Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wartawan Harus Cerdas Dan Selalu Skeptis. Bukan Beo

Ilustrasi burung beo.
(Foto: Istimewa/pr.com) 



 Oleh: Nur Hidayat




WARTAWAN selalu skeptis. Dia tidak menerima begitu saja, 100 persen, info yang datang ke padanya. Sekali pun itu berasal dari WHO (World Health Organization atau Organisasi Kesehatan Dunia), misalnya, institusi yang kredibel. Dia segera "mengujinya". Menganalisis. Atau bertanya ke pihak lain, ahli, yang menguasai persoalan yang sama. Membandingkan.

Baru, setelah yakin bahwa yang dikatakan WHO itu benar, dia lalu menyiarkannya. Seluruhnya dalam waktu yang singkat. Tidak boleh lama. Agar bisa begitu, "wartawan harus cerdas". Wartawan yang tidak cerdas seumur hidup yang tetap begitu demikian saja. Tidak kreatif.

"Wartawan itu dituntut harus cerdas, teliti dan telaten, sehingga tidak menjadi alat permainan politik elite di sini," kata pengamat politik dari Universitas Bandar Lampung (UBL) Drs H. Jauhari M. Zailani MSc, di Bandar Lampung. Menurut mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UBL itu, kecerdasan para wartawan juga diperlukan, untuk dapat menyikapi tuntutan dan tarikan kepentingan politik maupun ekonomi dari pemilik atau pimpinan medianya masing-masing.

"Apalagi media massa sekarang telah berkembang menjadi industri yang juga mengedepankan kapital di dalamnya, sehingga bisa saja kepentingan kapital itu lebih utama dibandingkan idealisme sebagai wartawan," kata pegiat Lampung Media Center (LMC) itu pula.

Salah satu wartawan cerdas adalah Patsy Widakuswara. Dia wartawati Voice of America asal Indonesia. Patsy dibebastugaskan dari Gedung Putih, AS, karena mengajukan "pertanyaan kritis" kepada Menteri Luar Negeri AS era Donald Trump, Mike Pompoe.

Usai berpidato, Pompeo terlibat dalam sesi tanya jawab singkat dengan direktur baru VOA, Robert Reilly. Rupanya, Patsy tak puas dengan pertanyaan yang diajukan kepada Pompeo dan berinisiatif untuk bertanya sendiri.

Dia berteriak saat Pompeo hendak berlalu pergi. Lalu, Patsy bertanya tentang apa yang dilakukan Pompeo untuk memperbaiki reputasi AS di seluruh dunia. "Pak Menteri, apa yang Anda lakukan untuk memperbaiki reputasi Amerika Serikat di seluruh dunia," tanya Patsy, mengacu pada kerusuhan massa pendukung Trump di Capitol Hill, 6 Januari 2020.

Pompeo mengabaikan pertanyaan tersebut. Patsy kembali mencecarnya dengan pertanyaan, apakah dia menyesal mengatakan akan ada pemerintahan Trump kedua, sementara "kemenangan Joe Biden terlihat jelas". Lagi-lagi, pertanyaan tersebut tak digubris. Pompeo pergi tanpa memberi sepatah kata pun. 

Sementara itu, melalui akun Twitter pribadinya, Patsy juga mencuit soal momen tersebut. Ia mengunggah video saat percakapan itu terjadi. "Diplomat top bangsa @SecPompeo mengabaikan pertanyaan saya tentang apa yang dia lakukan untuk memulihkan reputasi AS dan apakah dia menyesal mengatakan akan ada pemerintahan Trump yang kedua," tulis Petsy, dikutip dari Twitter, 23 Januari 2021.

Lebih lanjut, usai Pompeo pergi, Patsy bertanya pada Reilly kenapa dia tidak mengajukan pertanyaan yang orang-orang ingin tahu jawabnya. Reilly malah bertanya, siapa Patsy dan mengatakan bahwa Patsy tidak berwenang mengajukan pertanyaan tersebut. Patsy akhirnya dilarang meliput di Gedung Putih.

Supaya aman dari pertanyaan wartawan kritis, banyak pejabat menghindari tanya jawab. Dicegat pun dia akan bersikap sama. Atau cuma bilang, "No comment". Di situ terlihat bodohnya. Di "zaman penjajahan" medsos, pejabat seperti dia akan diserbu bully netizen. Jika masih punya malu, pejabat tadi lebih sae mundur mawon.

Pada 14 Desember 2008 menjadi hari yang tak terlupakan bagi Presiden AS George Walter Bush. Dalam kunjungan mendadaknya ke Irak, ia mendapati 'hadiah' perpisahan dari seorang jurnalis, Muntadhar al-Zaidi, di sana. Berupa lemparan sepatu yang melayang ke arahnya.

Bukan hanya satu, tapi dua alas kaki itu 'terbang' ke arah Presiden AS ke-43, di tengah-tengah acara jumpa pers bersama Perdana Menteri Nouri Al-Maliki. Untung, refleksnya msh baik. Bush mampu menghindari dua lemparan sepatu itu. Lemparan sepatu dianggap sebagai hinaan terburuk dalam budaya Arab. Zaidi dihukum 6 bulan penjara akibat insiden tersebut.

Bantu biaya

AS akan membantu pembiayaan wartawan di luar negeri yang digugat ke pengadilan karena pekerjaan mereka, sebagai bagian dari kampanye mendukung demokrasi. Hal itu diungkapkan Kepala USAID Samantha Power. Power, mantan wartawan, mengatakan Presiden Joe Biden tengah menyusun Global Defamation Defense Fund untuk menangkal upaya membungkam para wartawan. 

"Kami akan membiayai wartawan agar bisa bertahan hidup dari gugatan yang dilakukan para otokrat dan oligarki yang berupaya mematikan usaha mereka," ujar Power.

 "Demokrasi harus bekerja keras saat otokrat semakin cerdas dalam upaya mereka mengendalikan dan memanipulasi warga. Kita harus membantu mendukung media yang bebas dan adil dalam membuat para pemimpin negara lebih bertanggung jawab," ucapnya. 

Di Indonesia tidak ada bantuan dana seperti itu. (***)

 

Penulis adalah pemerhati social dan kebangsaan.

Post a Comment

0 Comments