![]() |
Rasyid Taufiq. (Foto: Ist/koleksi pribadi) |
ADA yang menarik ketika penulis bertanya langsung ataupun
dari penuturan orang tentang apa pengalaman yang berkesan selama di tanah suci
saudara kita yang menunaikan ibadah haji dan umroh. Penulis menduga sebagian
dari kesan yang mereka ceritakan itu mungkin tidak asing bagi Anda.
"Bagi saya, haji itu melelahkan. Berjalan kaki ketika
thawaf dan sai membuat badan terasa capek. Belum lagi harus berdesak-desakan
dengan begitu banyak orang.
Saat wukuf di Arafah, saya sudah berdoa begitu banyak.
Sampai rasanya semua saya sudah doakan. Akhirnya, penulis merasa bosan dan
bengong saja di bawah panas matahari Arafah".
Ada beberapa lagi cerita yang penulis dapat yang
menggambarkan kesan haji dan umroh seperti di atas. Kalimat persisnya bukan
seperti itu tapi serupa dan senada dengan itu.
Pengalaman yang berkesan sepulang haji dan umroh seperti di atas
meninggalkan pertanyaan yang mengusik pikiran. Mengapa haji dan umroh
dikesankan oleh sebagian jamaah sebagai ibadah yang yang berat, membebani dan
sulit dilakukan?
Semua orang yang menunaikan haji tentu menginginkan meraih
haji yang mabrur. Hanya saja sejauh mana mereka mempersiapkan diri secara
fisik, terlebih lagi secara keilmuan terkait haji? Hanya Allah dan orang itu
yang mengetahui.
Ibadah haji adalah rukun Islam yang istimewa karena
dibanding dengan rukun Islam yang lain, haji
ini paling berat dilakukan. Selain karena ibadah haji merupakan gabungan
antara ibadah fisik dan ibadah materi, haji merupakan satu paket ibadah yang
paling banyak mencakup rangkaian ritual dan juga ibadah yang paling banyak
mengandung makna filosofis dan pesan moral bagi kehidupan kaum muslim, baik
personal maupun sosial.
Agar jamaah dapat menunaikan ibadah haji dan umroh dengan
penuh pemahaman dan penghayatan bahwa mereka sedang melakukan perjalanan ruhani
yang menyenangkan dan tidak beranggapan bahwa haji sebagai ritual yang berat,
membebani dan sulit dilakukan dibutuhkan motivasi menjalankan ibadah haji
dan umroh hanya karena Allah, tidak
untuk hal-hal yang lain, seperti penghargaan manusia atau keuntungan materi
semata. Tapi ikhlas hanya karena Allah SWT.
Menurut Prof Dr Ali Mustafa Yakub dalam bukunya “Mewaspadai
Provokator Haji”, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang
terwujudnya keikhlasan dalam menjalankan ibadah haji. Pertama, seseorang yang
beribadah haji harus sudah merasa berkewajiban untuk menjalankan ibadah haji.
Orang yang belum terkena kewajiban haji, kemudian ia memaksa-maksa untuk pergi
haji, sulit rasanya ia mendapatkan haji yang mabrur. Orang yang beribadah haji
seperti itu biasanya ada faktor lain yang mendorongnya pergi haji, dan faktor
lain itu bukan karena Allah.
Kedua, ia perlu menghayati makna-makna filosofis dan
pesan-pesan moral yang terkandung dalam semua amalan atau manasik haji. Ia
perlu mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah ihram,
thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, melontar jumroh, mencukur rambut, dan lainnya.
Apa akibatnya jika tidak
memahami dan menghayati makna dan pesan haji? Imam Besar Masjid Istiqlal
yang meninggal tahun 2016 lalu itu menyampaikan bisa jadi seorang haji akan
mendapatkan kehampaan dalam menjalankan ibadah haji. Bahkan boleh jadi ia
mempertanyakan hal itu semua. Sebab sebagai suatu ibadah semua amalan itu tidak
semuanya dapat dipahami maksudnya oleh akal manusia.
