Ilustrasi burung beo. (Foto: Istimewa/pr.com) |
WARTAWAN selalu skeptis. Dia tidak menerima begitu saja, 100
persen, info yang datang ke padanya. Sekali pun itu berasal dari WHO (World
Health Organization atau Organisasi Kesehatan Dunia), misalnya, institusi yang
kredibel. Dia segera "mengujinya". Menganalisis. Atau bertanya ke
pihak lain, ahli, yang menguasai persoalan yang sama. Membandingkan.
Baru, setelah yakin bahwa yang dikatakan WHO itu benar, dia
lalu menyiarkannya. Seluruhnya dalam waktu yang singkat. Tidak boleh lama. Agar
bisa begitu, "wartawan harus cerdas". Wartawan yang tidak cerdas
seumur hidup yang tetap begitu demikian saja. Tidak kreatif.
"Wartawan itu dituntut harus cerdas, teliti dan
telaten, sehingga tidak menjadi alat permainan politik elite di sini,"
kata pengamat politik dari Universitas Bandar Lampung (UBL) Drs H. Jauhari M.
Zailani MSc, di Bandar Lampung. Menurut mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) UBL itu, kecerdasan para wartawan juga diperlukan,
untuk dapat menyikapi tuntutan dan tarikan kepentingan politik maupun ekonomi
dari pemilik atau pimpinan medianya masing-masing.
"Apalagi media massa sekarang telah berkembang menjadi
industri yang juga mengedepankan kapital di dalamnya, sehingga bisa saja
kepentingan kapital itu lebih utama dibandingkan idealisme sebagai
wartawan," kata pegiat Lampung Media Center (LMC) itu pula.
Salah satu wartawan cerdas adalah Patsy Widakuswara. Dia
wartawati Voice of America asal Indonesia. Patsy dibebastugaskan dari Gedung
Putih, AS, karena mengajukan "pertanyaan kritis" kepada Menteri Luar
Negeri AS era Donald Trump, Mike Pompoe.
Usai berpidato, Pompeo terlibat dalam sesi tanya jawab
singkat dengan direktur baru VOA, Robert Reilly. Rupanya, Patsy tak puas dengan
pertanyaan yang diajukan kepada Pompeo dan berinisiatif untuk bertanya sendiri.
Dia berteriak saat Pompeo hendak berlalu pergi. Lalu, Patsy
bertanya tentang apa yang dilakukan Pompeo untuk memperbaiki reputasi AS di
seluruh dunia. "Pak Menteri, apa yang Anda lakukan untuk memperbaiki
reputasi Amerika Serikat di seluruh dunia," tanya Patsy, mengacu pada
kerusuhan massa pendukung Trump di Capitol Hill, 6 Januari 2020.
Pompeo mengabaikan pertanyaan tersebut. Patsy kembali
mencecarnya dengan pertanyaan, apakah dia menyesal mengatakan akan ada
pemerintahan Trump kedua, sementara "kemenangan Joe Biden terlihat
jelas". Lagi-lagi, pertanyaan tersebut tak digubris. Pompeo pergi tanpa
memberi sepatah kata pun.
Sementara itu, melalui akun Twitter pribadinya, Patsy juga
mencuit soal momen tersebut. Ia mengunggah video saat percakapan itu terjadi.
"Diplomat top bangsa @SecPompeo mengabaikan pertanyaan saya tentang apa
yang dia lakukan untuk memulihkan reputasi AS dan apakah dia menyesal
mengatakan akan ada pemerintahan Trump yang kedua," tulis Petsy, dikutip
dari Twitter, 23 Januari 2021.
Lebih lanjut, usai Pompeo pergi, Patsy bertanya pada Reilly
kenapa dia tidak mengajukan pertanyaan yang orang-orang ingin tahu jawabnya.
Reilly malah bertanya, siapa Patsy dan mengatakan bahwa Patsy tidak berwenang
mengajukan pertanyaan tersebut. Patsy akhirnya dilarang meliput di Gedung Putih.
Supaya aman dari pertanyaan wartawan kritis, banyak pejabat
menghindari tanya jawab. Dicegat pun dia akan bersikap sama. Atau cuma bilang,
"No comment". Di situ terlihat bodohnya. Di "zaman
penjajahan" medsos, pejabat seperti dia akan diserbu bully netizen. Jika
masih punya malu, pejabat tadi lebih sae mundur mawon.
Pada 14 Desember 2008 menjadi hari yang tak terlupakan bagi
Presiden AS George Walter Bush. Dalam kunjungan mendadaknya ke Irak, ia
mendapati 'hadiah' perpisahan dari seorang jurnalis, Muntadhar al-Zaidi, di
sana. Berupa lemparan sepatu yang melayang ke arahnya.
Bukan hanya satu, tapi dua alas kaki itu 'terbang' ke arah
Presiden AS ke-43, di tengah-tengah acara jumpa pers bersama Perdana Menteri
Nouri Al-Maliki. Untung, refleksnya msh baik. Bush mampu menghindari dua
lemparan sepatu itu. Lemparan sepatu dianggap sebagai hinaan terburuk dalam
budaya Arab. Zaidi dihukum 6 bulan penjara akibat insiden tersebut.
Bantu biaya
AS akan membantu pembiayaan wartawan di luar negeri yang
digugat ke pengadilan karena pekerjaan mereka, sebagai bagian dari kampanye
mendukung demokrasi. Hal itu diungkapkan Kepala USAID Samantha Power. Power,
mantan wartawan, mengatakan Presiden Joe Biden tengah menyusun Global
Defamation Defense Fund untuk menangkal upaya membungkam para wartawan.
"Kami akan membiayai wartawan agar bisa bertahan hidup
dari gugatan yang dilakukan para otokrat dan oligarki yang berupaya mematikan
usaha mereka," ujar Power.
"Demokrasi harus bekerja keras saat otokrat
semakin cerdas dalam upaya mereka mengendalikan dan memanipulasi warga. Kita
harus membantu mendukung media yang bebas dan adil dalam membuat para pemimpin
negara lebih bertanggung jawab," ucapnya.
Di Indonesia tidak ada bantuan dana seperti itu. (***)
Penulis adalah pemerhati social dan kebangsaan.
0 Comments