![]() |
Irjen Pol Agung Makbul dan Brigjen Pol Bambang memimpin ratas terbatas membahas mafia tanah. (Foto: Bambang TR/TangerangNet.Com) |
Kepala Sekretariat Satgas Saber Pungli Brigjen Pol Bambang
P. mengakui ada titik lemah pada lembaga terkait sehingga bisa ada dua surat
asli yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada bidang yang sama.
Menurutnya, salah satu dari surat tersebut diperoleh dengan cara yang tidak
sah. Jadi, sebetulnya mudah menyelesaikannya, tinggal mengusut data awal
kepemilikan sampai ke tingkat kelurahan.
"Kok ada, satu sertifikat hak milik tapi juga ada HGB
di atas tanah tersebut. Sebetulnya penyelesaiannya mudah. Di BPN kan ada
warkah, (sertifikat-red) ini kan produk BPN harus ditarik ke belakang,
memeriksa riwayat kepemilikan tanah, dokumen sampai di ditingkat
desa/kelurahan. Kalau di desa itu ada petok D. Pasti akan ketemu pemilik tanah
yang sah," ujar Bambang, usai rapat Saber Pungli dengan sejumlah mitra
terkait di Jakarta, Selasa (19/1/2021).
Bambang menjelaskan pemalsuan surat bisa terjadi saat proses
pengajuan sertifikat. Namun jika bekerja dengan nurani, pasti akan mudah
mengetahui siapa yang berhak atas tanah dengan dua surat kepemilikan.
"Kalau ingin mengungkap kebenaran, dengan hati nurani,
pasti ketemu, siapa sebenarnya yang berhak atas tanah yang suratnya tumpang
tindih tersebut," tutur Bambang.
Sementara itu, Sekretaris Saber Pungli Kemenkopolhukam Irjen
Pol Agung Makbul meminta agar warga masyarakat untuk melaporkan ke pihak Satgas
Saber Pungli jika ada kasus perampasan tanahnya tidak ditindaklanjuti pihak
terkait.
"Jika ada masalah perampasan tanah segera dilaporkan.
Satgas Saber Pungli ini bukan hanya ada di Kemenkopolhukam saja. Satgas Saber
Pungli ini ada di setiap provinsi, sampai kabupaten. Dan jika laporan ke Satgas
Saber Pungli di kabupaten itu lambat atau tidak diproses, laporkan saja ke
Satgas Saber Pungli Provinsi," ucapnya.
Seperti diketahui bahwa sudah hampir dua tahun lalu,
Presiden Jokowi telah memerintahkan kepada jajaran terkait untuk menyelesaikan
konflik Pertanahan. Namun hingga kini belum dapat dirasakan oleh para korban
perampasan tanah di Indonesia. Padahal, berbagai komponen dan warga masyarakat
sudah lama melaporkan berbagai kasus perampasan tanah mereka ke Presiden dan
sejumlah lembaga negara dengan sejumlah barang bukti terkait. Para korban
perampasan tanah tersebut tidak pernah merasa menjual tanah mereka, akan tetapi
hingga kini tanah mereka masih dikuasai oleh pihak lain.
Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budiardjo
mengatakan perintah Presiden Jokowi pada 3 Mei 2019 tersebut sejalan dengan UUD
1945 Pasal 33 dan UUPA 1960. Dalam pembukaan, pemerintah, sebagai penyelenggara
negara dibentuk untuk melindungi hak seluruh warga negara. Jadi, jika perintah
tersebut diabaikan oleh jajaran pemerintah maka artinya mereka telah melanggar
UUD 1945 .
"Kami, berharap Perintah Presiden Jokowi dalam Ratas tanggal 3 Mei 2019, konflik pertanahan dapat segera diselesaikan oleh para pembantunya, terutama oleh para penegak hukum. Karena hal tersebut menyangkut hak warga negara yang dirampas tanahnya. Korban perampasan tidak pernah menjual tanah miliknya, akan tetapi bisa dikuasai oleh pihak lain tanpa membeli. Ini namanya perampasan, tetapi dibuat seolah-olah legal karena mereka juga memegang surat resmi," ungkap Ketua FKMTI Budiardjo, usai rapat dengan Tim Saber Pungli Kemenkopolhukam di Jakarta, Selasa (19/01/2021).
Budiardjo kembali mengungkapkan bahwa kasus perampasan tanah di Indonesia marak terjadi karena negara tidak menjalankan Undang-Undang Agraria No. 5/60 dan PP No 10/61. Padahal, kedua peraturan tersebut sangat berpihak kepada rakyat untuk melegitimasi tanah yang mereka miliki sesuai dengan amanah Pancasila dan UUD 45. Sayangnya, rezim Orde Baru justru menerbitkan PP 24/97 yang justru mengakomodasi kepentingan mafia Perampas tanah rakyat.
"Penguasa negara pasca reformasi seharusnya mencabut PP
No. 24/97 yang bertentangan dengan Undang-Undang Agraria yang sudah sesuai
dengan UUD 45 dan Pancasila. Oknum-oknum di BPN sering berlindung dibalik PP
ini meski sebetulnya sudah tahu mereka salah menerbitkan SHGB di atas tanah
SHM, girik milik rakyat yang tidak mereka jual kepada Pengembang tersebut
tetapi dikuasai tanpa membeli. Perampas tanah hanya bermodal SHGB dan
dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik, tanah hasil rampasan menjadi
seolah-olah legal. Padahal jika ditanya warkah asal-usul HGB tersebut, Pihak
BPN sering berkilah bahwa warkah belum atau tidak ditemukan," ujarnya. (btl)
0 Comments