Sajian es krim Ragusa aneka rasa. (Foto: Ist/Nur Hidayat) |
Mengapa cuma satu tempat? Tidak punya cabang? Padahal
rasanya sedap lho. Nikmat. Ada yang bilang, pemiliknya sudah senang dan puas
dengan toko satu saja. Tidak ngoyo. Lainnya beranggapan, pemiliknya "tidak
berjiwa bisnis murni". Sebagian berpendapat, pemiliknya egois. Dia tidak
mau mempekerjakan (ribuan) karyawan lebih banyak. Tidak mewaralabakan
bisnisnya karena ogah berbagi rezeki dengan (ratusan) pemodal lain.
Akhir Oktober 2021, Minggu jam 14:00 WIB, para pembeli harus
antre panjang, karena tidak dapat pindah ke cabang lain. Kalau hujan mereka
bisa bubar. Juga tidak dapat duduk menunggu giliran, lantaran tidak ada karcis
antre. Selain itu, karyawan peracik es cuma dua. Perlu sekitar 20 menit untuk
mendapat es krim yang mereka inginkan.
Semua itu memperlihatkan pemilik dan karyawan tidak kreatif?
Tidak inovatif? Semua dibiarkan, tidak berubah, sejak zaman imperialisme. Sampai
kapan Ragusa sanggup bertahan? Bisnis yang lain sudah berubah sama sekali.
Di dalam ruangan terasa panas. Tidak ada AC. Hanya ada satu
kipas angin. Tampaknya pembeli tidak peduli karena "sibuk" dengan
_smartphone-_nya. Tak satu pun yang mengomel atau berkeluh kesah. Pelipur
laranya adalah es krim tiada duanya yang mereka inginkan. Terbebas dari keluh
kesah mereka, ternyata, sederhana saja.
Dua orang Italia
Produk es Italia yang dijual di toko ini menggunakan bahan
dasar susu sapi segar sehingga menghasilkan es krim dengan tekstur yang lembut.
Tidak menggunakan bahan pengawet, menurut wikipedia.com.
Ragusa didirikan oleh dua orang berkebangsaan Italia: Luigi
Ragusa dan Vincenzo Ragusa. Mereka datang ke Batavia pada tahun 1930-an untuk
belajar menjahit di Jakarta Pusat. Setelah lulus, kedua bersaudara tersebut
pergi ke Bandung dan bertemu dengan seorang wanita Eropa yang memiliki
peternakan sapi dan memberikan banyak susu sapi kepada mereka.
Susu sapi tersebut dimanfaatkan Luigi dan Vincenzo sebagai
bahan untuk membuat es krim Italia yang ternyata banyak disukai. Dibantu tiga
orang saudara laki-laki lainnya, mereka membangun toko es krim Ragusa pertama
di Jalan Pos (sekarang Jalan Naripan), Bandung. Dalam menjalankan usahanya,
Ragusa dibantu oleh Jo Giok Siaw (Yo Giok Siang), teman di sekolah
menjahit.
Luigi dan Vincenzo mulai menjual es krim mereka di Pasar
Gambir (Jakarta Fair) sejak 1932. Karena tempat tersebut hanya ramai setahun
sekali, mereka membuka kafe di Citadelweg (sekarang Jalan Veteran I No. 10),
Jakarta Pusat pada tahun 1947. Pada tahun 1945-1972, penjualan es krim menurun
karena banyaknya pelanggan warga negara asing yang pulang ke negaranya. Setelah
periode tersebut, penjualan es krim baru mulai meningkat dan stabil kembali.
Salah seorang dari lima bersaudara Ragusa, yaitu Francesco
Ragusa, menikah dengan anak perempuan Yo Giok Siang, yakni Liliana. Pada tahun
1970-an, Ragusa bersaudara dan Liliana pindah ke Grottaglie, Taranto, Italia,
dan menyerahkan usaha es krim mereka ke adik Liliana yang bernama Buntoro
Kurniawan (Yo Boen Kong) dan istrinya Sias Mawarni (Lie Pit Yin).
Es krim Italia ini hanya menjual tujuh rasa dasar es krim:
coklat, vanila, moka, stroberi, nougat, durian dan rum raisin serta beberapa
kombinasi es krim lainnya. Harga es krim mulai Rp 15.000, Rp 20.000, Rp 25.000,
Rp 30.000 dan tertinggi Rp 35.000 per porsi.
Harga es krim Walls (grup Unilever), yang banyak macamnya,
variatif. Mulai Rp 2.500, Rp 4.500, Rp 9.000, Rp 13.500, Rp 44.900 dan termahal
Rp 53.800. Harga es krim Robin Baskins (Grup Chaerul Tanjung) dalam kemasan
besar: Triple Scoop 7.5 Oz Rp110.000, Pint 12 Oz-Rp290.000,
Quart 24 Oz-Rp415.000, Half Gallon 48 Oz-Rp750.000. Sebesar gelas Aqua Rp
300.000.
Ketika berbagai industri es krim mulai masuk ke Indonesia
sekitar tahun 1980-an, penjualan Ragusa sempat menurun. Namun dengan cepat
meningkat kembali karena mereka menjual hasil olahan es krim tanpa busa. Berbeda
dengan industri pada umumnya.
Ragusa pernah memiliki 20 toko es krim di Jakarta. Akibat
kerusuhan pada 1998, banyak toko mereka yang dirusak dan dibakar. Pada 2011,
hanya tiga toko Ragusa yang tersisa di Jakarta. Dari ketiga restoran tersebut,
hanya Ragusa Duta Merlin yang menjual berbagai macam masakan Eropa, Indonesia,
dan Cina. Kini, 2021, tersisa satu saja, di samping Masjid Istiqlal. (Nur
Hidayat)
0 Comments