Peristiwa penyerahan sumbangan bantuan dana penanggulangan Covid-19. (Foto: Istimewa) |
BANYAK orang tidak percaya, ragu-ragu, (bahkan curiga),
mendengar berita seseorang menyumbang Rp 2 triliun (jumlah uang yang sangat
besar sekali), sekaligus. Untuk membantu mengatasi pandemi Covid-19. Dalam
kalimat ringkas, "Hari gini nyumbang segitu gede?"
Maklum. Akidi Tio adalah pengusaha tidak dikenal. Namanya
tidak pernah masuk dalam deretan daftar orang-orang paling kaya di Indonesia.
Pengusaha anggota Kadin pun tidak tahu siapa dia. Bidang usaha dan skala
usahanya juga tidak diketahui. Termasuk nama enam anaknya, yang juga pengusaha.
Satu anaknya sudah meninggal.
Orang-orang Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) juga para
tokohnya, menggeleng kepala jika ditanya siapa Akidi itu. Padahal, mendiang
puluhan tahun menetap, hingga meninggal dan dimakamkan di kota itu. Pengusaha
"misterius". Tak pernah muncul. Yang kerap muncul (tapi
disembunyikan) adalah sumbangannya. Bantuannya "tak terhitung".
Saking sering dan banyak.
Pengusaha keturunan China, lahir di Langsa, Aceh, itu memang
tak ingin namanya dikenal. Apalagi jadi terkenal. Anaknya, yang mewakili
keluarga menyerahkan sumbangan tersebut, pun ingin penyerahan itu hanya
dilangsungkan di hotel saja. Tidak pakai acara macam-macam. Tidak mengundang banyak
orang. "Diam-diam saja".
Prof. Dr. dr. Hardi Darmawan, yang sudah puluhan tahun jadi
dokter keluarga Akidi, justru menyarankan agar pejabat Sumsel juga diundang
untuk menyaksikannya. Itu lantaran jumlah sumbangan yang luar biasa besar.
Sekaligus agar transparan. Maka lantas hadir gubernur, walikota, komandan korem
(pangdam ada acara lain), sejumlah tokoh agama dan lainnya.
Dari wawancara dengan Helmy Yahya, yang disebar lewat
YouTube, dr Hardi mengungkapkan sedikit tentang pengusaha itu. Akidi hidup
sederhana. Sangat. Ke mana-mana cuma berbaju putih. Lengan pendek. Kalau,
misalnya, harus mengantre di rumah sakit (yang banyak disumbangnya), dia ikuti
prosedur itu. Bersama orang lain. "Tidak ingin diistimewakan."
Sejak dulu, Akidi memang sudah banyak memberi sumbangan:
kepada orang-orang miskin, panti jompo, rumah sakit, tempat ibadah, korban
bencana dan lain-lain. Tanpa memandang suku dan agama. Dia juga tidak
menyebutkan namanya saat menyumbang. (Dari hamba Allah seperti lazimnya orang
Islam).
Anak-anaknya juga mewarisi sifat ayahnya. Rendah hati,
dermawan, sederhana, tidak ingin dikenal. Jauh dari rasa mencari popularitas.
Atau pamer. Lebih suka "tersembunyi". Itu sebabnya, mereka agak
merasa "kurang nyaman" setelah kabar penyerahan sumbangan itu bikin
heboh. Dir Intel Polda Sumsel, Kombes Pol Ratno Kuncoro berharap publik
menghargai privasi pihak keluarga yang telah membantu mengatasi pandemi ini.
Anak-anak itu ingat betul pesan Akido, "Bantu
orang-orang miskin." Itu sebabnya, mereka patungan sehingga terkumpul Rp 2
triliun. Sumbangan individual (yang diberikan sekaligus) paling besar di dunia.
Mengalahkan miliarder dermawan yang juga suka menyumbang, seperti Jeff Bezos,
Bill Gates dan Warren Buffett. Tidak mengherankan jika berita penyerahan
sumbangan tersebut beredar di seluruh dunia. Mereka terkaget-kaget pula.
Kunci kemuliaan
Di dalam ajaran Islam, sifat dermawan merupakan salah satu
kunci kebaikan dan mulianya setiap manusia. Mereka ikhlas dalam berderma. Tanpa
ada niat untuk mencari atau mendapatkan sesuatu apapun dari manusia. Bahkan
"¹tidak berharap" mendapatkan ucapan terima kasih dari orang yang
telah ditolongnya.
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya, kami memberi
makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." [QS
Al-Insan (76): 8-9].
Hal itu terjadi karena kebaikan, kemurahan hati dan
keutamaan yang telah menghiasi diri mereka bersumber dari keimanan yang kuat.
Dan niat yang tulus ikhlas dalam beramal. Jiwa mereka menjadi bersih dan
"hatinya bersinar." (***)
Penulis adalah pengamat social dan kebangsaan.
0 Comments