Ilustrasi, lalat pembawa penyakit. (Foto: Istimewa) |
Dalam kaitan panglima, suara sumbang menyatakan bahwa bukan
persoalan klaim panglima tertinggi, justru urgensi kini adalah bagaimana Jokowi
bisa turun dari jabatan Presiden. Jokowi dinilai gagal dan tidak mampu.
Bagaimana menjadi panglima, faktanya selalu sembunyi atau lepas tangan dari
tanggungjawab. Memimpin para menteri saja berantakan.
Penyebutan adanya lalat politik oleh Moeldoko perlu
klarifikasi. Pihak mana yang disebut dengan lalat politik itu. Sebagai pejabat
negara tidak baik melempar sesuatu tanpa kejelasan dan kepastian. Bila yang
dimaksud lalat politik itu adalah pihak eksternal pengeritik Pemerintah,
maka itu sangat keliru karena kritik adalah pengingat dan obat. Keberadaan
pengeritik itu perlu.
Mungkin sasarannya adalah internal kekuasaan itu
sendiri yang bertikai dalam faksi-faksi. Tidak semua elemen oligarkhi
terkonsolidasi baik untuk mendukung pilihan kebijakan penanganan pandemi. Ada
yang bermain dua atau tiga kaki. Moeldoko merasakan "sakitnya tuh di sini"
ketika mengkudeta Partai Demokrat. Dukungan palsu ia rasakan. Mungkin model ini
yang dimaksud lalat politik Moeldoko.
Apapun itu, siapapun yang disasar, maka pernyataan Moeldoko
itu sendiri adalah pengakuan bahwa penanganan pandemi itu sebenarnya semrawut,
boros, dan bau. Persis seperti sampah. Pada tumpukan sampah itulah berterbangan
banyak lalat. Rakyat terpaksa merenung dan berfikir apakah Moeldoko itu
termasuk lalat politik ?
Dalam Riwayat Bukhori, Raja Namrud otoriter tewas karena
lalat masuk ke dalam hidungnya dan menyakiti otaknya. Namrud memukul-mukul
kepalanya untuk mengatasi penderitaan. Ujungnya musuh Nabi Ibrahim itu mati
mengenaskan.
Dalam ceritra "The Bald Man and The Fly"
digambarkan orang berkepala botak dihinggapi lalat. Ia memukulnya, dan lalat
pun terbang. Lalat mengejek dan hinggap kembali. Si botak tertantang dan siap
memukul lebih keras lagi untuk membunuh lalat. Kepala botak dipukul berulang
ulang hingga sakit sendiri. Kebodohan nyata.
Moeldoko dan para oligarkhi kekuasaan mulai merasa terganggu
oleh lalat politik yang hinggap di kepalanya. Bernafsu untuk menghabisi, namun
kepalanya yang semakin botak dipukul berulang ulang sehingga terasa sakit dan
terus menyiksa. Akan tetapi rasa sakit itu bisa dikalahkan oleh nafsu sadis
untuk membasmi.
Rezim Jokowi memang makin botak, dipukul dan ditampar
berulang-ulang oleh tangan-tangan kebodohannya sendiri. Ungkapan Moeldoko
memberi legitimasi sebuah rezim basa-basi. Beralasan sebagai solusi dalam
menangani pandemi demi investasi dan hutang luar negeri, tetapi sebenarnya
mereka sedang mencari komisi dengan cara kolusi dan korupsi. Solusi pun
dibuat hanya untuk cari selamat dan keuntungan sendiri. (***)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
0 Comments