Dr. H. H. Susari, M. A. (Foto: Ist/koleksi pribadi) |
ERA DISRUPSI adalah sebuah era terjadinya inovasi dan
perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan,
dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Perubahan besar terjadi setidaknya
disebabkan oleh adanya revolusi 4.0, perubahan iklim, dan pandemi Covid-19.
Dalam merespon peristiwa besar tersebut, orang memerlukan
cara baru yang lebih inovatif dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari. Orang
yang masih menggunakan cara dan sistem lama dalam menjalankan aktifitas
sehari-hari akan kalah dalam persaingan.
Sebutlah perusahaan Kodak yang didirikan oleh George Eastman
yang bergerak dibidang kamera analog, karena miskin inovasi dan terlambat
membaca peluang bisnis di segmen kamera digital, akhirnya kalah bersaing dengan
rivalnya seperti Casio, Nikon, dan Canon. Demikian juga Nokia, perusahaan
raksasa telepon seluler dunia pada dekade 1990-an sampai 2000-an silam yang
bangkrut karena terlambat melakukan collaborative innovation.
Belajar dari kekalahan perusahaan Kodak dan Nokia, kita
harus mengubah pola pikir dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari agar menang
pada era disrupsi. Mengutip pandangan Prof. Arif Satria, Ketua Umum Ikatan
Cendikia Muslim Indonesia (ICMI) Pusat yang juga Rektor Institut Pertanian
Bogor (IPB), setidaknya kita harus memiliki dua pola pikir baru untuk
transformasi.
Pertama, pola pikir growth mindset, bukan fixed mindset.
Growth mindset diartikan sebagai pola pikir yang selalu berkembang yakni
pemiliknya percaya bahwa kesuksesan bisa didapatkan melalui kerja keras,
dilansir dari Thomas Edison State University.
Pemilik growth mindset biasanya berpikir bahwa kecerdasan
atau bakat hanyalah titik permulaan. Seorang mahasiwa yang mendapat nilai
jelek, apabila ia memiliki growth mindset
akan mengatakan bahwa kalau ia belajar lebih keras lagi maka akan
mendapat nilai maksimal. Namun mahasiswa yang memiliki fixed mindset mengatakan
bahwa nilai yang jelek karena IQ-nya rendah dan penuh keterbatasan.
Kedua, pola pikir future practices, bukan best practices.
Pola pikir best practices hanya akan melahirkan manusia follower, dan terlambat
dalam melakukan inovasi. Sedangkan pola pikir future practices akan mendorong
lahirnya inovasi-inovasi baru dengan cepat dalam merespon perubahan yang
terjadi.
Best practice dinilai tidak terlalu dibutuhkan dan kurang
cukup dalam menghadapi situasi saat ini. Sebaliknya, future practice
menciptakan ruang untuk eksplorasi. Visi praktek masa depan tersebut adalah
untuk mendorong perubahan dan membayangkan bentuk masa depan sehingga dapat
menciptakan banyak peluang. Contohnya, penemuan aplikasi berbasis digital
seperti Facebook, Alibaba, dan Uber yang telah mendorong inovasi lain untuk
ditemukan.
Dengan demikian, perubahan besar yang terjadi akibat
revolusi 4.0, perubahan iklim, dan pandemic Covid-19 menuntut kita untuk
meninggalkan pola pikir fixed maindset dan best practices agar menang dalam
persaingan. (***)
Penulis adalah Kepala Balai Diklat Keagamaan Jakarta.
0 Comments