![]() |
Purwadi Dj. (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
KEDAULATAN suatu negara yang merdeka memang bukan hanya
menyangkut masalah teritori atau batas wilayah fisik kekuasaannya. Tapi,
menyangkut seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan termasuk
urusan makanan, yang menurut Bung Karno menyangkut hidup dan matinya suatu bangsa.
Bung Karno mengatakan hal tersebut dalam pidatonya saat
peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia - yang
kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor - pada 27 April 1952. “Pidato saya
ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari,” ujarnya.
Sang Proklamator Kemerdekaan pun memaparkan, pada tahun
1940, setiap orang Indonesia mengonsumsi beras 86 kilogram per tahun. Jadi,
pada 1952 itu, ketika penduduknya berjumlah 75 juta orang, Indonesia
membutuhkan beras 6,5 juta ton per tahun. Padahal, produksi beras Indonesia
ketika itu hanya 5,5 juta ton, sehingga Indonesia harus mengimpor dari beberapa
negara. Dan, Bung Karno tak mau Indonesia terus bergantung pada beras impor.
“Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai
150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta
dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu,” katanya.
Apalagi, tambahnya, kebijakan impor tidak sesuai dengan semangat membangun
ekonomi berdikari atau “berdiri di atas kaki sendiri”.
Lebih dari sepuluh tahun kemudian, dalam pidatonya menyambut
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1964, Bung
Karno pun kemudian merumuskan makna kedaulatan bagi Republik Indonesia, yang
dikenal sebagai Trisakti, sebagai penjabaran dari Pancasila. Diungkapkan Bung
Karno, Trisakti merupakan jalan revolusi bagi Indonesia, yakni berdaulat secara
politik; berdikari dalam bidang ekonomi, dan; berkepribadian dalam kebudayaan.
“Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa
ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik,
berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata
yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajurit-prajurit
revolusi kita, untuk menyelesaikan revolusi nasional kita yang mahadahsyat
sekarang ini,” ungkap Bung Karno beberapa tahun kemudian, 22 Juni 1966, di
depan Sidang Umum IV MPRS.
Untuk itu, Bung Karno bukan hanya memasuki narasi-narasi
besar, tapi juga merambah ke hal-hal yang tak sempat dipikirkan banyak orang.
Pada tahun 1960-an, Bung Karno menginisiasi pengumpulan resep-resep kuliner
warisan Nusantara. Panitia pun dibentuk dan bekerja selama tujuh tahun.
Ada 1.600 resep dari Sabang sampai Merauke yang berhasil
dikumpulkan. Semua itu kemudian dibukukan dan diberi tajuk Mustika Rasa yang
diterbitkan Departemen Pertanian pada tahun 1967.
“Buku tersebut tampak sederhana, sebagai buku resep masakan
seluruh rakyat Indonesia. Buku tersebut sebagai penjabaran keputusan radikal
revolusioner untuk mengubah menu rakyat yang berbasiskan beras menjadi
aneka-sumber karbohidrat dari umbi-umbian. Bagaimana uwi, cantel, jagung,
tales, suweg, garut, ganyong, pete, tempe, sayur-mayur, keseluruhan varian
buah-buahan, dan berbagai jenis ikan dan daging ditampilkan lengkap dengan
kandungan karbohidrat, glukosa, protein, serta rancangan makanan yang bergizi
untuk satu keluarga,” kata Presiden Ke-5 Republik Indonesia yang juga putri
Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, dalam pidatonya di acara “Konvensi Haluan
Negara”, yang diselenggarakan di Jakarta pada 30 Maret 2016 lalu.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memang
telah sejak lama menyerukan agar bangsa Indonesia memperhatikan soal kedaulatan
negaranya, termasuk untuk kedaulatan pangannya. “Kedaulatan pangan juga
merupakan soal political will,” kata Megawati saat berdialog dengan beberapa
pakar dari beberapa universitas di Yogyakarta, 28 September 2013 lampau.
Ya, urusan kedaulatan pangan memang bukan hanya soal pangan.
Juga mencakup pentingnya kedaulatan produksi, termasuk kedaulatan pengelolaan
lahan, tenaga kerja, dan sebagainya.
Jadi, soal kedaulatan negara, termasuk kedaulatan pangannya,
tidak bisa diselesaikan hanya lewat seruan atau pernyataan-pernyataan di
spanduk. Karena, meminjam istilah Megawati: ini soal political will, kemauan
politik.
Namun, bagaimana kenyataannya sekarang? Setelah lebih dari
70 tahun merdeka, bangsa ini masih sangat bergantung pada impor pangan,
termasuk beras. Bahkan, pada masa pandemi covid-19, pemerintah membuka seluruh
persetujuan impor pangan, dengan pertimbangan agar kebutuhan pangan masyarakat
terpenuhi. Ini bisa juga dibaca: kita memang tak pernah serius memikirkan
kedaulatan bangsa dan negara ini. (***)
Penulis adalah pemerhati masalah sosial.
0 Comments