![]() |
Mensos Tri Rismaharini. (Foto: Istimewa) |
SEWAKTU menjadi Walikota Surabaya, Jawa Timur Tri
Rismaharini membuat banyak orang menaruh respect. Dia berprestasi, mengubah
kota itu menjadi lebih baik. Lebih asri. Tanaman pelindung jalan makin banyak.
Ditambah bunga anggrek. Jalan-jalan terlihat bersih. Rapi. Teratur.
Sayang. Begitu menjadi Menteri Sosial, simpati banyak orang
berubah. Menjadi antipati. Warga Bandung, Jawa Barat, terutama juga orang
Sunda, menuntut "Pecat Risma". Dia dipandang sebagai pejabat yang sok
kuasa, tidak punya etika. Marah-marah di depan pegawai seenaknya. Malah ke luar
ucapan kasarnya, "Saya pindah kalian ke Papua," kepada pegawai Balai Disabilitas
Wyata Guna Bandung.
Cara menyerang para pegawai dengan mencak-mencak tersebut di
Bandung "sangat menyedihkan dan menyakitkan". Banyak orang jadi
teringat si Ahok alias Basuki Tjahja Purnama, yang dijuluki si "mulut
jamban". Dia lalu terjungkal dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Warga muak.
"Membuang" pegawai ke Papua dipandang menghina
warga provinsi dan orang Papua. Wilayah itu dianggapnya sebagai "tempat
pembuangan". Seperti di jaman penjajahan Belanda: Boven Digul. Sebagai Menteri,
perempuan lagi, Risma mestinya bisa berlaku sedikit sopan. Belajar menghargai
bawahan. Bukannya malah melecehkan.
Contoh. Dia mempertanyakan keberadaan keyboard dan organ
tunggal yang disiapkan untuk menyambutnya saat tiba di Balai Disabilitas Wyata
Guna Bandung, 13 Juli 2021. Risma menegur Kepala Balai Disabilitas Wyata Guna
Sudarsono dan meminta agar organ tunggal tersebut dibereskan.
"Ini lagi Bapak, ngapain aku disiapi musik segala, mau
tak tendang apa? Emang aku kesenengan apa ke sini?" bentak Risma. Apa
pantas dia ngomong seperti itu? Kasar. Sangat tidak sopan. Lebih-lebih, dia
marah-marah di depan anak-anak disabilitas, penyandang cacat. Padahal, semua
itu disiapkan dalam rangka menghormatinya.
Kita teringat kisah ini: Pada hari pertama bertugas sebagai
Mensos, Januari 2021, dia langsung blusukan ke kawasan bantaran aliran Sungai
Ciliwung di dekat Kantor Kemensos, Senen, Jakarta Pusat. Persis gayanya sebagai
Walikota Surabaya. Risma juga blusukan ke Pluit, Jakarta Utara, di kolong Tol
Pluit.
Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono menilai aksi
blusukan Risma berlebihan, sehingga terlihat tidak elok di mata publik. Dia
menyarankan Risma, jika ingin bertemu gelandangan di Jakarta, jangan mencari di
daerah steril seperti Sudirman-Thamrin yang akan jarang terlihat. "Kalau
mau lagi (ketemu gelandangan) sono di Jakarta Barat," kata politisi
Demokrat itu.
Tegas dan Lurus
Ali Sadikin dikenal sebagai pejabat yang tegas dan lurus.
Namun demikian, Mayor Jenderal (Mayjen) Korps Komando (KKO) Angkatan Laut yang
tegap dan tinggi besar itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar atau
melecehkan karyawannya. Di zaman itu, tahun 1960-an, tidak ada BuzzeRp upahan
yang bertugas mengemas pencitraan bagi pejabat yang membayarnya.
Selama dua kali masa jabatan (diangkat oleh Presiden
Sukarno, 1961), dia berhasil membenahi Jakarta menjadi jauh lebih baik.
Membangun banyak terminal bus kota, membenahi angkutan umum, membangun banyak
pasar, gedung sekolah, puskesmas. Juga gelanggang remaja, pusat rekreasi Jaya
Ancol dan Taman Ismail Marzuki. Bang Ali dikenang sebagai Gubernur DKI Jakarta
terbaik.
Syekh Abdul Aziz bin Fathi as- Sayyid Nada, pengarang buku
ensiklopedi Islam, menyebut beberapa etika dan parameter untuk mengukur ideal
tidaknya seorang pejabat. Itu sekaligus menjadi kriteria dan syarat yang harus
dikerjakan pejabat supaya mendapatkan predikat aparat yang baik dan bertanggung
jawab, tuturnya.
Misalnya, niat dan motif di balik pelaksanaan tugas dan
kewajibannya. Kedua, menurut dia, selayaknya pejabat pemerintah tidak berambisi
dan meminta posisi jabatan. Syekh Nada berkata biasanya ambisi kerap
"mengalahkan hati nurani" dan rambu-rambu kepatutan yang diajarkan
agama. (***)
Penulis adalah pengamat social dan kebangsaan.
0 Comments