Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Makna Dan Pesan Haji Untuk Transformasi

Rasyid Taufiq. 
(Foto: Ist/koleksi pribadi) 



Oleh: Rasyid Taufik

 

ADA yang menarik ketika penulis bertanya langsung ataupun dari penuturan orang tentang apa pengalaman yang berkesan selama di tanah suci saudara kita yang menunaikan ibadah haji dan umroh. Penulis menduga sebagian dari kesan yang mereka ceritakan itu mungkin tidak asing bagi Anda.

"Bagi saya, haji itu melelahkan. Berjalan kaki ketika thawaf dan sai membuat badan terasa capek. Belum lagi harus berdesak-desakan dengan begitu banyak orang.

Saat wukuf di Arafah, saya sudah berdoa begitu banyak. Sampai rasanya semua saya sudah doakan. Akhirnya, penulis merasa bosan dan bengong saja di bawah panas matahari Arafah".

Ada beberapa lagi cerita yang penulis dapat yang menggambarkan kesan haji dan umroh seperti di atas. Kalimat persisnya bukan seperti itu tapi serupa dan senada dengan itu.

Pengalaman yang berkesan sepulang haji dan umroh seperti di atas meninggalkan pertanyaan yang mengusik pikiran. Mengapa haji dan umroh dikesankan oleh sebagian jamaah sebagai ibadah yang yang berat, membebani dan sulit dilakukan?

Semua orang yang menunaikan haji tentu menginginkan meraih haji yang mabrur. Hanya saja sejauh mana mereka mempersiapkan diri secara fisik, terlebih lagi secara keilmuan terkait haji? Hanya Allah dan orang itu yang mengetahui.

Ibadah haji adalah rukun Islam yang istimewa karena dibanding dengan rukun Islam yang lain, haji  ini paling berat dilakukan. Selain karena ibadah haji merupakan gabungan antara ibadah fisik dan ibadah materi, haji merupakan satu paket ibadah yang paling banyak mencakup rangkaian ritual dan juga ibadah yang paling banyak mengandung makna filosofis dan pesan moral bagi kehidupan kaum muslim, baik personal maupun sosial.

Agar jamaah dapat menunaikan ibadah haji dan umroh dengan penuh pemahaman dan penghayatan bahwa mereka sedang melakukan perjalanan ruhani yang menyenangkan dan tidak beranggapan bahwa haji sebagai ritual yang berat, membebani dan sulit dilakukan dibutuhkan motivasi menjalankan ibadah haji dan  umroh hanya karena Allah, tidak untuk hal-hal yang lain, seperti penghargaan manusia atau keuntungan materi semata. Tapi ikhlas hanya karena Allah SWT.

Menurut Prof Dr Ali Mustafa Yakub dalam bukunya “Mewaspadai Provokator Haji”, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang terwujudnya keikhlasan dalam menjalankan ibadah haji. Pertama, seseorang yang beribadah haji harus sudah merasa berkewajiban untuk menjalankan ibadah haji. Orang yang belum terkena kewajiban haji, kemudian ia memaksa-maksa untuk pergi haji, sulit rasanya ia mendapatkan haji yang mabrur. Orang yang beribadah haji seperti itu biasanya ada faktor lain yang mendorongnya pergi haji, dan faktor lain itu bukan karena Allah.

Kedua, ia perlu menghayati makna-makna filosofis dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam semua amalan atau manasik haji. Ia perlu mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, melontar jumroh, mencukur rambut, dan lainnya.

Apa akibatnya jika tidak  memahami dan menghayati makna dan pesan haji? Imam Besar Masjid Istiqlal yang meninggal tahun 2016 lalu itu menyampaikan bisa jadi seorang haji akan mendapatkan kehampaan dalam menjalankan ibadah haji. Bahkan boleh jadi ia mempertanyakan hal itu semua. Sebab sebagai suatu ibadah semua amalan itu tidak semuanya dapat dipahami maksudnya oleh akal manusia.

