Bupati Nganjuk Novi Rahmat Hidayat setelah ditangkap petugas penindakan KPK. (Foto: Istimewa) |
KETIKA baru menjabat sebagai Bupati Nganjuk, 2018, Novi
Rahman Hidayat dikesankan sebagai pejabat ideal: gajinya diserahkan ke lembaga
kesejahteraan rakyat; tidak mau memakai mobil dinas; semua pegawai harus bayar
pajak, yang hasilnya dikelola untuk mengatasi kemiskinan; setiap Jum'at
berganti masjid untuk berkhutbah; usai jumatan dia mencari orang yang rumahnya tidak
layak huni untuk dibantu.
Pada Minggu, 9 Mei 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menangkap basah Novi Rahman, bersama barang bukti uang Rp 647 juta. Dia jadi
tersangka kasus memperjualbelikan jabatan. Bersama Novi juga ditangkap 9 orang
lainnya. Praktik jual beli jabatan tersebut terjadi di hampir seluruh
perangkat. Dia mematok harga puluhan hingga ratusan juta untuk praktik jual
beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
Muncul tanda tanya: apa kesan sebagai pejabat ideal itu hanya
"pencitraan tipuan" belaka? Yang benar, Novi Rahman juga sama persis
seperti pejabat korup lainnya? SH, Camat Kras, Kediri, misalnya, terjerat kasus
jual beli jabatan kepada lima perangkat desa di lingkungan kecamatannya.
Mungkinkah hanya dalam waktu pendek, 3 tahun, karakter (hati) seseorang berubah
total?
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Dinamakan hati karena perubahannya. Sesungguhnya perumpamaan hati itu
laksana bulu yang tertempel di pangkal pohon yang diubah oleh hembusan angin
sehingga terbalik." (HR Ahmad). Perumpamaan itu sesungguhnya menggambarkan
'ketidakstabilan' hati, fluktuatif, gampang berubah oleh sesuatu.
Apalagi oleh kekuasaan, yang daya pikatnya luar biasa. Orang
berbuat apa saja, halal haram, agar bisa menjadi walikota, bupati, gubernur,
dan presiden. Menjadi orang yang sangat tercela pun mereka tidak peduli.
Setelah menjabat, mereka "melakukan hal yang amat lazim": korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 397 pejabat
politik yang terjerat kasus korupsi sejak 2004 hingga Mei 2020. Kasus korupsi
yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif tersebut mencapai 36
persen dari total perkara yang ditangani KPK. Jumlahnya tentu bertambah hingga
2021 ini.
Dalam suratnya ke Bishop Mandel Creighton (1887), Lord Acton
a.l. menulis satu kalimat: kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti
korup. Kekuasaan mempunyai kecenderungan merusak tatanan kehidupan masyarakat
dengan sewenang-wenang.
Kecenderungan merusak tatanan kehidupan masyarakat kini
muncul dalam praktik politik kita. Kasus-kasus korupsi yang terjadi menunjukkan
bahwa kekuasaan dapat kehilangan daya estetiknya sebagai seni memimpin rakyat
mencapai tujuannya.
Penyebab merajalelanya kasus korupsi, salah satunya, adalah
hukuman ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Tidak ada satu pun koruptor
yang dihukum mati. Sekiranya ada koruptor yang ditembak mati, dan disaksikan
banyak orang di stadion, misalnya, lalu direkam dan diunggah ke medsos, efek
jeranya akan terasa. Para pejabat perlu berpikir 1.000 kali kalau berniat
korupsi.
Di Korea Selatan, mereka yang terbukti korupsi akan dihukum
berat dan dikucilkan, bahkan oleh keluarganya sendiri. Maka tak jarang banyak
pelaku yang memilih untuk bunuh diri, lantaran depresi dan tak kuat menahan
malu.
Hukuman bagi para koruptor di Arab Saudi dilakukan sesuai
dengan hukum Islam, yakni pancung. Hukuman itu terbukti memberikan efek jera
kepada para pejabat setempat. Di Jerman, koruptor akan dihukum seumur hidup dan
wajib mengembalikan seluruh harta hasil korupsi.
Albert Hirscmann dalam The Passion and The Interest:
Political Argument for Capitalis Before Its Trial (1997) menilai bahwa
kekuasaan dapat merusak apabila ditundukkan oleh interes ekonomi. Watak
kekuasaan dalam kendali ekonomi akan menghasilkan nafsu kekuasaan. Akibatnya,
pemimpin yang berkuasa menggunakan momen kekuasaan sebagai momen ekonomis. Dia
berusaha mencapai kemakmuran pribadi secepat-cepatnya. (***)
Penulis adalah pemerhati masalah sosial.
0 Comments