Ilustrasi rumah sakit dan perawat. (Foto: Ist/Nur Hidayat) |
TIGA petinggi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mendapat
teguran keras dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Wakil Sekretaris Jenderal PAN
dokter Rosaline Irine Rumaseuw mengusulkan agar pemerintah membuat rumah sakit
khusus Covid-19 bagi para pejabat. Usul itu dikaitkan dengan pengalaman dia
kesulitan mencari kamar di rumah sakit untuk anggota DPR John Siffy Mirin.
Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay menyatakan
tidak mau dengar lagi anggota DPR tak mendapatkan ruang ICU (Intensive Care Unit)
di rumah sakit. Dia punya pengalaman, anggota keluarganya meninggal karena
kesulitan mendapatkan perawatan di ruangan ICU.
Anggota DPR dari PAN Guspardi Gaus menjadi sorotan lantaran
mengaku menolak untuk diisolasi di sebuah hotel oleh petugas Kementerian
Kesehatan usai pulang dari Kyrgyzstan. Guspardi malah ngotot mengikuti rapat di
gedung parlemen.
Ulah ketiga politikus PAN tersebut dikecam berbagai
kalangan, terutama usul rumah sakit khusus pejabat. "Inilah pejabat yang
tak sensitif dengan kesulitan dan penderitaan rakyat. Rakyat sedang berjibaku
melawan Covid-19 dan setiap hari berguguran," kata pengamat politik dari
Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus
Rahardiansyah menilai usulan membuat rumah sakit khusus bagi pejabat akan
"menciptakan diskriminasi" di tengah masyarakat. "Selama ini,
saja di rumah sakit sudah diskriminatif. Artinya, mereka yang punya duit kan
sudah ada tempatnya sendiri," katanya.
Partai Golkar menolak adanya rumah sakit khusus untuk pejabat.
Juru Bicara Golkar Nurul Arifin, mengatakan tidak perlu ada tindakan istimewa
untuk pejabat dalam situasi sekarang. Seharusnya, ujarnya, pejabat berempati
bersama rakyat. “Tidak perlu ada tindakan istimewa. Dalam situasi darurat
seperti sekarang, semua sebaiknya mendapatkan perlakuan yang sama," tutur
Nurul.
Konsekuensi salah ucap
Tiga politikus PAN tersebut agaknya tak salah ucap. Mereka
berbicara dan bertingkah dalam kondisi normal. Sehat wal afiat. Ketiganya hanya
mendapat "teguran keras". Berbeda halnya dengan kasus di Jepang.
Negara Matahari Terbit ini dikenal "sangat menjunjung sikap ksatria":
Orang yang bersalah harus meminta maaf. Kalau perlu mengundurkan diri.
Presiden Komite Olimpiade Jepang Yoshiro Mori, mundur dari
jabatan yang terbilang prestisius itu, "hanya" karena satu ungkapan
yang bernada seksis atau merendahkan kaum perempuan. Perdana Menteri Taro Aso
juga mundur lantaran "salah ucap".
Dia pernah menyebut kaum manula "lemah" - walaupun
partainya sangat bergantung pada suara pemilih usia lanjut untuk mempertahankan
kekuasaan. Kenapa kita harus membayar pajak bagi mereka yang "hanya makan
dan minum tanpa berupaya,?" Taro bertanya.
Menteri Rekonstruksi Pasca Bencana Jepang Ryu Matsumoto,
yang baru menjabat selama seminggu,
mengundurkan diri setelah mendapat kecaman dari masyarakat karena komentarnya
kepada Gubernur Provinsi Miyagi. Ucapan yang disampaikannya dalam satu
pertemuan di provinsi itu dianggap "menyakiti perasaan" para korban
gempa dan tsunami Jepang.
Menteri Pariwisata Nariaki Nakayama, yang menjabat di
kabinet Taro, juga mengundurkan diri setelah menyebut Jepang negara yang
homogen secara etnis "yang tidak menyukai orang asing."
Di satu acara, Maret 2021, Presiden Joko Widodo kembali
meminta seluruh pemangku kepentingan untuk mengagungkan cinta produk Indonesia.
Bukan hanya itu, dia juga meminta agar "didorong kampanye untuk benci
produk asing." Padahal, kita impor banyak produk asing dalam jumlah besar.
Apa Jokowi dengan sukarela mundur dari jabatannya, karena "salah
ucap?"
Jaga lisanmu. Mulutmu adalah harimaumu. Menjaga lisan adalah
sebab diampuninya dosa-dosa dan sekaligus akan memperbaiki amal. Rasulullah SAW
bersabda, "Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga
lisan." (HR al-Bukhari). (***)
Penulis adalah pemerhati social dan kebangsaan.
0 Comments