Apabila seseorang yang sedang berhaji tidak mendapatkan kesempatan untuk mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah amalan tersebut maka cukuplah baginya melakukan penyerahan total dan loyalitas mutlak bahwa amalan-amalan haji yang ia lakukan itu hanyalah semata-mata dalam rangka memenuhi perintah Allah, kendati ia tidak memahami makna dan pesan haji.

Menginternalisasikan makna dan pesan haji kepada para calon jamaah menjadi sebuah tantangan tersendiri karena pembahasan haji lebih sering disampaikan hal-hal bersifat ritual-formalistik seperti definisi, waktu, syarat, rukun, dan semacamnya.

Memberikan pemahaman keagamaan dalam hal ini ibadah haji hanya sebatas fiqh menurut Fahmi Howeidi, merupakan  pemahaman yang tereduksi hasil logis dari pendidikan Islam yang bopeng. Sejak dini ladang nalar kita telah ditanami benih-benih pemahaman yang akhirat oriented atau menarik diri dari gelanggang dunia demi akhirat.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa haji merupakan ibadah yang paling banyak mengandung makna dan pesan bagi kehidupan umat Islam untuk transformasi baik secara personal maupun sosial.

Makna dan pesan dari amalan atau manasik haji yang perlu dipahami secara akal dan dihayati oleh perasaan calon jamaah haji secara ringkas sebagai berikut:

Ihram. Pakaian seringkali digunakan untuk menunjukkan status, pangkat, suku bangsa atau profesi.

Pakaian menjadi faktor pembeda manusia. Dengan pakaian ihram, manusia melebur dan menembus batas perbedaan tadi. Sehingga tidak ada lagi aku, kamu atau dia. Yang ada adalah kita.

Pakaian ihram memberikan sentuhan lembut pada hati seseorang sehingga dia sadar bahwa untuk menjadi tamu Yang Maha Suci maka keadaan diri harus suci dan bersih dari kesombongan, egois, dan serakah.

Wakuf adalah diam di padang Arafah sambil berdoa, bertobat, dan berdzikir kepada Allah SWT. Ketika wukuf kita merenung dan bertafakkur agar dapat mengetahui siapa diri kita? Dari mana? Mau kemana? Kesadaran ini akan menghantar kita untuk mengetahui kelemahan dan ketidakberdayaan sekaligus tugas dan tanggung jawab sebagai seorang hamba Allah.

Mabit di Muzdalifah dan Lontar Jumroh. Jamaah mengidentifikasi sifat-sifat buruk yang menjadi sebab  tergelincir dalam khilaf dan dosa. Maka dengan melontar jumroh jamaah haji diajak untuk melemparkan sifat-sifat buruk melalui kalimat 'Bismillah Allahu Akbar'.

Thawaf. Kabah adalah simbol keesaan dan keagungan Allah. Thawaf dimulai dari rukun hajar aswad. Hajar aswad adalah simbol tangan kanan Allah (yaminullah). Ketika kita berjanji dengan orang lain maka kita akan jabat tangan kanan orang itu.

Demikianlah ketika kita berthawaf, kita mulai dengan melambaikan tangan kanan ke arah hajar aswad, kita berjanji kepada Allah untuk menjadikan Allah yang paling utama dan prinsip kehidupan kita. Semua kecil kecuali Allah. Bismillahi Allahu Akbar

Sa’i. Ketika kekurangan air, Siti Hajar tidaklah diam. Ia tidak menyerah dan berhenti berlari sampai tujuh kali. Inilah pesan sikap optimisme dan kerja keras.

Tahallul. Rambut yang biasanya hitam itu diibaratkan sebagai doa-dosa yang telah kita lakukan. Mencukurnya simbol menanggalkan doa-dosa dari diri kita dan komitmen hanya akan melakukan hal-hal yang dihalalkan Allah SWT.

Dengan memahami dan menghayati makna dan pesan (hermeneutika) haji maka Insya Allah jamaah akan merasakan kenikmatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan hajinya akan mentransformasi kehidupannya baik secara personal maupun sosial. (***)

 

Penulis adalah Pengajar Pesantren Modern An Nuqthah.

Post a Comment

0 Comments