Prof Ing Mokoginta dan Dr Sientje Mokoginta. (Foto: Bambang TR/TangerangNet.Com) |
“Kami, Prof Ing Mokoginta bersama Dr Sientje Mokoginta,
untuk kedua kalinya datang ke kantor Kompolnas. Kami sengaja datang bertepatan
dengan Hari Kesaktian Pancasila untuk melaporkan masalah perampasan tanah yang
menimpa kami,” ujar Prof Ing Mokoginta yang dibenarkan Dr Sientje di depan
kantor Kompolnas.
“Kami menduga, berlarutnya penyidikan kasus perampasan tanah
milik kami tersebut karena adanya beking Mafia Perampasan tanah yang Anti Pancasila,”
tuturnya.
Namun sayangnya, kedatangan kedua kakak beradik ke kantor
Kompolnas tersebut tidak membuahkan hasil apa-apa, karena mereka tidak bisa
masuk ke dalam kantor Kompolnas. Mereka hanya bisa memasuki halaman kantor Kompolnas.
Seperti diketahui, tanah milik keluarga besar Prof Ing
Mokoginta seluas 1,7 hektare di Gogagoman, Kotamobagu, Sulawesi Utara diduga
dirampas oleh mafia tanah dan oknum Badan Pertanahn Nasional (BPN). Mongkoginta
dan keluarga sudah menang di pengadilan, mulai dari Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) sampai peninjauan (PK) di Mahkamah Agung. Sertifikat turunan 2567
tersebut juga sudah dibatalkan, namun tanah tersebut masih dikuasa penyerobot.
Padahal, bukti pidana perampasan tanah tersebut sangat kuat.
Tidak ada transaksi jual beli, namun tanah dengan Sertipikat Hak Milik (SHM)
Nomor 98 tahun 1978 yang tertulis berasal dari tanah adat tiba-tiba terbit
sertifikat pada 2009 dengan Nomor 2567. Dalam sertifikat 2567 tersebut tertulis
berasal dari tanah negara.
“Sebelumnya, kami juga sudah mengirim surat terbuka kepada
Presiden Joko Widodo dan Kapolri sebanyak tiga kali. Minggu lalu, di kampus
tempat Saya mengajar, Presiden Jokowi kembali menegaskan agar Kapolri Ttidak Ragu
Menindak Beking Mafia Perampas tanah. Tapi sampai kini, kasus perampasan tanah
milik kami belum juga tuntas disidik,” tutur Prof Ing Mokoginta dengan raut
muka kesal.
Keduanya mengadu ke Kompolnas, karena sangat kecewa pada
Polda Sulut. “Perkara perampasan hak atas tanah kami yang sudah bersertipikat No.
98 tahun 1978, sudah kami laporkan sejak tahun 2017. Tanah kami diduduki
oleh terlapor, dibuat sertifikat baru tahun 2009, kemudian dijual. Padahal
terlapor tahu bahwa tanah tersebut sudah bersertipikat.”
“Propam Polda Sulut, bahkan Kanit penyidik telah menemukan
bukti bahwa semua sertifikat terlapor tidak teregristasi dan tidak tercatat di
buku tanah BPN. Namun pihak penyidik menyatakan bahwa ini bukan tindak pidana
dengan dalih terlapor juga punya sertipikat. Kami heran, mengapa bisa terbit
sertifikat lain di atas tanah sertipikat kami,” ujarnya balik bertanya.
“Kami pun terpaksa melakukan gugatan ke PTUN hingga MA untuk
membuktikan sertipikat pihak terlapor adalah palsu. Gugatan kami dimenangkan
hingga sampai inkrah setelah putusan PK di MA,” tuturnya.
Setelah itu, BPN membatalkan semua sertipikat terlapor yang
terdiri dari 12 orang. “Meski sudah ada bukti putusan pembatalan sertipikat
terlapor, kami melanjutkan gugatan pada laporan yang kedua. Namun perkara
dinyatakan bahwa perkara tidak dapat naik ke tahap sidik, karena kami tidak
melakukan somasi terhadap pembeli tanah dan di SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan)-kan,” ujar Prof Ing Mokoginta.
“Pembeli tanah yang tidak kami laporkan dikambinghitamkan. Sedangkan
terlapor yang merampas tanah sejak semula justru dibebaskan dengan alasan
sertifikat mereka telah dicabut. Di sini yang menjadi perkara pidana adalah
tindakan perampasan oleh terlapor, bukan tentang sertipikat tanah,” ucap Dr
Sientje Mokoginta. (btl)
0 Comments