![]() |
Ninik L. Karim. (Foto: Istimewa) |
“Dengan kata
lain, ada warning system," ujar lulusan Fakuktas Hukum Universitas
Indonesia (FHUI) itu.
Kemal menjelaskan dalam perlindungan hukum terhadap para
pekerja film, ada dua aspek. Pertama perlindungan hukum yang terkait dengan hak
kekayaan intelektual seperti hak cipta dan sebagainya. Sedangkan aspek kedua,
perlindungan hukum terhadap diri para pekerja perfilman.
Menurut Kemal, bidang keahlianya sebagai advokat, hanya
terbatas pada perlindungan hukum perburuhan kepada para pekerja perfilman.
“Untuk yang pertama soal hak kekayaan intelektual, saya tidak mau atau tidak
dapat memberi komentar karena hal itu di luar bidang saya,” terang Kemal.
Pakar perburuhan yang menjadi advokat banyak perusahaan
besar itu menyebutkan dilihat dari jenis pekerjaannya, sudah perlu diperhatikan adanya perjanjian kerja yang mengatur jam kerja ideal bagi pekerja film.
“Idealnya perjanjian
kerja yang pas dan sesuai dituangkan
dalam surat kontrak, waktunya hanya 7 jam sehari atau 40 jam untuk enam hari
kerja, “ tutur Kemal.
Istilah setempat pun, dalam pandangan Kemal, harus
ditafsirkan sesuai dengan keadaan kontrak awal, bukan semata dikaitkan dengan
tempat lokasi pengambilan gambar semata.
Selain Kemalsyah Siregar, dalam webinar itu juga
ditampilkan Niniek L Karim, artis yang
psikolog sosial UI, dan sutrada muda “Hadrah
Daeng Ratu”.
Peran Penting Wartawan
Manakala memberi sambutan dalam webinar ini, Direktur
Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI Ahmad Mahendra mengemukakan peran
penting wartawan dalam perjalanan
perfilman Indonesia.
Mahendra menyebutkan sejarah telah membuktikan peran penting
wartawan film dalam perjalanan panjang film Indonesia.
Mahendra mengatakan berdasarkan pemahaman itulah dia menilai
Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) sangat penting keberadaan dan
keberlangsungannya.
“Karenanya, Direktorat Perfilman Musik dan Media Kemendikbud
Ristek RI memberikan dukungan sepenuhnya atas terselenggaranya FFWI XII tahun
2022 ini,” tutur Mahendra.
Mahendra menyebutkan tema ini sangat penting bagi perfilman
nasional Indonesia. Oleh sebab itu, dia mengusulkan agar tema ini dikembangkan
untuk acara nasional.
Sedangkan, Niniek L. Karim dalam pemaparanya
menyampaikan beberapa hal, di antaranya
soal jam kerja yang tidak sesuai dengan upah yang diterima. Bahkan ia mengangap
hal itu seperti kerja rodi.
“Misalnya seorang figuran film, kerja dari subuh ke subuh
lagi dan hanya dapat honor yang tidak semestinya, Ini kan kerja rodi," ungkap Niniek L.
Karim.
Sutradara Hadrah Daeng Ratu itu lebih menyoroti ke kontrak
kerja. Dia mengungkapkan kontrak kerja dalam perfilman nasional kebanyakan cuma
ditandatangan chief atau pimpinan kelompok. “Itu pun tidak semua kru tahu.
Sementara di surat kontrak tertulis berlaku untuk semua kru,” ujar Hadrah.
Berdasarkan pengalaman Hadrah, sering terjadi pembatalan
sebuah produksi tanpa kompensasi apa-apa. Oleh sebab itu, ia mengajak kepada
para pekerja film untuk mengkampanyekan kesadaran kontrak.
“Harus dikampanyekan lagi kesadaran kontrak kerja antara kru
dan rumah produksi," ucap Hadrah.
Hadrah berpendapat
normalnya kru film bekerja tidak lebih
dari 14 jam. Kalau bekerja lebih 20 jam kemungkinan besar berdampak banyak,
misalnya ada sakit. Selain itu, jika pulang larut malam karena kecapean ada bahaya di jalan.
Selain itu, Hadrah mengungkapkan karena sering terjadi tidak
tepat waktu sehingga jadwal syuting menjadi mundur. “Akibatnya merugikan para
pekerja film,” tuturnya. (*/rls)
0 Comments