Prof Haedar Nashir dan Prof Abdul Mu'ti. (Foto: Istimewa) |
SISTEM Pemilu di Muhammadiyah semakin teruji–baiknya.
Kemarin (MInggu, 20/11/2022) sore Muktamar Muhammadiyah ke-48 itu pun bisa
berakhir seperti biasanya: sangat damai.
Tidak ada kubu-kubuan.
Tidak ada tim sukses.
Tidak ada kampanye terselubung.
Dan yang jelas: tidak ada serangan fajar. Politik uang sama
sekali tak tercium.
Yang terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pun Anda sudah tahu: Prof Dr Haedar Nashir. Sosok lama yang terpilih kembali.
Untuk periode kedua.
Penulis merenungkannya: mungkinkah sistem Pemilu Muhammadiyah
ini diadopsi untuk Pilpres (Pemilihan Umum Presiden-red) tingkat negara
Indonesia. Kita tahu Pemilu dan Pilpres kita itu terlalu berdarah-darah.
Terlalu mahal.
Terlalu memecah belah masyarakat.
Kita memang bangga pada sistem demokrasi Amerika tapi kita tidak
siap menirunya apa adanya.
Penulis dikirimi foto dari Solo, Jawa Tengah, tempat
Muktamar Muhammadiyah itu berlangsung.
Sidang plenonya dilakukan di auditorium Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Sahabat Disway itu menyebut inilah auditorium terbesar,
termegah, dan terbaik di seluruh Jawa Tengah.
Di situlah peserta muktamar terpusat.
Di luarnya puluhan ribu warga Muhammadiyah menyaksikannnya:
lewat pikiran masing-masing. Mereka datang dari berbagai wilayah dengan status
khusus: penggembira.
Mereka bukan utusan.
Mereka bukan peserta.
Mereka bukan pendukung salah satu calon ketua.
Mereka tidak punya hak suara.
Mereka tidak punya hak bicara.
Mereka hanya punya hak untuk bergembira.
Dan mereka gembira dengan budaya bersih dan damai di
Muktamar Muhammadiyah. Termasuk tahun ini bersih secara fisik: tidak ada sampah
di tengah puluhan ribu masa. Mereka sudah tahu itu. Sebelum berangkat ke Solo
mereka sudah harus membawa misi inilah green Muktamar.
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) memang salah satu
dari empat universitas terbesar milik Muhammadiyah. Tiga lainnya: UMM (Malang),
UMY (Yogyakarta), dan UMSU (Medan). Di luar itu Muhammadiyah masih punya lebih
180 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Bahkan sekarang ini Muhammadiyah sudah punya 6 SMA di
wilayah yang mayoritas masyarakatnya Kristen atau Katolik.
Di Flores.
Di Timor.
Di Papua.
Di pedalaman Kalbar.
Kebanyakan siswa sekolah Muhammadiyah di situ beragama
Kristen/Katolik. Mereka mendapatkan pelajaran agama Kristen/Katolik. Tidak
mendapatkan pelajaran agama Islam. Mereka mendapat pelajaran tambahan
ke-Muhammadiyah-an.
Sekjen Muhammadiyah selama ini Prof Dr Abdul Mu'ti memang
dikenal sebagai pendiri Krismuha –Kristen Muhammadiyah. Ia memang orang Kudus.
Kelahiran Kudus, Jateng. Doktornya dari Adelaide, Australia. Ia mengajar di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menghubungi beliau kemarin siang. "Masih
rapat," katanya. Penulis menghubungi Prof Dr Anwar Abbas. "Lebih
tepat wawancara Prof Mu'ti," katanya.
Maka, penulis wawancara dengan penggembira. Banyak di antara
mereka yang penulis kenal.
Para penggembira itu tidak perlu kemrungsung menanti siapa
yang terpilih jadi ketua umum yang baru. Proses pemilihan pimpinan pusat di
Muhammadiyah sangat rasional.
Setahun yang lalu pun sudah dibentuk panitia pemilihan
(Panlih). Di tingkat pusat. Diketuai Dahlan Rais. Panlih itu mengirim surat ke
pengurus wilayah (tingkat provinsi) seluruh Indonesia. Masing-masing wilayah
diminta mengusulkan 13 nama calon pimpinan pusat.
Yang dicalonkan boleh dari mana saja asal memenuhi syarat
seperti yang diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).
Panlih lantas mentabulasi nama-nama yang diusulkan itu.
Tahun ini terkumpul 200 lebih nama. Pekerjaan Panlih berikutnya: meneliti 200
nama itu. Apakah ada yang tidak memenuhi syarat administrasi seperti disebut
dalam AD/ART.
Ternyata banyak juga wilayah yang mengusulkan tanpa melihat
persyaratan di AD/ART. Setelah diteliti, Panlih mendapatkan 90 nama calon.
