Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Miftah el-Banjari. (Foto: Istimewa) |
JIKA setiap umat Islam hari ini dilontarkan pertanyaan,
"Sekiranya kamu hidup di zaman Rasulullah SAW, kamu berada di pihak yang
mana?!" Kita semua yakin jawabannya bahwa semua pasti memilih berada di
pihak Rasulullah SAW. Pasti itu jawaban mutlak seorang muslim. Sangat pasti.
Jika pilihannya hanya ada dua opsi, antara berada di barisan
kaum muslimin dan kafir musyrikin Mekkah, pasti kita semua memilih berada di
barisan kaum muslimin. Sebab, kita semua meyakini bahwa kebenaran ada di pihak
Rasulullah SAW dan kaum muslimin.
Namun, jangan lupa bahwa di samping dua pihak yang saling
bertentangan tersebut, masih ada kelompok ketiga yang sifatnya Netral, atau
boleh jadi disebut kelompok Abu-Abu.
Kelompok ketiga ini, kadang berpihak pada kaum Muslimin,
kadang berpihak pada kelompok kaum Musyrikin Mekkah, kadang pula berteman
dengan Yahudi Madinah. Tergantung pada kepentingan dan jalan yang paling aman dan
selamat. Itulah kelompok yang disebut oleh Al Qur'an dengan kelompok Al
Munafiqun.
Kelompok ini selalu hadir dengan komentar-komentar yang
menyudutkan posisi umat Islam pada masa itu. Sebagai contoh sejarah, misalnya:
Ketika Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, mereka
mengomentari:
"Katanya Rasulullah kok kabur sih!"
Ketika Rasulullah SAW menyatakan peperangan Badr, Uhud, dan
Khandaq, orang Munafiqun kembali berkomentar:
"Katanya Rasulullah, kok membela agama secara
kekerasan, bukannya ajaran Islam itu suka damai, rahmatan lil 'alamien?!"
Dan pada saat Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat
menghancurkan Masjid Dhirar yang menjadi sumber fitnah, orang munafik kembali
menuding:
"Hei, jangan bersikap berlebihan! Itu sikap radikal,
intoleran, tidak bisa menerima perbedaan!"
Dan berbagai tudingan lain sejenisnya.
Pada saat utusan Rasulullah SAW mengabarkan bahwa Raja
zhalim di Persia merobek-robek surat dakwah Rasulullah SAW, lantas Rasulullah
SAW mendoakan agar kerajaannya tercabik-cabik, lagi-lagi orang munafiqun
mengkiritisi:
"Masa Nabi doanya keras seperti itu. Masa doanya jelek
gitu. Apa memang boleh ya melawan kezhaliman dengan kezhaliman juga?!"
Begitulah sikap dan ucapan kelompok orang-orang munafiqun
yang menjadi duri dalam daging dalam tubuh umat Islam. Bahkan, dalam setiap
ucapan dan tindak-tanduk kelompok ketiga ini, kadang mereka memperlihatkan
sikap arif bijaksana dalam situasi-situasi genting. Mereka kadang mengatakan:
"Kami lebih baik diam saja, daripada terbawa-bawa dalam
fitnah politik yang tidak menentu." Atau "Ah, sudahlah! Jangan suka
ribut-ribut, lebih baik berdamai saja, kita hidup rukun-rukun aman saja."
Meskipun situasi dan kondisi sesungguhnya jelas kaum
muslimin menjadi pihak yang dikorbankan, dan menuntut keadilan, kesamaan hak
dihadapan hukum, mereka tetap tak mau ambil pusing dan peduli.
Ketika terjadi fitnah yang menimpa keluarga Rasulullah SAW,
dimana Sayyidah Aisyah difitnah berselingkuh dengan Shafwan, mereka turut
mempercayainya dan ikut pula mereka menebarkan gosip fitnah tersebut, bahkan
merekalah yang merekayasa dan menciptakan fitnah tersebut.
Barangkali saat ini ada yang berseloroh, "Habib kok ada
chat mesumnya!"
Pada waktu turun perintah kewajiban berperang, mereka punya
sejuta alasan untuk tidak ikut berperang bersama Rasulullah SAW. Ketika
ikut berperang sekalipun, mereka hanya berani di barisan paling belakang. Jika
dalam prediksi mereka kekuatan umat Islam sangat lemah dan sedikit, mereka
justru melarikan diri lari tunggang-langgang dari peperangan.
Barangkali hari ini ada yang berkomentar:
"Sudahlah, jangan suka bikin gaduh. Jangan mau negara
ini dijadikah Suriah kedua!!
"Agama tak perlu dibela.."
"Sudahlah, jangan suka ikut memperkeruh suasana.
Sudahlah, statusnya yang adem-adem saja! Ceramah itu yang menyejukkan
saja!"
Dan komentar komentar sejenisnya tanpa mau tahu kezhaliman
yang kian merajalela.
Begitulah gambaran singkat kelompok "Al-Munafiqun"
dalam persepsi masa lalu, pada masa Rasulullah SAW dan dalam konteks kekinian.
Sulit mengenali mereka secara pasti.
Sebab, mereka juga ikut shalat, puasa, haji dan ibadah
lainnya seperti kebanyakan orang beriman lainnya, tapi ibadah mereka sekedar
tak lebih dari simbolik semata.
Lisan mereka mengatakan beriman, KTP mereka Islam, namun
dalam hati mereka tersembunyi sikap kebencian terhadap orang beriman. Kadang
mereka bersikap netral, cari aman, cari selamat dan tidak peduli dengan kondisi
umat Islam lainnya.
Bagi mereka, selama bisnis mereka tak terganggu, karier
jabatan mereka bisa semakin meningkat, keluarga mereka aman-aman saja. Selama
itu semua masih bisa dinegosiasikan, semua bisa dibicarakan, tidak peduli
apa-apa, yang penting bagi mereka posisinya selamat dan diuntungkan.
Nah itu baru gambaran padai masa Rasulullah SAW, di mana
Rasulullah masih hidup dan masih bisa tampak terlihat, orang-orang Munafik
sedemikian banyaknya, bagaimana dengan kondisi dimana Rasulullah telah wafat 14
abad yang lalu, dan hanya ada para penerus beliau saja ?!!!
Al-Qur'an menyebut kelompok ini banyak sekali di sekitar
kita. Namun sulit bagi kita untuk benar-benar mengetahui keberadaan mereka,
terkecuali dengan sikap dan perilaku mereka. Di dalam surah At-Taubah, Allah SWT
menyebutkan ancaman ganjaran siksaan bagi mereka:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ ۖ وَمِنْ
أَهْلِ الْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ
ۚ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ.
"Di antara orang-orang Arab Badui yang (tinggal) di
sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga
orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya.
Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami
mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan
dikembalikan kepada azab yang besar." [QS. At-Taubah: 101].
Nah jika demikian faktanya, "Sekiranya kamu hidup di
zaman Rasulullah, ikut kelompok dan pihak yang mana?!" (***)
Penulis adalah pemerhati umat beragama.
0 Comments