Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sesungguhnya Moeldoko Adalah Lalat Politik

Ilustrasi, lalat pembawa penyakit. 
(Foto: Istimewa)  



Oleh:  M. Rizal Fadillah

 

KEPALA Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyatakan dalam situasi pandemi ini jangan ada pihak yang menjadi lalat politik yang membuat terganggunya konsentrasi penanganan pandemi. Dalam pernyataan lain ditegaskan Moeldoko bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang menjadi panglima tertinggi dari penanganan pandemi Covid-19 ini.

Dalam kaitan panglima, suara sumbang menyatakan bahwa bukan persoalan klaim panglima tertinggi, justru urgensi kini adalah bagaimana Jokowi bisa turun dari jabatan Presiden. Jokowi dinilai gagal dan tidak mampu. Bagaimana menjadi panglima, faktanya selalu sembunyi atau lepas tangan dari tanggungjawab. Memimpin para menteri saja berantakan.

Penyebutan adanya lalat politik oleh Moeldoko perlu klarifikasi. Pihak mana yang disebut dengan lalat politik itu. Sebagai pejabat negara tidak baik melempar sesuatu tanpa kejelasan dan kepastian. Bila yang dimaksud  lalat politik itu adalah pihak eksternal pengeritik Pemerintah, maka itu sangat  keliru karena kritik adalah pengingat dan obat. Keberadaan pengeritik itu perlu.

Mungkin sasarannya adalah  internal kekuasaan itu sendiri yang bertikai dalam faksi-faksi. Tidak semua elemen oligarkhi terkonsolidasi baik untuk mendukung pilihan kebijakan penanganan pandemi. Ada yang bermain dua atau tiga kaki. Moeldoko merasakan "sakitnya tuh di sini" ketika mengkudeta Partai Demokrat. Dukungan palsu ia rasakan. Mungkin model ini yang dimaksud lalat politik Moeldoko.

Apapun itu, siapapun yang disasar, maka pernyataan Moeldoko itu sendiri adalah pengakuan bahwa penanganan pandemi itu sebenarnya semrawut, boros, dan bau. Persis seperti sampah. Pada tumpukan sampah itulah berterbangan banyak lalat. Rakyat terpaksa merenung dan berfikir apakah Moeldoko itu termasuk lalat politik ?

Dalam Riwayat Bukhori, Raja Namrud otoriter tewas karena lalat masuk ke dalam hidungnya dan menyakiti otaknya. Namrud memukul-mukul kepalanya untuk mengatasi penderitaan. Ujungnya musuh Nabi Ibrahim itu mati mengenaskan.

Dalam ceritra "The Bald Man and The Fly" digambarkan orang berkepala botak dihinggapi lalat. Ia memukulnya, dan lalat pun terbang. Lalat mengejek dan hinggap kembali. Si botak tertantang dan siap memukul lebih keras lagi untuk membunuh lalat. Kepala botak dipukul berulang ulang hingga sakit sendiri. Kebodohan nyata.

Moeldoko dan para oligarkhi kekuasaan mulai merasa terganggu oleh lalat politik yang hinggap di kepalanya. Bernafsu untuk menghabisi, namun kepalanya yang semakin botak dipukul berulang ulang sehingga terasa sakit dan terus menyiksa. Akan tetapi rasa sakit itu bisa dikalahkan oleh nafsu sadis untuk membasmi.

Rezim Jokowi memang makin botak, dipukul dan ditampar berulang-ulang oleh tangan-tangan kebodohannya sendiri. Ungkapan Moeldoko memberi legitimasi sebuah rezim basa-basi. Beralasan sebagai solusi dalam menangani pandemi demi investasi dan hutang luar negeri, tetapi sebenarnya mereka sedang mencari komisi dengan cara kolusi dan korupsi. Solusi pun dibuat hanya untuk cari selamat dan keuntungan sendiri. (***)

 

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Post a Comment

0 Comments