Apabila seseorang yang sedang berhaji tidak mendapatkan
kesempatan untuk mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah amalan tersebut maka
cukuplah baginya melakukan penyerahan total dan loyalitas mutlak bahwa
amalan-amalan haji yang ia lakukan itu hanyalah semata-mata dalam rangka
memenuhi perintah Allah, kendati ia tidak memahami makna dan pesan haji.
Menginternalisasikan makna dan pesan haji kepada para calon
jamaah menjadi sebuah tantangan tersendiri karena pembahasan haji lebih sering
disampaikan hal-hal bersifat ritual-formalistik seperti definisi, waktu,
syarat, rukun, dan semacamnya.
Memberikan pemahaman keagamaan dalam hal ini ibadah haji
hanya sebatas fiqh menurut Fahmi Howeidi, merupakan pemahaman yang tereduksi hasil logis dari
pendidikan Islam yang bopeng. Sejak dini ladang nalar kita telah ditanami
benih-benih pemahaman yang akhirat oriented atau menarik diri dari gelanggang
dunia demi akhirat.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa haji merupakan
ibadah yang paling banyak mengandung makna dan pesan bagi kehidupan umat Islam
untuk transformasi baik secara personal maupun sosial.
Makna dan pesan dari amalan atau manasik haji yang perlu
dipahami secara akal dan dihayati oleh perasaan calon jamaah haji secara
ringkas sebagai berikut:
Ihram. Pakaian seringkali digunakan untuk menunjukkan
status, pangkat, suku bangsa atau profesi.
Pakaian menjadi faktor pembeda manusia. Dengan pakaian
ihram, manusia melebur dan menembus batas perbedaan tadi. Sehingga tidak ada
lagi aku, kamu atau dia. Yang ada adalah kita.
Pakaian ihram memberikan sentuhan lembut pada hati seseorang
sehingga dia sadar bahwa untuk menjadi tamu Yang Maha Suci maka keadaan diri
harus suci dan bersih dari kesombongan, egois, dan serakah.
Wakuf adalah diam di padang Arafah sambil berdoa, bertobat,
dan berdzikir kepada Allah SWT. Ketika wukuf kita merenung dan bertafakkur agar
dapat mengetahui siapa diri kita? Dari mana? Mau kemana? Kesadaran ini akan
menghantar kita untuk mengetahui kelemahan dan ketidakberdayaan sekaligus tugas
dan tanggung jawab sebagai seorang hamba Allah.
Mabit di Muzdalifah dan Lontar Jumroh. Jamaah mengidentifikasi sifat-sifat buruk yang menjadi sebab tergelincir dalam khilaf dan dosa. Maka dengan melontar jumroh jamaah haji diajak untuk melemparkan sifat-sifat buruk melalui kalimat 'Bismillah Allahu Akbar'.
Thawaf. Kabah adalah simbol keesaan dan keagungan Allah.
Thawaf dimulai dari rukun hajar aswad. Hajar aswad adalah simbol tangan kanan
Allah (yaminullah). Ketika kita berjanji dengan orang lain maka kita akan jabat
tangan kanan orang itu.
Demikianlah ketika kita berthawaf, kita mulai dengan
melambaikan tangan kanan ke arah hajar aswad, kita berjanji kepada Allah untuk
menjadikan Allah yang paling utama dan prinsip kehidupan kita. Semua kecil
kecuali Allah. Bismillahi Allahu Akbar
Sa’i. Ketika kekurangan air, Siti Hajar tidaklah diam. Ia
tidak menyerah dan berhenti berlari sampai tujuh kali. Inilah pesan sikap
optimisme dan kerja keras.
Tahallul. Rambut yang biasanya hitam itu diibaratkan sebagai
doa-dosa yang telah kita lakukan. Mencukurnya simbol menanggalkan doa-dosa dari
diri kita dan komitmen hanya akan melakukan hal-hal yang dihalalkan Allah SWT.
Dengan memahami dan menghayati makna dan pesan
(hermeneutika) haji maka Insya Allah jamaah akan merasakan kenikmatan yang
tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan hajinya akan mentransformasi
kehidupannya baik secara personal maupun sosial. (***)
Penulis adalah Pengajar Pesantren Modern An Nuqthah.
0 Comments