Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyumbang Rp 2 triliun: Apa Kita Percaya?

Peristiwa penyerahan sumbangan bantuan
dana penanggulangan Covid-19.
(Foto: Istimewa) 

 

Oleh: Nur Hidayat

 

BANYAK orang tidak percaya, ragu-ragu, (bahkan curiga), mendengar berita seseorang menyumbang Rp 2 triliun (jumlah uang yang sangat besar sekali), sekaligus. Untuk membantu mengatasi pandemi Covid-19. Dalam kalimat ringkas, "Hari gini nyumbang segitu gede?"

Maklum. Akidi Tio adalah pengusaha tidak dikenal. Namanya tidak pernah masuk dalam deretan daftar orang-orang paling kaya di Indonesia. Pengusaha anggota Kadin pun tidak tahu siapa dia. Bidang usaha dan skala usahanya juga tidak diketahui. Termasuk nama enam anaknya, yang juga pengusaha. Satu anaknya sudah meninggal.

Orang-orang Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) juga para tokohnya, menggeleng kepala jika ditanya siapa Akidi itu. Padahal, mendiang puluhan tahun menetap, hingga meninggal dan dimakamkan di kota itu. Pengusaha "misterius". Tak pernah muncul. Yang kerap muncul (tapi disembunyikan) adalah sumbangannya. Bantuannya "tak terhitung". Saking sering dan banyak.

Pengusaha keturunan China, lahir di Langsa, Aceh, itu memang tak ingin namanya dikenal. Apalagi jadi terkenal. Anaknya, yang mewakili keluarga menyerahkan sumbangan tersebut, pun ingin penyerahan itu hanya dilangsungkan di hotel saja. Tidak pakai acara macam-macam. Tidak mengundang banyak orang. "Diam-diam saja".

Prof. Dr. dr. Hardi Darmawan, yang sudah puluhan tahun jadi dokter keluarga Akidi, justru menyarankan agar pejabat Sumsel juga diundang untuk menyaksikannya. Itu lantaran jumlah sumbangan yang luar biasa besar. Sekaligus agar transparan. Maka lantas hadir gubernur, walikota, komandan korem (pangdam ada acara lain), sejumlah tokoh agama dan lainnya.

Dari wawancara dengan Helmy Yahya, yang disebar lewat YouTube, dr Hardi mengungkapkan sedikit tentang pengusaha itu. Akidi hidup sederhana. Sangat. Ke mana-mana cuma berbaju putih. Lengan pendek. Kalau, misalnya, harus mengantre di rumah sakit (yang banyak disumbangnya), dia ikuti prosedur itu. Bersama orang lain. "Tidak ingin diistimewakan."

Sejak dulu, Akidi memang sudah banyak memberi sumbangan: kepada orang-orang miskin, panti jompo, rumah sakit, tempat ibadah, korban bencana dan lain-lain. Tanpa memandang suku dan agama. Dia juga tidak menyebutkan namanya saat menyumbang. (Dari hamba Allah seperti lazimnya orang Islam).

Anak-anaknya juga mewarisi sifat ayahnya. Rendah hati, dermawan, sederhana, tidak ingin dikenal. Jauh dari rasa mencari popularitas. Atau pamer. Lebih suka "tersembunyi". Itu sebabnya, mereka agak merasa "kurang nyaman" setelah kabar penyerahan sumbangan itu bikin heboh. Dir Intel Polda Sumsel, Kombes Pol Ratno Kuncoro berharap publik menghargai privasi pihak keluarga yang telah membantu mengatasi pandemi ini.

Anak-anak itu ingat betul pesan Akido, "Bantu orang-orang miskin." Itu sebabnya, mereka patungan sehingga terkumpul Rp 2 triliun. Sumbangan individual (yang diberikan sekaligus) paling besar di dunia. Mengalahkan miliarder dermawan yang juga suka menyumbang, seperti Jeff Bezos, Bill Gates dan Warren Buffett. Tidak mengherankan jika berita penyerahan sumbangan tersebut beredar di seluruh dunia. Mereka terkaget-kaget pula.

Kunci kemuliaan

Di dalam ajaran Islam, sifat dermawan merupakan salah satu kunci kebaikan dan mulianya setiap manusia. Mereka ikhlas dalam berderma. Tanpa ada niat untuk mencari atau mendapatkan sesuatu apapun dari manusia. Bahkan "¹tidak berharap" mendapatkan ucapan terima kasih dari orang yang telah ditolongnya.

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya, kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." [QS Al-Insan (76): 8-9].

Hal itu terjadi karena kebaikan, kemurahan hati dan keutamaan yang telah menghiasi diri mereka bersumber dari keimanan yang kuat. Dan niat yang tulus ikhlas dalam beramal. Jiwa mereka menjadi bersih dan "hatinya bersinar." (***)

 

Penulis adalah pengamat social dan kebangsaan.

Post a Comment

0 Comments