Ketua SMSI Firdaus. (Foto: Istimewa) |
“Pengesahan RKUHP itu dinilai oleh Serikat Media Siber
Indonesia (SMSI) terkesan dipaksakan untuk ditetapkan. SMSI yang beranggotakan sekitar 2.000
perusahaan pers siber akan menggungat pengesahan KUHP melalui Mahkamah
Konstitusi (MK),” tutur Ketua SMSI Firdaus melalui Siaran Pers yang diterima
Redaksi TangerangNet.Com, Jumat (9/12/2022).
Firdaus mengatakan untuk apa terburu-buru disahkan, sementara sosialiasi kepada
masayarakat belum maksimal, dan banyaknya masukan dari berbagai elemen
masyarakat, terutama Dewan Pers bersama konstituennya, yang belum terakomodir.
“Ini terkesan dipaksakan,
pengesahan RKUHP. SMSI khawatir pasal-pasal yang ada, masih banyak yang
mengancam pelanggaran HAM, Kemerdekaan Pers dan Demokrasi. Beberapa pasal, kami
nilai berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan
pers,” ujar Firdaus didampingi Ketua Bidang Hukum, Arbitrase, dan Legislasi
Makali Kumar SH.
Meski tidak secara detil menyebut pasal per pasal, kata
Firdaus, SMSI merasa khawatir dengan masih banyaknya pasal-pasal dalam KUHP
yang baru direvisi, bertentangan dengan
prinsip dasar hak asasi manusia,
kemerdekaan pers dan demokrasi.
Di antaranya hak atas kesetaraan di hadapan hukum dan
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi dan hak atas
kebebasan beragama atau berkeyakinan, serta kebebasan berpendapat dan
berekspresi.
“Pada prinsipnya, SMSI mendukung pembaruan hukum pidana.
Namun semangat kodifikasi dan dekolonialisasi dalam UU KUHP ini. Jangan sampai
mengandung kriminalisasi dan mereduksi hak-hak masyarakat, termasuk kebebasan
pers,” jelas Firdaus.
SMSI menyayangkan keputusan DPR bersama pemerintah, yang
terkesan memaksakan untuk segera ditetapkan. Para wakil rakyat dinilai
mengabaikan partisipasi dan masukan masyarakat, terutama komunitas pers.
UU KUHP yang baru saja disahkan, dianggap tidak melalui
pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif. Pemerintah dan DPR kurang mengakomodasi berbagai masukan dan
gagasan dari public, termasuk dari komunitas Pers.
“Banyak pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers
dan wartawan. SMSI melalui bidang hukum, sejak awal mengkritisi RUU KUHP
tersebut. Bahkan kami aktif bersama konstituen lain di Dewan Pers, untuk
melakukan berbagai upaya dalam menyikapi RUU KUHP. Supaya, pasal-pasal yang
krusial itu, direvisi, supaya tidak bertentangan dengan HAM maupun UU Nomor 40
tahun 1999 tentang pers,” tuturnya.
Menurut Firdaus, SMSI sepakat untuk terus berjuang
bersama-sama dengan Dewan Pers dan
konstituen lainnya, termasuk elemen masyarakat diluar komunitas pers, dalam
menyikapi pengesahan UU KUHP tersebut, kedepannya. Termasuk mengajukan gugatan
ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Banyak pasal dalam UU
KUHP tersebut sungguh mengancam HAM dan
kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kemerdekaan pers dan kebebasan
berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman.
Pers sebagai pilar demokrasi yang bekerja untuk memenuhi hak
masyarakat atas informasi yang bermakna akan lumpuh karena berhadapan dengan
ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP.
Dalam demokrasi, kemerdekaan pers harus dijaga, salah
satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan.
Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya
dalam mengawasi (social control), melakukan kritik, koreksi, dan memberikan
saran-saran terhadap hal- hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Kemerdekaan pers terbelenggu karena UU KUHP itu dapat
menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika
menjalankan tugas jurnalistik.
Dewan Pers sebagai
lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM)
RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan
wartawan.
Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17
pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya
mencegah kriminalisasi. Namun masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan
DPR tidak memperoleh feedback. Padahal, Dewan Pers juga menyampaikan saran agar
dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.
Ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP, mencederai
regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal
unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi,
kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.
Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan
pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi,
merupakan hak asasi manusia hakiki.
0 Comments