![]() |
Ilustrasi Laskar FPI dalam suatu barisan. (Foto: Istimewa) |
MENJELANG akhir tahun 2020, di tengah teror global Covid-19
yang semakin menggila dan meluluhlantakkan pondasi ekonomi dengan kerusakan
fatal yang menimpa hampir di semua sektor usaha, Pilkada yang dipaksakan,
kontroversi vaksin Sinovac, OTT (operasi tangkap tangan) KPK terhadap Menteri
Kelautan dan Perikanan serta kasus bantuan sosial yang menyeret Menteri Sosial
sebagai tersangka, disusul tragedi berdarah KM 50, ektra judicial killing yang
merupakan kategori kejahatan HAM (Hak Asasi Manusia) atas kematian 6 pemuda
laskar Front Pembela Islam (FPI) yang diduga menjadi korban pembantaian oknum
aparat kepolisian yang melakukan tindakan brutal di luar mekanisme hukum.
Adegan demi adegan dramatis yang mencekam terus menerus
dihadirkan pemberitaan media massa dalam pertunjukan politik menjelang akhir
tahun 2020. Dan tak kalah dramatisnya, penyidik Polda Metro Jaya menjerat Imam
Besar FPI, Habib Rizieq Shibab (HRS) dengan pasal berlapis, yang lagi-lagi
lemah dari segi alat bukti dan cacat hukum karena tidak terpenuhinya unsur
dalam dugaan perbuatan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan penyidik kepada
HRS.
HRS dijerat dengan pasal kerumuman massal yang seharusnya
berkonsekuensi denda, bukan pidana, dan HRS sudah membayar sejumlah denda atas
pelanggaran protokol kesehatan. Kerancuan lain muncul dalam proses hukum yang
dilakukan penyidik Polda Metro Jaya, antara lain penetapan status terangka HRS
bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang
menegaskan bahwa penetapan tersangka harus didahului dengan adanya pemeriksaan
calon tersangka dan terpenuhinya alat bukti.
Pasal 160 KUHP yang menjerat HRS tentang penghasutan adalah
conditionally constitusional, MK pun sudah mengeluarkan putusan bahwa pasal
penghasutan bukan lagi delik formil, tetapi delik materil. Artinya, jika dugaan
hasutan tersebut berdampak pada terjadinya kerusuhan dan atau menimbulkan
keonaran yang berdampak mengganggu stabilitas nasional, maka pihak yang diduga
melakukan perbuatan tindak pidana hasutan dapat dijerat.
Peristiwa-peristiwa besar di penghujung akhir tahun 2020
tersebut terekam dalam ingatan kolektif dan memburamkan sepak terjang predator
ekonomi yang bersekutu dengan politisi dalam mesin oligarki partai politik yang
secara sistematis dan masif melakukan perampokan dan eksploitasi kekayaan
sumber daya alam melalui produk hukum kolaborasi eksektuif dan legislatif yang
bergerak di bawah kendali oligarki.
Seperti mozaik yang berserakan dalam potret buram, realitas
sosial yang compang-camping membuat akal sehat kita menggugat, “Negara telah
gagal memberikan perlindungan dan keselamatan kepada rakyatnya.”
Tak ubahnya adegan akhir dalam film yang diangkat dari novel
penulis handal yang selalu mengangkat tema tentang praktek-praktek kotor mafia
hukum, John Grisham, terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan
Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front
Pembela Islam tanpa proses pengadilan (due process of law) yang menjadi
prinsip-prinsip negara hukum.
Dengan narasi yang cenderung memutarbalikkan fakta, design
opini publik yang terbentuk dalam pemberitaan di sejumlah media massa
mainstream, menjurus kepada stigmatisasi FPI yang seakan-akan menjelma monster
yang menjadi musuh pemerintah dan mengancam ketertiban umum. Pemerintah lupa,
FPI tidak pernah absen dan selalu berada di barisan terdepan dalam aktivitas
sosial dan kemanusiaan tanpa memandang suku, ras dan identitas agama dengan
berbagai konsekuensi risiko ketika bencana alam terjadi di berbagai pelosok di
tanah air.
SKB tersebut bukan saja telah menjurkirbalikkan logika hukum
itu sendiri tetapi melegitimasi keputusan pemerintah yang cacat hukum.
Inkonstitusionalitas dalam SKB tersebut mengangkangi putusan MKNomor
82/PUU-XI/2013 tentang organisasi yang bebas didirikan tanpa harus memiliki
Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang bersifat administratif.
Salah satu dalil dalam SKB perihal SKT sesungguhnya tidak
memiliki legal standing, karena berdasarkan putusan MK menyatakan bahwa Pasal
16 ayat (3) dan Pasal 18 Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan yang
mewajibkan ormas memiliki SKT bertentangan dengan UUD 1945. Ironisnya bahkan UU
Ormas pun tidak secara detail dan menyatakan secara tegas tentang kewajiban
ormas harus memiliki SKT untuk menjalankan kegiatan kemasyarakan dan aktivitas
organisasi.
Kebebasan berserikat adalah asas demokrasi yang tidak
menyediakan ruang tawar-menawar. Kebebasan berserikat merupakan hak asasi warga
negara yang merdeka dan berdaulat serta bersifat fundamental dalam sebuah
negara yang menganut sistem demokrasi. Amanat konstitusi adalah pedoman dasar
dalam rancangan peraturan perundang-undanganan dan penegakan hukum. Pemerintah
tidak boleh melanggar perintah konstitusi dalam mengeluarkan keputusan atau
membuat kebijakan atas dalil apapun.
Membubarkan organisasi masyarakat berdasarkan asas
contrarius actus (konsep hukum administrasi tentang pejabat tata usaha negara
yang membuat keputusan tata usaha negara) tanpa menempuh mekanisme proses
peradilan adalah inkonsitusional, tindakan pemerintah atas terbitnya SKB
pembubaran FPI akan menjadi kuburan politik yang angker.
Salah satu ciri negara gagal adalah memaklumi tangan besi
tirani melegitimasi otoritarianisme eksekutif yang meruntuhkan otoritas
yudikatif dalam proses penegakan hukum. Sejarah mencatat tentang sepak terjang
tirani dengan tinta darah dan menyingkap tabir di balik keputusan
inkonstitusional selalu terselip intervensi kepentingan besar oligarki untuk
mengamankan investasi modalnya. (***)
Penulis adalah Praktisi hukum, pencinta kopi, dan puisi.
0 Comments