian seharusnya
setiap Pengadilan Tinggi memiliki catatan lengkap baik secara kuantitatif
maupun demografi dari para advokat yang disumpahkanya. Nyatanya Pengadilan cuma
memiliki daftar advokat yang pernah disumpah pada periode penyumpahan tanpa
keterangan apapun. Rekap dari jumlah advokatpun keseluruhan tidak dapat
diperoleh dari tiap Pengadilan Tinggi.
Dengan tidak adanya data lengkap
suku-suku yang menjadi advokat, sangat sulit menyatakan suku Batak secara kwantitatif merupakan
pemegang profesi advokat terbesar di
Indonesia.
Dosen dan advokat Luhut
Pangaribuan, juga meragukan suku Batak merupakan pemegang jumlah tertinggi yang
berprofesi advokat dibanding suku lain. Selain tidak memiliki data, Luhut
Pangaribuan juga melihat tidak ada
faktor pendukungnya.
Menurut Luhut Pangaribuan,
pandangan suku Batak merupakan pemegang profesi advokat terbesar, masih berupa
“kesan” saja, tapi belum tentu yang sebenarnya.
Memang baru dalam dua dekade
terakhir ini saja, “kesan” profesi advokat didominasi suku Batak. Sebelumnya,
asal muasal suku yang berprofesi advokat masih relatif merata. Memang sudah ada
Adnan Buyung Nasution, Timbul Thomas
Lubis, dkk dari suku Batak, tetapi juga
ada Muchtar Kusuma Atmadja, Nono Anwar
Makarim, Sunardi P, Sidharta Gautama dan sebagainya. Beberapa advokat suku Batak
yang kemudian kini terkenal, sebelumnya pernah bekerja di law firm atau kantor advokat yang bukan berasal dari suku Batak.
Setelah media komunikasi marak,
terutama pasca reformasi, para advokat suku Batak mulai menyeruak ke permukaan.
Gaya, kasus-kasus yang ditangani saling berhadapan satu sama lain, banyak
posisi sebagai advokat suku Batak yang ditunjuk dari sisi polisi, membentuk
“kesan” sangat kuat suku Batak memberikan konstribusi yang signifikan terhadap
profesi advokat. Inilah yang menimbulkan impresi suku Batak merupakan suku yang
paling banyak yang melakoni profesi advokat.
“Kesan” kuat dan mendalam inilah
yang melatar belakangi penulisan ini.
C.
Komposisi dan Sejarah Suku Batak
Suku Batak merupakan suku bangsa
Indonesia terbesar ketiga. Saat ini ditaksir populasi suku Batak di seluruh Indonesia mencapai 9,5 juta.
Dari berbagai penelitian arkeologi,
dapat diketahui, orang yang berbahasa austronesia dari Taiwan telah melakukan
migrasi dan berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun
lalu, yaitu pada jaman batu muda (Neolitikum).
Namun nyatanya sampai kiwari
(dewasa ini) belum pernah ditemukan artefak jaman Neolitikum di wilayah Batak.
Dari sini muncul prediksi nenek moyang suku Batak baru bermigrasi ke Sumatra
Utara pada jaman logam.
Sekitar abad keenam di pesisir
Sumatera Utara sudah terdapat pusat
perdagangan, terutama perdagangan kapur barus. Komoditi ini diekspor dari
Sumatera utara karena dianggap kwalitas kapur barus yang ada di daerah ini
memiliki kwalitas yang tinggi. Perniagaan ini dikuasai oleh pedagang-pedagang
asal India yang lebih dahulu datang ke Sumatera Utara. Oleh sebab itu, diduga
adanya warga Sumatra Utara dan bahkan kampung “keling” yang bercirikan fisik
India berkembang dari keadaan jaman ini.
Sekitar abad kesepuluh, kerajaan
Sriwijawa sempat menyerang sebagian Sumatera Utara dan berhasil menguasai
daerah itu. Para pedagang asal Minang sejak itu mulai mengambil alih
perdagangan kapur barus. Sampai sekarang masih banyak keturunan Minang di
Sumatera Utara, walaupun tetap menjadi salah satu suku minoritas.
Kendati begitu, sampai kiwari asal
usul dari suku batak sendiri masih menjadi perdebatan. Sebab ada yang
mengatakan nenek moyang bangsa Batak adalah dari Pulai Formosa (Taiwan),
Indochina, Mongolia, dan Mizoran.
Dalam pergumulan sejarah suku
Batak tumbuh banyak sekali kerajaan-kerajaan. Tak heran sampai kini di suku
Bataklah terdapat paling banyak Radja.
Kerajaan-kerajaan ini dulu
memiliki otoritas yang luas terhadap warganya. Mereka memiliki aturan-aturan
yang wajib dipatuhi oleh warganya.
Sewaktu masa penjajahan,
pemerintah Belanda pernah memberikan konsensi kepada Cong Afi, seorang saudagar
keturunan etnis Cina, untuk mengatur perdagangan dan sistem hukum sendiri. Pada
saat itu Cong Afi memasukan tenaga kerja keturunan etnis Cina untuk menjadi
tenaga kerja di perkebunan sawit. Tenaga kerja ini umumnya diambil dari
kalangan narapidana yang ada daerah seberang (Cina). Etnis Cina inilah yang
kemudian turun menurun menjadi warga Sumatera Utara sampai sekarang.
Sebelumnya pemerintah Belanda juga
telah banyak mengangkut orang dari Jawa untuk mengerjakan proyek-proyek
penjajah di Sumatera Utara. Para pekerja keturunan Jawa itu turun menurun
tingga di Jawa. Dari sinilah kemudian muncul istilah-istilah “Pujakusima” atau
Putera Jawa Kelahiran Sumatera dan sebagainya.
Di Sumatera Utara, suku Batak
mendiami beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi,
Tapanuli Utara, dan Asahan. Sistem kekerabatan Suku Batak terbagi atas enam
suku besar: Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing.
Setiap “suku besar” memiliki ciri
khas nama marga. Tentu sebuah “suku besar” itu memiliki banyak marga. Fungsinya
sebagai tanda kekerabatan atau persaudaraan.
Orang Batak menarik garis
keturunan dari pihak Bapak (patrilineal). Walhasil, dengan sendirinya marga
tersebut juga berasal dari bapak.
Sampai sekarang orang Batak dapat
mengetahui mereka berada pada generasi keturunan keberapa. Untuk melacaknya
mereka memakai sistem _Torombo. _ Dari sistem ini orang Batak menemukan seseorang berasal dari garis
keturunan mana dan bagaimana posisinya dalam sebuah marga dapat diketahui
asal-usul seseorang yang berujung Raja siapa dan di mana.
Bersambung…..
Penulis adalah advokat dan pakar
hukum pers.
0 Comments