Mereka itu dikirimi surat. Harus menyatakan bersedia atau
tidak. Harus mengisi daftar riwayat hidup. Termasuk hidupnya di Muhammadiyah.
Pernah jadi pengurus apa saja.
Jumlah 90-an inilah yang kemudian dibawa ke sidang Tanwir
pengurus pusat Muhammadiyah. Sidang Tanwir adalah sidang yang tingkatnya di
bawah Muktamar. Sidang Tanwir ini berlangsung Jumat lalu, dua hari sebelum
Muktamar.
Majelis Tanwir inilah mengerucutkan 90 nama itu menjadi 39
calon. Caranya sangat demokratis. Masing-masing anggota majelis memilih nama.
Terpilihlah 39 nama dengan suara terbanyak.
Dengan demikian, sejak sidang majelis Tanwir itu, aktivis Muhammadiyah
sudah tahu siapa saja 39 nama calon pimpinan pusat Muhammadiyah mendatang.
Nama 39 orang itulah yang kemarin dibawa ke Muktamar Solo.
Peserta Muktamar tidak memilih ketua umum, tapi memilih 13 nama yang akan
menjadi pengurus pusat Muhammadiyah. Terserah pada 13 orang itu: siapa yang
salah satunya akan menjadi ketua umum. Yang 12 orang mendampingi sebagai
pengurus pusat lainnya.
Kenapa 13 nama? Bukan 17 atau 9 atau 5 atau 45?
Penulis pernah membaca keterangan Prof Dr Din Syamsuddin,
orang Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang pernah jadi Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Katanya: tidak ada alasan khusus. Menetapkan jumlah itu bisa
menimbulkan perdebatan panjang. Apalagi kalau harus dikait-kaitkan dengan
kekeramatan sebuah angka. Justru misi Muhammadiyah harus melakukan
dekramatisasi angka. Maka dipilihlah angka 13. Sekalian jadi lambang
dekramatisasi angka 13 yang dianggap sebagai angka sial.
Dan ternyata Muhammadiyah tidak pernah sial. Sudah sekian
kali muktamar dengan angka itu tetap saja
Kenyataannya 13 orang itu sebenarnya kurang. Pengurus pusat
Muhammadiyah perlu lebih dari 20 orang. Ya ditambah saja. Yang 13 orang itu diberi
wewenang untuk menambahnya.
Pada Pemilu kemarin malam itu lancarnya bertambah-tambah:
pakai komputer. Ini untuk kali pertama pemilihannya pakai e-voting. Memang
belum sepenuhnya elektronik. Belum pakai HP masing-masing. Peserta Muktamar
masih harus maju ke suatu bilik suara. Di dalam bilik itu ada komputer. Peserta
tinggal klik untuk pilih siapa. Beberapa bilik disediakan di bagian depan ruang
muktamar. Cepat sekali. Langsung tertabulasi. Terpilihlah 13 nama.
Acara berikutnya: 13 nama itu bersidang. Singkat sekali.
Penyebabnya: salah satu dari 13 nama tersebut adalah ketua umum incumbent: Prof
Dr Haedar Nashir. Maka aklamasi terjadi. Beliau terpilih kembali. Selesai.
Dengan sistem Pemilu seperti itu, Muhammadiyah bisa
menghindari banyak virus yang merusak organisasi. Termasuk tidak mungkin
terjadi, misalnya, seseorang tokoh tiba-tiba jadi pimpinan, hanya bermodalkan popularitas
atau kekuasaan.
Pernah terjadi seorang tokoh Muhammadiyah dicoret dari
daftar calon. Padahal ia seorang menteri. Ia harus menerima itu. "Padahal
saya ini kurang Muhammadiyah apa?" keluh tokoh tersebut. Ternyata ia belum
pernah menjadi ketua wilayah Muhammadiyah. Atau ketua majelis otonom di
kepengurusan pusat. Ia adalah: Menteri Agama Tarmizi Taher.
Tentu iklim di Muhammadiyah sendiri yang juga memungkinkan
sistem tersebut bisa dilaksanakan. Tertib administrasi dan tertib organisasi di
Muhammadiyah terkenal disiplinnya. Pun dalam hal keuangan. Tidak ada keuntungan
finansial apa pun untuk menjabat ketua umum Muhammadiyah. Juga tidak mendapat
fasilitas. Termasuk tidak bisa ''menjual'' Muhammadiyah dalam Pemilu atau Pilpres.
Maka Muhammadiyah lebih sebagai kumpulan para pengabdi. Tidak terpilih pun apa
susahnya. Mengabdi bisa di mana saja.
Akhirnya siapa yang jadi pimpinan Muhammadiyah sudah
terseleksi secara ketat. Berjenjang. Transparan.
Hampir tidak mungkin terjadi kasus ''salah pilih''. (***)
Senin 21-11-2022
Penulis adalah mantan CEO Suratkabar Jawa Pos Grup.
0 Comments